Hukum Jual Lagi Barang
Inden yang Belum Diterima
Dasar dari tulisan ini adalah hampir sama
dengan jual beli barang sistem dropship Yang membedakan adalah kalau pada
dropship diperantarai oleh makelar. Sementara pada kasus ini tidak ada unsur
makelar. Sebagai ilustrasinya, misalnya: Suatu ketika Pak Joko membaca
selebaran produk terbaru sepeda motor. Akhirnya ia tergiur ingin memiliki
sepeda motor tersebut. Rupanya, sepeda motor itu belum dijual secara umum di
dealer-dealer terdekat. Akhirnya ia terpaksa pesan tunggu barang (inden).
Setelah terjadi kesepakatan antara dia dengan
dealer, akhirnya pihak dealer bersedia menghadirkan sepeda motor yang dimaksud
oleh Pak Joko. Pihak dealer menjanjikan waktu 2 bulan. Risiko dari inden ini,
Pak Joko sudah tidak bisa lagi membatalkan akad yang sudah dibangunnya bersama
dealer bila sewaktu-waktu Pak Joko berubah pikiran. Dan ternyata ini
benar-benar terjadi.
Di tengah masa menunggu motor hasil
pesanannya dikirimkan oleh dealer, Pak Joko bermaksud menjual sepeda itu ke
orang lain karena ia tergiur dengan merk sepeda motor lain. Mengingat akad
pembelian tidak bisa dibatalkan, sementara uangnya terlanjur masuk ke dealer,
akhirnya Pak Joko mengambil inisiatif untuk menjual sepeda motor itu ke orang
lain. Bertemulah ia dengan Pak Sunar. Terjadi kesepakatan antara mereka berdua
untuk melanjutkan akad itu atas nama Pak Joko namun pembeli sebenarnya adalah
Pak Sunar. Pak Sunar akhirnya mengganti sejumlah uang Pak Joko yang sudah
terlanjur masuk ke dealer. Sementara uang yang dari Pak Sunar dibuat inden
sepeda lain yang diinginkan oleh Pak Joko.
Akad yang dilakukan antara Pak Joko dengan
Pak Sunar merupakan yang dimaksud dalam tulisan ini sebagai akad pendayagunaan
barang (tasharruf) yang dibeli sebelum barang tersebut diterima oleh pembeli
yang pertama. Pak Joko menjual kembali barang, sebelum diterimanya barang tersebut
olehnya. Apakah tindakan Pak Joko tersebut dibenarkan secara syariat? Dan
apakah setiap akad yang dilakukan seperti antara Pak Joko dan Pak Sunar adalah
yang dilarang oleh syariat? Apakah tindakan Pak Joko mentasharrufkan uang Pak
Sunar untuk inden sepeda yang baru tersebut dibenarkan oleh syariat?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu,
mari kita ikuti beberapa pendapat kalangan ulama mazhab.
1. Mazhab Maliki
Imam Malik radliyallahu 'anhu melarang
pendayagunaan barang/menjual kembali barang yang dibeli sebelum diterima oleh
pembeli pertama. Larangan ini dikhususkan pada jual beli makanan. Makanan
adalah kelompok barang ribawi. Menjual barang ribawi berupa makanan yang
ditukar dengan “uang” (era mazhab Maliki), adalah harus bersifat bisa saling
serah terima barang (taqâbudl) dan kontan (hulûl). Syarat dari makanan itu
sendiri juga harus bersifat sudah bisa ditakar dan ditimbang. Apabila makanan
yang dijual belum bisa ditakar atau ditimbang, maka pendapat dari kalangan
mazhab ini adalah tidak membolehkannya.
Adapun untuk jual beli selain makanan, maka
ia menetapkan status bolehnya dengan dasar hadits Nafi' dari Abdullah bin Umar
radliyallahu 'anhuma:
من
ابتاع طعاما فلايبعه حتى يقبضه
Artinya: "Barangsiapa membeli makanan,
maka jangan menjual lagi sehingga ia menerimanya." (Syamsuddin Muhammad
bin Arafah al Dasuqy, Hasyiyah al Dasuqy 'ala al Syarhi al Kabiir, Thab'ah 'Isa
al Halaby, tt., 116)
Dengan demikian, kesimpulan hukum jual beli
sepeda motor menurut mazhab Maliki, sebagaimana kasus transaksinya Pak Joko
dengan Pak Sunar, adalah boleh sebab sepeda motor bukan termasuk kelompok
barang ribawi.
Adapun soal penggunaan uang yang diserahkan
oleh Pak Sunar kepada Pak Joko untuk inden motor yang baru secara otomatis
dibolehkan sebab mudahnya pertanggung jawaban, yaitu bahwa barang yang dijual
merupakan tanggung jawab penjual selagi barang belum diserahterimakan ke
pembeli. Namun, kebolehan penggunaan harga ini tidak berlaku untuk jenis
makanan. Karena menurut mazhab ini, penggunaan uang sebelum diterimanya barang
adalah inti dari riba yang dilarang itu.
2. Mazhab Syafi’i
Berbeda dengan Imam Malik radliyallaahu
‘anhu, beliau Imam Syafii radliyallahu 'anhu menyatakan hukum kemutlakan
larangannya, baik untuk jual beli makanan atau non makanan. Untuk jual beli
makanan, mazhab ini menerapkan syarat yang ketat sebagaimana hal itu terdapat
pada mazhab Maliki. Jadi, menurut mazhab Syafii, larangan menjual kembali
makanan adalah disamakan dengan jual beli barang ribawi sehingga bisa masuk
akad riba.
Namun, untuk jual beli barang non makanan,
mazhab ini tidak melihatnya sebagai akad ribawi. Kalangan ulama Syafi’yah lebih
menitiktekankan pada unsur belum terjaminnya barang sebagaimana ini mafhum pada
akad dlamman, yaitu akad jaminan. Rujukan yang dipergunakan beliau adalah sabda
Baginda Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam:
لايحل
بيع وسلف ولاربح مالم يضمن ولابيع ماليس عندك
Artinya: "Tidak halal jual beli bersama
pesan, tidak pula laba sesuatu yang belum bisa dijamin, serta tiada pula jual
beli barang yang belum ada disisimu." Hadits Hasan Shahih, riwayat Abu
Dawud, al Tirmidzy, al Nasaiy, dan Ibnu Majah.
Dalam hadits ini ditegaskan bahwasanya yang
dilarang diperjualbelikan adalah sesuatu yang belum bisa dijamin (مالم يضمن).
Salah satu unsur barang belum bisa dijamin, adalah manakala barang yang dijual
belum diterima (al-qabdlu) pembeli. Menjual kembali barang yang belum bisa
dijamin/belum diterima ke pembeli lain adalah tidak sah akadnya. Sebagaimana
hal ini tersirat dari makna larangan mengambil keuntungan dari jual beli barang
yang belum bisa dijamin- sebagaimana yang termaktub dalam hadits di atas.
Hujjah lain yang dipergunakan oleh kalangan
ulama' mazhab Syafii, misalnya hadits Hakim:
قلت
يا رسول الله إنني أشتري بيوعا فما يحل لي منها وما يحرم؟ فقال: يا ابن أخي اذا
اشتريت بيعا فلاتبعه ختى تقبضه
Artinya: "Aku bertanya: Wahai
Rasulallah! Sesungguhnya aku sedang membeli barang-barang yang tengah dijual,
maka adakah halal bagiku mengambil keuntungan darinya, atau apakah haram?
Rasulullah SAW menjawab: Wahai anak saudaraku! Ketika kamu membeli suatu barang
yang tengah dijualbelikan, maka jangan kamu jual lagi sehingga kamu
menerimanya!" HR. Abu Dawud. (al-Hafidh Ahmad bin Muhammad bin Shiddiq al
Ghumary, Al-Bidâyah fi Takhrīji Ahâdithi al-Bidâyah, Beirut: Thab'ah 'Alami al
Kutub, tt.,: 7/235)
Dengan memperhatikan konsep jaminan ini, maka
akad yang dibangun oleh Pak Joko dan Pak Sunar masuk kategori akad yang rusak,
sehingga jual beli sepeda motor yang masih dalam taraf inden ke pembeli lain,
adalah tidak boleh. Dengan demikian, bentuk semua bentuk pentasharufan uang
yang diberikan oleh Pak Sunar oleh Pak Joko adalah secara otomatis menjadi
batal juga. Akhirnya, Pak Joko memiliki kewajiban mengembalikan uang tersebut
kepada Pak Sunar.
3. Mazhab Abu Hanifah
Imam Hanifah dan Abu Yusuf memilih untuk
memerinci hukum pendayagunaan di atas berdasarkan jenis barangnya. Lebih jauh
kalangan mazhab Hanafi memerinci barang dagangan menjadi dua kelompok, yaitu
barang bergerak (al-manqûlât) dan barang tak bergerak ('iqar). Maksud dari
barang bergerak adalah semua barang yang memiliki ketentuan bisa dipindah
tempatkan, seperti: sepeda motor, mobil, cincin, dan lain-lain. Sementara yang
dimaksud barang tak bergerak (‘iqâr) adalah semua barang yang tidak bisa
dipindah tempatkan, seperti kebun, tanah, pohon, dan lain-lain.
Untuk pendayagunaan barang yang tak bergerak
(iqâr), mazhab ini menyatakan dengan tegas hukum kebolehannya. Sementara untuk
barang bergerak (al-manqûlât), mereka menyatakan ketidakbolehannya. Alasan
pembedaan hukum ini didasarkan pada kemudahan rusaknya barang manqûlât yang
mana hal ini berbeda kondisinya untuk barang yang tidak bergerak.
Dengan demikian, kesimpulan hukum kasus Pak
Joko dan Pak Sunar menurut fuqaha’ mazhab Hanafi juga tidak dibolehkan sebab,
sepeda motor termasuk al-manqûlât, yang mudah dipindahkan. Karena alasan mudah
rusaknya barang, akad ini dipandang batal oleh mazhab hanafi, sehingga
penggunaan tsaman (harga) yang diberikan oleh Pak Sunar oleh Pak Joko untuk
inden barang baru, adalah tidak sah sehingga ia wajib mengembalikan thaman
tersebut.
Kesimpulan
Melihat perbandingan pendapat di kalangan
tiga mazhab di atas, hukum jual beli barang yang masih dipesan ke pembeli lain
sehingga barang belum diterima oleh pembeli pertama, hukumnya adalah tidak
boleh menurut mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i. Namun, untuk mazhab Maliki
masih membolehkan disebabkan objek transaksi bukan termasuk barang ribawi
sehingga tidak termasuk akad riba. Untuk mazhab Syafii, ketidakbolehan
transaksi semacam ini berlaku mutlak untuk semua barang dengan alasan belum
bisa dijaminnya barang. Sementara mazhab Hanafi lebih menitiktekankan
ketidakbolehan akad sebab barang yang diperjualbelikan adalah termasuk jenis
barang yang mudah itlaf (rusak). Kategori barang yang mudah rusak ini hanya ada
pada barang bergerak. Untuk barang tak bergerak seperti kebun dan lain
sebagainya, hukumnya boleh menjualnya disebabkan tidak adanya unsur mudah
rusak. Wallahu a’lam bish shawab. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri Pulau Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar