Rabu, 21 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Hukum Jual Beli Barang Oplosan


Hukum Jual Beli Barang Oplosan

Yang dimaksud sebagai jual beli oplosan di sini ada dua pengertian. Pengertian yang pertama, adalah jual beli barang dengan dua tumpukan yang berbeda dan kualitas barang yang bisa dibedakan, namun pembeli meminta untuk dijadikan satu wadah. Misalnya, tumpukan pertama terdiri atas apel kualitas super. Sementara tumpukan lain terdiri atas apel dengan kualitas biasa. Karena kedua tumpukan disusun berdasarkan kualitas yang berbeda, maka harganya pun berbeda.

Misalnya, untuk tumpukan kualitas super, harganya 15 ribu rupiah per kilogram. Sementara tumpukan kedua—karena kualitasnya tidak super dan tidak pula buruk—maka, harga yang dimilikinya juga sedikit lebih rendah, misalnya 10 ribu rupiah per kilogram. Kebetulan pembelinya membawa karung. Kemudian ia bilang kepada penjualnya: “Saya ingin beli barang sepenuh karung ini. Separuh bagian, isi dengan barang kualitas biasa, dan separuh sisanya isi dengan kualitas super!”

Pengertian yang kedua, yang dimaksud dengan jual beli oplosan di sini adalah penjual memiliki dua barang yang masing-masing memiliki kualitas super (harga 12.000/kg) dan kualitas biasa (harga 11.000/kg). Kemudian keduanya dioplos dengan takaran yang sama, atau takaran yang berbeda dengan melebihkan takaran salah satunya. Kecenderungan di masyarakat, penjual melakukan ini adalah sebagai bentuk pelayanan kepada konsumennya agar konsumen memiliki pilihan barang dengan harga yang beragam.

Misalnya, seorang pedagang memiliki dua karung beras. Beras di karung pertama merupakan beras super. Sementara beras di karung kedua adalah beras kualitas biasa (layak makan). Agar memiliki harga beras yang berbeda, pedagang membuat oplosan beras dengan takaran yang beragam kemudian disajikan dalam wadah yang beragam pula. Wadah pertama terdiri atas beras dengan takaran oplosan 1:1. Maksudnya adalah 1 takaran beras baik dicampur dengan 1 takaran beras biasa, dengan harga jual 11.500/kg. Wadah kedua terdiri atas beras dengan takaran oplosan 2 (beras baik):1 (beras biasa) dengan harga jual 11.750/kg. Wadah ketiga terdiri atas takaran 3 (beras baik):1 (beras biasa) dengan harga jual 11.850/kg. 

Yang menjadi pertanyaan biasanya adalah apakah model-model akad jual beli seperti ini bisa dihukumi sah?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengingat kembali bahwa syarat sah jual beli. Pertama bahwa syarat sah jual beli adalah apabila baarang yang dijual belikan terdiri dari barang suci, milik penjual sendiri atau milik orang yang memberi wewenang kepadanya, barang harus berupa barang manfaat, diketahui takarannya, dan baik penjual maupun pembeli (dua orang yang berakad) mengetahui sendiri kondisi barang atau berdasarkan pengetahuan orang yang mendapatkan wewenang darinya terhadap barang. 

Syarat terakhir adalah barang harus bagus. Maksud dari bagus ini ada banyak perinciannya. Kadang orang menilai bahwa yang dimaksud dengan bagus, adalah kualitasnya super. Namun ada juga orang yang menilai bahwa yang dimaksud dengan bagus adalah utuhnya barang dan tidak pecah. Jika wadah, maka wadahnya utuh. Akan tetapi, dalam beberapa kondisi untuk bahan makanan, kadang ditemui barang dagangan terpaksa pecah akibat penggilingan, dan lain sebagainya. Apakah ini masuk unsur bagus? Menurut Al-Bujairamy, barang yang pecah akibat penggilingan, dan barang yang pecah karena kualitas buruk saat pemanenan (misalnya: akibat dimakan ulat), adalah masuk unsur bagus selagi masih bisa dimakan. Al Bujairamy menjelaskan dalam kitabnya: 

لا يجزئ معيب ومنه مسوس ومبلول إلا إن جف وعاد لصلاحية الادخار والاقتيات

Artinya: “Belum sempurna sahnya jual beli barang yang cacat, termasuk barang yang di makan ulat atau barang yang dibasahi kecuali kembali kering dan bagus untuk disimpan atau dimakan.” (Hasyiyah al-Bujairamy ‘ala Syarhi al-Minhaj: 2/50)

Bilamana syarat sah jual beli ini dilanggar, maka secara otomatis akad jual belinya menjadi batal sehingga pembeli wajib mengembalikan barang yang dibelinya dan penjual wajib mengganti harga barang yang dijualnya ke pembeli. 

Meneliti dari kedua model jual beli di atas, maka tidak ada larangan yang dilanggar terkait dengan barang yang dijual. Kedua barang yang dijual untuk contoh kasus pertama dan kedua adalah bersifat mu’ayyan (tertentu) dan ma’luuman (diketahui) oleh pembeli. Separuh wadah sudah cukup menjadi wakil syarat takaran yang dimaksud oleh penjual dalam kasus pertama. Tentu dalam hal ini pihak penjual disyaratkan harus menimbang kembali takaran separuh wadah yang dimaksud. Demikian juga dengan yang dimaksud dengan separuh barang dengan kualitas yang lain. Karena sebagaimana adat yang berlaku di masyarakat, pihak pembeli umumnya hanya mengambil pengertian bil ijmâl (globalnya) sementara soal timbangan sudah umum berlaku bagi pedagang, dilakukan sebagai langkah hati-hati. 

Pada kasus kedua, ada dua masalah yang harus diuraikan. Pertama, adalah wujud barang yang dijual (ainul maal), dan kedua adalah jenis barang yang dicampur. Karena penjual memisahkan masing-masing oplosan ke dalam wadah yang berbeda, dan masing-masing memiliki harga yang sudah ditetapkan, maka tidak ada masalah dari segi penentuan barangnya. Persoalan yang acapkali mengundang perdebatan adalah masalah pencampuran barang. Apakah pencampuran barang sejenis dengan kualitas yang berbeda tersebut dipandang sah dari segi syariat? Jika melihat dhahir teks dari al-Bujairamy di atas, selagi barangnya masih bisa dimakan maka tidak masalah sebagai mabi’ (barang yang dijual). 

Banyak dari masyarakat kita yang menduga bahwa hal semacam adalah termasuk pengelabuan yang dilarang oleh Baginda Rasulillah. Padahal, jika diteliti dari sisi nash yang menyatakan hal tersebut, bahwa yang dimaksud dengan gharar (pengelabuan/penipuan) yang dilarang syara’ adalah apabila barang yang dijualbelikan berada di balik sebuah tabir atau di balik tembok sehingga barang tidak bisa dilihat langsung oleh pembeli. Orang bilang: “ibarat membeli kucing di dalam karung.” Pembeli tidak mengetahui wujud barangnya secara langsung atau sifat barangnya. Namun dalam kasus kedua di atas, pembeli langsung melihat wujud barangnya dipampang berada di depannya. Pembeli juga bisa meraba dan membenamkan tangannya ke wadah secara langsung dengan kualitas campuran beras yang dibuat oleh penjual. Menurut Imam Nawawi, hukum jual beli semacam ini adalah sah disebabkan memungkinkannya adanya khiyar (opsi mengembalikan barang oleh pembeli, red), berdasarkan keterangan beliau dalam Kitab al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab: 

 فإنْ قلْنا - بالصّحّة فوقْت الْخيار هنا معْرفة مقْدار الصّبْرة أوْ التّسكّن منْ تخْمينه برؤْية ما تحْتها

Artinya: “Alasan kita menyatakan sah adalah pada waktu khiyar, di sana terdapat upaya untuk memprediksi kadar tumpukan, atau dengan jalan memasukkan tangan ke dalam tumpukan tersebut untuk mengetahui kondisi tumpukan bagian bawahnya.” (Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Mesir: Maktabah al-Mathba’ah al-Munîrah, tt.: 9/83). 

Pencampuran yang dilarang oleh syariat terhadap barang yang dijual adalah apabila kedua barang yang dicampur bersumber dari barang yang tidak sejenis, misalnya: beras dengan jagung, atau beras dengan gandum. Pencampuran semacam inilah yang dilarang oleh syariat, meskipun dalam beberapa hal ada yang membolehkan karena ada maslahah lebih luas, seperti untuk pakan ternak, dan semisalnya. 

Kesimpulannya dari tulisan ini adalah bahwa jual beli barang yang dioplos, adalah sama-sama diperbolehkan oleh syariat. Pencampuran kedua barang sejenis yang berbeda kualitas adalah diperbolehkan selagi tidak menyebabkan barang yang dijual menjadi tidak bisa dimakan, disimpan, atau hilang manfaatnya. 

Wallahu al-muwâfiq ilaa aqwâmi al-thâriq. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, JATIM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar