Ketika Nabi Nuh Dicekik dan Dipukuli
Dalam kitab al-Zuhd karya Imam Ahmad bin
Hanbal al-Syaibânî (164-241 H) ada dua riwayat yang menceritakan Nabi Nuh as
disakiti kaumnya:
حدثنا
عبد الله حدثنا عبد الرحمن عن سفيان عن الأعمش عن مجاهد عن عبيد بن عمير قال: كان
قوم نوح يضربونه حتي يغشي عليه فإذا أفاق قال: اللهم اغفر لقومي فإنهم لا يعلمون.
Diceritakan oleh Abdullah, diceritakan oleh
Abdurrahman, dari Sufyan, dari al-A’masy, dari Mujahid, dari Ubaid bin ‘Umair,
ia berkata: “Kaum Nabi Nuh memukulinya hingga ia tidak sadarkan diri. Ketika
Nabi Nuh siuman, ia berdoa:
“Ya Allah, ampunilah kaumku karena
sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo:
Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, hlm 66)
عن
مجاهد عن عبيد بن عمير قال: إن كان الرجل من قوم نوح ليلقاه فيخنقه حتي يخر مغيشا
عليه, قال: فيفيق حين يفيق وهو يقول: رب اغفر لقومي فإنهم لا يعلمون.
Dari Mujahid, dari ‘Ubaid bin ‘Umair, ia
berkata: “Jika seseorang dari kaum Nuh bertemu dengannya, maka ia akan
mencekiknya hingga Nuh jatuh pingsan.” Kemudian ia sadarkan diri, ketika itu ia
berdoa:
“Tuhan, ampunilah kaumku karena sesungguhnya
mereka tidak mengetahui.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, 1992, hlm 66)
****
Cara paling mudah untuk menakar kedalaman
manusia adalah ketika ia sedang tersakiti (dilukai). Akal sehat manusia cenderung
menyusut di saat itu terjadi. Luka menimbulkan kemarahan. Kemarahan
menghadirkan kehendak membalas. Kehendak membalas memunculkan dendam.
Bagi orang yang belum menguasai dirinya, ia
akan membalas perilaku buruk orang lain dengan balasan yang terkadang jauh
lebih kejam. Manusia yang tersinggung, kehendak buasnya meningkat. Balasan
setara tidak lagi menjadi pilihan. Sebab, pembalasan selalu berkaitan erat
dengan kepuasan. Melampiaskan sakit hati tanpa kepuasan, dalam struktur
kejiwaan manusia, tidak bisa memenuhi fantasi kepuasan yang diharapkan.
Apa yang dilakukan Nabi Nuh dalam kisah di
atas paling tidak menggambarkan dua hal, pertama, memaafkan segala perilaku
buruk kaumnya dengan dasar “mereka tidak mengetahui.” Kedua, melepaskan beban
yang memberatkan hatinya dengan cara mendoakan mereka.
Penjelasannya begini, untuk yang pertama,
memaafkan dalam kerangka kisah di atas adalah mewajari. Perilaku buruk
kaummnya, mencekik dan memukul, dipandang oleh Nabi Nuh berasal dari
ketidaktahuan mereka. Tentu saja dalam strata hubungan normal antara non-nabi
perlakuannya akan berbeda. Keseimbangan sangat diperlukan di sini. Itulah
sebabnya Allah membincangkan hukum-hukum-Nya melalui para nabi. Hukum yang
diturunkan untuk menjaga keseimbangan di antara manusia, selain dengan
Tuhannya. Tapi, jika ada seseorang yang mampu bersikap seperti Nabi Nuh, ia
adalah manusia luar biasa.
Yang kedua, maksud “melepaskan beban” adalah
rasa bersalah. Maksudnya begini, jika Nabi Nuh tidak berdoa memohonkan ampunan
untuk mereka, artinya ia menjadi penyebab dosa-dosa mereka. Penyebab di sini
bukan penyebab dalam arti muasal, tapi pengantar. Gara-gara menyakiti Nabi Nuh
mereka menanggung dosa. Artinya ada dosa yang tercatat di buku amal mereka
karena menyakiti Nabi Nuh. Bagi seorang nabi yang membawa misi kenabian, ia
akan berusaha menghindarinya. Tugasnya adalah membawa manusia mendekat kepada
Allah agar selamat dunia-akhirat, bukan mengantar mereka ke pintu neraka.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah,
apakah mungkin dua poin penting kisah di atas bisa dilakukan manusia biasa?
Tentu saja bisa, meski dalam batas-batas tertentu. Sebab, semua perilaku nabi
dan hikmahnya dijadikan Allah sebagai standar keteladanan atau ukuran ideal
untuk manusia. Memang, ukuran ideal cenderung tidak bisa diraih, tapi
setidaknya menjadi garis finis yang dituju.
Dalam konteks kebaikan dan akhlak, ada dua
pendekatan menarik. Pertama, ukuran ideal yang harus mengawang-awang. Tujuannya
agar pelaku kebaikan tidak pernah merasa puas dengan kebaikannya. Tanpa ukuran
ideal yang mengawang-awang itu, pelakunya akan merasa sudah berhasil dan telah
mencapai garis finis. Akibatnya kebaikan memiliki batas dan mengenal kata
“sampai”. Seharusnya kebaikan terbebas dari semua itu, agar pelakunya selalu
meningkatkan perbuatan baiknya dan tidak pernah merasa ‘sampai’. Namun, tetap
harus ada standar dan ukuran idealnya, meski hampir mustahil untuk dicapai.
Kedua, andaipun kebaikan mengenal
“perbatasan”, manusia harus menyadari bahwa mengulangi perjalanan adalah hal
baik. Tantangannya pun tak kalah besarnya dari skema kebaikan yang pertama.
Karena pengulangan sangat dekat dengan kebosanan. Pengulangan yang dilakukan
terus-menerus membuka peluang kebosanan yang lebih besar. Maka, dibutuhkan
perjuangan luar biasa untuk menjadi pengulang yang baik.
Di sini Nabi Nuh memberi contoh untuk kita
semua, bahwa menjadi pemaaf tidak melulu berarti pengecut; tidak membalas tidak
selalu berarti takut. Ia juga menunjukkan cara memaafkan yang paling baik,
dengan cara mendoakan ampunan untuk mereka. Ya, memang sulit dilakukan, tapi
setidaknya “sudahkan kita mencobanya?”
Wallahu a'lam. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar