Renungan Menyentuh dari
Qasidah Burdah
Qasidah Burdah sudah tak asing lagi bagi
masyarakat Indonesia. Maulaya shalli wa sallim dâiman abada seakan-akan
menjadi shalawat yang nyaris tak ditinggalkan di setiap pembacaan maulid
Baginda Besar Muhammad ﷺ.
Qasidah ini dikarang oleh Imam al-Busiri (610 H), yang wafat pada tahun 695
Hijriah.
Imam al-Bushiri merupakan seorang penyair
andal pada masanya. Beliau juga adalah seorang kaligrafer yang memiliki tulisan
yang indah. Gurunya yang terkenal adalah Abdul ‘Abbas al-Mursi.
Qasidah Burdah terdiri dari 160 bait. Setiap
baitnya mengandung nilai sastra yang tinggi, lembut, dan menyentuh pembacanya
yang mengerti sastra Arab. Imam al-Bushiri mengisahkan kehidupan Nabi di dalam
Qasidahnya. Lebih menariknya, sebelum menceritakan sirah Nabi, terdapat renungan
indah yang dapat menyentak jiwa para pembacanya. Tepatnya di dalam pasal kedua,
mengenai bahayanya hawa nafsu.
فَإِنّ
أَمّارَتِ بِالسّـوءِ مَا اتّعَظَتْ ۞
مِنْ جَهْلِهَا بِنَذِيرِ الشّيْبِ وَالَهَرَمِ
Sungguh nafsu amarahku tak dapat menerima
nasihat, karena ketidaktahuannya.
Akan peringatan berupa uban di kepala, dan
ketidakberdayaan tubuh akibat umur senja.
Dalam bait ini, al-Bushiri menegaskan bahwa
hampir saja semua manusia tidak sadar akan hawa nafsu yang mengelabuinya
sepanjang hidup. Bahkan di usia senja, tak dapat dijamin hidayah akan datang
kecuali melalui ‘inayah Allah ﷻ kepadanya. Padahal
tanda-tanda maut bakal menjemput sudah ada, yaitu uban yang tumbuh pada
rambutnya.
مَنْ
لِي بِرَدِّ جِمَاحٍ مِنْ غَوَايَتِهَا ۞ كَمَا
يُرَدُّ جِمَاحُ الَخَيْلِ بِاللُّجُمِ
Siapakah gerangan yang sanggup
mengendalikan nafsuku dari kesesatan
Sebagaimana kuda liar yang
terkendalikan dengan tali kekangan
Teringat dengan kisah pasca-Rasulullah ﷺ pulang dari perang
Badar, beliau ﷺ berujar, “Kalian
telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran akbar.” Lalu
sahabat bertanya, “Apakah pertempuran akbar (yang lebih besar) itu, wahai
Rasulullah?” Rasul menjawab, "Jihad (memerangi) hawa nafsu.”
Artinya, betapa besarnya kekuatan hawa nafsu,
hingga Rasulullah pun menggambarkannya sedemikian rupa.
فَلاَ
تَرُمْ بِالْمَعَاصِيْ كَسْرَ شَهْوَتِهَا ۞
إِنّ الطَّعَامَ يُقَوِّيْ شَهْوَةَ النَّهِمِ
Jangan kau berharap, dapat mematahkan
nafsu dengan maksiat.
Karena makanan justru bisa perkuat
bagi si rakus makanan lezat.
وَالنّفْسُ
كَالطّفِلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى ۞ حُبِّ الرَّضَاعِ
وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ
Nafsu bagaikan bayi, bila kau biarkan
akan tetap suka menyusu.
Namun bila kau sapih, maka bayi akan
berhenti sendiri
Sebagian orang menganggap, dengan mengikuti
hawa nafsunya, rasa itu akan menghilang karena habis dilampiaskan. Namun
ternyata tidak begitu, hawa nafsu akan menjadi-jadi ketika dituruti, bak orang
yang rakus jika diberi makanan maka ia malah bertambah kerakusannya.
Imam al-Bushiri menyerupakan nafsu dengan
seorang anak bayi. Apabila seorang anak bayi tidak disapih, maka sampai besar
ia akan hobby menyusu pada ibunya, dan tentunya itu amat membahayakan.
فَاصْرِفْ
هَوَاهَا وَحَاذِرْ أَنْ تُوَلِّيَهُ ۞
إِنّ الْهَوَى مَا تَوَلَّى يُصِمْ أَوْ يَصِمِ
Maka palingkanlah nafsumu, takutlah
jangan sampai ia menguasai-nya
Sesungguhnya nafsu, jikalau berkuasa
maka akan membunuhmu dan membuatmu tercela
وَرَاعِهَا
وَهْيَ فِيْ الأَعْمَالِ سَآئِمَةٌ ۞
وَإِنْ هِيَ اسْتَحْلَتِ الْمَرْعَى فَلاَتُسِمِ
Dan gembalakanlah nafsu, karena dalam
amal nafsu bagaikan hewan ternak.
Jika nafsu merasa nyaman dalam
kebaikan, maka tetap jaga dan jangan kau lengah
Dalam dua bait diatas, Imam al-Bushiri
menghimbau kita untuk mengolah hawa nafsu supaya menjadi teratur dan tidak
liar. Kemudian beliau mengingatkan kita bahwa tidak semua sesuatu yang kita
anggap indah, hakikatnya juga indah. Bisa jadi ia adalah racun yang terkandung
di dalam makanan yang lezat, sebagaimana dalam syairnya:
كَمْ
حَسّنَتْ لَذّةً لِلْمَـــــــرْءِ قَاتِلَةً ۞
مِنْ حَيْثُ لَمْ يَدْرِ أَنّ السَّمَّ فِي الدَّسَمِ
Betapa banyak kelezatan, justru
membawa kematian bagi seseorang
Karena tanpa diketahui, adanya racun
tersimpan dalam makanan
Kemudian, setelah merenungi nafsu yang
menjangkiti kita. Kita dianjurkan pula untuk meminta ampunan pada Allah SWT
dari perkataan kita yang tidak disertai dengan ucapan. Tentunya ini menjadi
cerminan bagi kita, bahwa selama ini amal perbuatan kita tidak sebaik dari
perkataan yang terlontar dari lisan kita maupun unggahan kita di media sosial.
أَسْتَغْفِرُ
الَّلهَ مِنْ قَوْلٍ بِلاَعَمَــلٍ ۞
لَقَدْ نَسَبْتُ بِهِ نَسْلً لِذِي عُقُمِ
Aku mohon ampun kepada Allah dari
ucapan tanpa disertai amal # Aku telah menasabkan diriku dengan perkataan
itu, bagaikan seorang yang mandul mengharap keturunan
Semoga kita dianugerahi kesempatan untuk
bertafakur dan muhasabah akan kesalahan dan dosa yang ada dalam diri kita,
sehingga kita pun luput dari banyak menghukumi kesalahan orang lain. Wallahu
a'lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar