Rabu, 21 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Ijab Kabul Pernikahan Harus Satu Napas, Benarkah?


Ijab Kabul Pernikahan Harus Satu Napas, Benarkah?

Sebagaimana telah maklum bahwa prosesi ijab kabul pernikahan merupakan gerbang utama bagi pasangan calon suami istri untuk mengikat satu sama lain dalam sebuah ikatan perkawinan untuk bersama mengarungi bahtera rumah tangga. Jadi atau tidaknya, sah atau tidaknya pasangan calon suami istri menjadi pasangan suami istri sangat ditentukan oleh sah atau tidaknya proses akad nikah yang di antaranya terdiri dari unsur ijab dan kabul.

Di beberapa daerah di Indonesia kerap dijumpai satu pemahaman di masyarakat bahwa salah satu syarat sahnya ijab kabul adalah apabila diucapkan dalam satu tarikan napas. Maka tak jarang sebagian saksi menyatakan tidak sah dan meminta diulangi akad nikah dengan alasan mempelai laki-laki tidak mengucapkan kalimat kabulnya dalam satu napas. Karenanya tak jarang hal ini menjadikan proses ijab kabul menjadi lebih lama karena harus diulang beberapa kali.

Lalu bagaimana sebenarnya fiqih Islam mengatur hal itu? Apakah benar pengucapan dalam satu napas menjadi syarat sahnya ijab kabul sebuah pernikahan?

Sebagaimana diketahui bahwa dalam berbagai bidang pembahasan fiqih sah atau tidaknya suatu amalan yag dilakukan oleh seorang mukallaf selalu berhubungan dengan pemenuhan rukun dan syarat yang ditentukan. Demikian pula dalam proses akad nikah para ulama menetapkan beberapa rukun dan syarat-syaratnya yang mesti dipenuhi untuk keabsahan akad nikah tersebut.

Muhammad Khathib As-Syarbini di dalam kitab Al-Iqnâ’ menyebutkan ada lima hal yang menjadi rukun nikah. Beliau menuturkan:

فصل فِي أَرْكَان النِّكَاح وَهِي خَمْسَة صِيغَة وَزَوْجَة وَزوج وَولي وهما العاقدان وشاهدان

Artinya: “Fashal dalam menerangkan rukun-rukunnya nikah. Rukun nikah ada lima yakni shighat (kalimat ijab kabul), istri, suami, wali—yang keduanya (suami dan wali) merupakan orang yang berakad—dan dua orang saksi.” (Muhammad Khathib As-Syarbini, Al-Iqnâ’, 1995 [Beirut: Darul Fikr], hal. 411) 

Dari kutipan kitab Al-Iqnâ’ di atas disimpulkan bahwa ada lima hal yang menjadi rukun nikah yang mau tidak mau harus dipenuhi saat proses ijab kabul. Kelima rukun itu adalah shighat ijab kabul, mempelai perempuan, mempelai laki-laki, wali dari mempelai perempuan, dan dua orang saksi.

Kelima rukun tersebut sudah barang tentu masing-masing memiliki syarat-syarat tertentu yang juga mesti dipenuhi. Tidak terpenuhinya salah satu syarat pada salah satu rukun menjadikan akad nikah tidak sah.

Tentunya pembahasan kali ini tidak akan membahas keseluruhan syarat dari semua rukun nikah. Hanya syarat-syarat sighat ijab kabul saja yang akan menjadi topik pembahasan.

Masih merujuk pada penjelasan As-Syarbini di dalam kitab yang sama beliau menyebutkan beberapa syarat sighat ijab kabul yakni:

1. Tidak adanya penggantungan (ta’lîq) dan pembatasan waktu (ta’qît). Tidak sah sebuah akad nikah di mana di dalam pengucapan ijab kabulnya menyertakan kalimat yang menggantungkan pernikahan tersebut pada suatu kejadian tertentu. Misal ucapan seorang wali “bila anak perempuanku dicerai oleh suaminya dan telah habis masa idahnya maka aku kawinkah engkau dengannya.” Pun tidak sah bila dalam ijab kabul disertai dengan pembatasan waktu tertentu. Seperti wali mengucapkan “aku nikahkan kamu dengan anak perempuanku untuk waktu dua tahun.” Ini merupakan nikah mut’ah.

2. Harus menggunakan kata yang terbentuk dari kata inkâh (nikah) atau tazwîj (kawin). Tidak sah akad nikah bila tidak menggunakan kedua kata tersebut, baik salah satunya atau kedua-duanya.

Itu dua syarat yang disebutkan oleh As-Syarbini di dalam Al-Iqnâ’. Adapun ulama-ulama Syafii’iyah lainnya—seperti Imam Nawawi umpamanya—masih memberikan satu syarat lagi yakni harus bersambung antara kabul yang diucapkan oleh suami dengan ijab yang diucapkan oleh wali. Terpisahnya ijab dan kabul oleh jeda waktu yang lama menjadikan akad nikah tidak sah. Namun jeda waktu yang singkat—seperti untuk mengambil napas—masih bisa diterima dan akad nikah tetap dihukumi sah (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Raudlatut Thâlibîn wa ‘Umdatul Muftîn, 1991 [Beirut: Al-Maktab Al-Islami], juz VII, hal. 39).

Dari penjelasan di atas menjadi jelas bahwa kiranya para ulama tidak mensyaratkan pengucapan ijab dan kabul dalam satu napas. Artinya bila di tengah pengucapan ijab dan atau kabul terhenti untuk mengambil napas lagi maka hal itu tidak merusak akad nikah.

Bisa jadi apa yang dipahami dan diamalkan di beberapa daerah perihal keharusan satu napas itu merupakan langkah kehati-hatian yang diambil agar akad nikah yang dilaksanakan benar-benar bisa dipastikan keabsahannya. Ini bisa dimengerti mengingat akad nikah merupakan kunci utama menuju kehidupan rumah tangga yang benar-benar diridhai oleh Allah. Dari akad nikah inilah segala konsekuensi hukum akan terjadi. Sah dan tidaknya sebuah akad nikah akan berkonsekuensi pada sah dan tidaknya hubungan suami istri, status nasab anak keturunan yang dilahirkan, hingga soal hak memperoleh warisan.

Wallâhu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar