Ijab Kabul Pernikahan Harus
Satu Napas, Benarkah?
Sebagaimana telah maklum bahwa prosesi ijab
kabul pernikahan merupakan gerbang utama bagi pasangan calon suami istri untuk
mengikat satu sama lain dalam sebuah ikatan perkawinan untuk bersama mengarungi
bahtera rumah tangga. Jadi atau tidaknya, sah atau tidaknya pasangan calon
suami istri menjadi pasangan suami istri sangat ditentukan oleh sah atau
tidaknya proses akad nikah yang di antaranya terdiri dari unsur ijab dan kabul.
Di beberapa daerah di Indonesia kerap
dijumpai satu pemahaman di masyarakat bahwa salah satu syarat sahnya ijab kabul
adalah apabila diucapkan dalam satu tarikan napas. Maka tak jarang sebagian
saksi menyatakan tidak sah dan meminta diulangi akad nikah dengan alasan
mempelai laki-laki tidak mengucapkan kalimat kabulnya dalam satu napas.
Karenanya tak jarang hal ini menjadikan proses ijab kabul menjadi lebih lama
karena harus diulang beberapa kali.
Lalu bagaimana sebenarnya fiqih Islam
mengatur hal itu? Apakah benar pengucapan dalam satu napas menjadi syarat
sahnya ijab kabul sebuah pernikahan?
Sebagaimana diketahui bahwa dalam berbagai
bidang pembahasan fiqih sah atau tidaknya suatu amalan yag dilakukan oleh
seorang mukallaf selalu berhubungan dengan pemenuhan rukun dan syarat yang
ditentukan. Demikian pula dalam proses akad nikah para ulama menetapkan
beberapa rukun dan syarat-syaratnya yang mesti dipenuhi untuk keabsahan akad
nikah tersebut.
Muhammad Khathib As-Syarbini di dalam kitab
Al-Iqnâ’ menyebutkan ada lima hal yang menjadi rukun nikah. Beliau menuturkan:
فصل
فِي أَرْكَان النِّكَاح وَهِي خَمْسَة صِيغَة وَزَوْجَة وَزوج وَولي وهما العاقدان
وشاهدان
Artinya: “Fashal dalam menerangkan
rukun-rukunnya nikah. Rukun nikah ada lima yakni shighat (kalimat ijab kabul),
istri, suami, wali—yang keduanya (suami dan wali) merupakan orang yang
berakad—dan dua orang saksi.” (Muhammad Khathib As-Syarbini, Al-Iqnâ’, 1995
[Beirut: Darul Fikr], hal. 411)
Dari kutipan kitab Al-Iqnâ’ di atas
disimpulkan bahwa ada lima hal yang menjadi rukun nikah yang mau tidak mau
harus dipenuhi saat proses ijab kabul. Kelima rukun itu adalah shighat ijab
kabul, mempelai perempuan, mempelai laki-laki, wali dari mempelai perempuan,
dan dua orang saksi.
Kelima rukun tersebut sudah barang tentu
masing-masing memiliki syarat-syarat tertentu yang juga mesti dipenuhi. Tidak
terpenuhinya salah satu syarat pada salah satu rukun menjadikan akad nikah
tidak sah.
Tentunya pembahasan kali ini tidak akan
membahas keseluruhan syarat dari semua rukun nikah. Hanya syarat-syarat sighat
ijab kabul saja yang akan menjadi topik pembahasan.
Masih merujuk pada penjelasan As-Syarbini di
dalam kitab yang sama beliau menyebutkan beberapa syarat sighat ijab kabul
yakni:
1. Tidak adanya penggantungan (ta’lîq) dan
pembatasan waktu (ta’qît). Tidak sah sebuah akad nikah di mana di dalam
pengucapan ijab kabulnya menyertakan kalimat yang menggantungkan pernikahan
tersebut pada suatu kejadian tertentu. Misal ucapan seorang wali “bila anak
perempuanku dicerai oleh suaminya dan telah habis masa idahnya maka aku
kawinkah engkau dengannya.” Pun tidak sah bila dalam ijab kabul disertai dengan
pembatasan waktu tertentu. Seperti wali mengucapkan “aku nikahkan kamu dengan
anak perempuanku untuk waktu dua tahun.” Ini merupakan nikah mut’ah.
2. Harus menggunakan kata yang terbentuk dari
kata inkâh (nikah) atau tazwîj (kawin). Tidak sah akad nikah bila tidak
menggunakan kedua kata tersebut, baik salah satunya atau kedua-duanya.
Itu dua syarat yang disebutkan oleh
As-Syarbini di dalam Al-Iqnâ’. Adapun ulama-ulama Syafii’iyah lainnya—seperti
Imam Nawawi umpamanya—masih memberikan satu syarat lagi yakni harus bersambung
antara kabul yang diucapkan oleh suami dengan ijab yang diucapkan oleh wali.
Terpisahnya ijab dan kabul oleh jeda waktu yang lama menjadikan akad nikah
tidak sah. Namun jeda waktu yang singkat—seperti untuk mengambil napas—masih
bisa diterima dan akad nikah tetap dihukumi sah (Yahya bin Syaraf An-Nawawi,
Raudlatut Thâlibîn wa ‘Umdatul Muftîn, 1991 [Beirut: Al-Maktab Al-Islami], juz
VII, hal. 39).
Dari penjelasan di atas menjadi jelas bahwa
kiranya para ulama tidak mensyaratkan pengucapan ijab dan kabul dalam satu
napas. Artinya bila di tengah pengucapan ijab dan atau kabul terhenti untuk
mengambil napas lagi maka hal itu tidak merusak akad nikah.
Bisa jadi apa yang dipahami dan diamalkan di
beberapa daerah perihal keharusan satu napas itu merupakan langkah
kehati-hatian yang diambil agar akad nikah yang dilaksanakan benar-benar bisa
dipastikan keabsahannya. Ini bisa dimengerti mengingat akad nikah merupakan
kunci utama menuju kehidupan rumah tangga yang benar-benar diridhai oleh Allah.
Dari akad nikah inilah segala konsekuensi hukum akan terjadi. Sah dan tidaknya
sebuah akad nikah akan berkonsekuensi pada sah dan tidaknya hubungan suami
istri, status nasab anak keturunan yang dilahirkan, hingga soal hak memperoleh
warisan.
Wallâhu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar