Senin, 26 Agustus 2019

(Hikmah of the Day) Kisah Budak Kikir Dibebaskan karena Kekikirannya


Kisah Budak Kikir Dibebaskan karena Kekikirannya

Dalam kitab al-Bukhalâ (orang-orang kikir/bakhil), Imam al-Khathib al-Baghdadi mencantumkan riwayat tentang seorang budak dan tuannya yang kikir. Berikut riwayatnya:

أخبرني الأزهري وعبيد بن علي الرقي قالا: حدّثنا عبيد الله بن محمد المقريء، حدثنا محمد بن يحي الصولي، حدثنا يموت، هو ابن المزرّع، قال: قال الجاحظ: قال رجلٌ من البخلاء لغلامه: هات الطعام وأغلق الباب. فقال: هذا خطأ، بل أغلق الباب وأتِ بالطّعام. قال: أنت حرّ لعلمك بالحزم.

Dikabarkan oleh al-Azhari dan Ubaid bin Ali al-Raqqi, mereka berdua berkata: “Diceritakan oleh Ubaidillah bin Muhammad al-Muqri, dari Muhammad bin Yahya al-Shuli, dari Yamut, yaitu Ibnu al-Muzarra’, ia berkata: al-Jahiz berkata: 

“Seorang laki-laki kikir (bakhil) berkata pada budaknya: ‘Hidangkan makanan dan tutup pintu.’ Budak itu menjawab: ‘Ini salah, (tuan), yang benar adalah tutup pintu dulu baru hidangkan makanan.” Tuannya berkata: “Kau (ku)bebaskan karena pengetahuanmu yang mantap.” (Imam Abu Bakr Ahmad al-Khatib al-Baghdadi, Kitâb al-Bukhalâ’, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2000, hlm 102)

****

Kali ini agak berbeda. Hikmah yang disajikan tidak seperti sebelumnya. Biasanya hikmah diambil dari kisah kesalehan atau ketakwaan seseorang, tapi kali ini berbeda. Sebelum masuk terlalu dalam, kita perlu memahami terlebih dahulu bahwa hikmah tidak melulu dapat diambil dari kisah yang membuat kita “wow” dan berujar “ooh, iya, iya, iya.” 

Karena hikmah bisa diambil dari mana saja, termasuk dari cerita si kikir yang lumayan lucu. Itulah kenapa ada kisah tentang Fir’aun, Abu Lahab, Qarun, dan lain sebagainya dalam Al-Qur’an dan hadits. Usaha Imam al-Khatib al-Baghdadi (463 H) mengumpulkan berbagai riwayat orang-orang bakhil (pelit) tentu memiliki tujuan tertentu, bahwa membaca kisah-kisah mereka tidak kurang hikmahnya dari membaca kisah-kisah lainnya.

Dalam kisah di atas, kekikiran (kebakhilan) tidak ditampilkan sekadarnya saja. Kekikiran ditampilkan begitu baik dengan seperangkat metodologinya. Ketika tuan yang kikir menyuruh budaknya untuk menghidangkan makanan lalu menutup pintu, itu sudah menggambarkan kekikiran yang metodologis. Dengan menutup pintu, ia menyingkirkan peluang dimintai orang yang melintasi rumahnya. Ia berusaha mempertahankan kekikirannya tanpa merusak citranya.

Akan tetapi, metodologi yang sudah sedemikian bagus disalahkan oleh budaknya. “Ini salah, (tuan), yang benar adalah tutup pintu dulu baru hidangkan makanan,” katanya. Pendekatan kikir (bakhil) yang diajukan budaknya jauh lebih logis. Sebab, jika menghidangkan makanan lebih dulu lalu menutup pintu, itu masih memberi peluang bagi orang yang melintasi rumahnya, meski kemungkinannya sangat kecil. Tapi, jika menutup pintu terlebih dahulu lalu menghidangkan makanan, peluang itu sama sekali tertutup. Inilah yang membuatnya dibebaskan tuannya.

Pembebasan tersebut dapat dipahami menggunakan dua arah; pertama, sangat kikirnya tuan dari budak tersebut, sehingga pengetahuan tentang cara kikir yang baik membuatnya bahagia. Kedua, ketakutan tuannya, sebab budak yang cerdas dalam berbagai pendekatan kikir membuatnya takut akan sering dibohongi, sebelum itu terjadi ia memutuskan untuk membebaskan budaknya. Lalu, apa hikmah yang bisa diambil dari kisah di atas? Sebelum masuk lebih jauh, mari kita simak firman Allah SWT berikut ini (QS Ali Imran: 180):

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Jangan sekali-kali orang-orang yang bakhil (kikir) dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka, sebenarnya kebakhilan itu buruk bagi mereka, harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.”

Dalam ayat di atas, Allah memperingatkan orang-orang bakhil (kikir) dengan keras bahwa harta mereka akan dikalungkan di leher mereka kelak di hari kiamat. Artinya sifat kikir itu sangat berbahaya bagi kesejahteraan individu maupun sosial. Secara individu, kikir membatasi jiwa manusia dari pancaran kasih sayang, sedangkan akar kebaikan di dunia ini adalah kasih sayang. Secara sosial, kikir menjadi penyebab utama minimnya pendapatan zakat dan pemasukan pajak negara, sehingga berperan besar dalam terhentinya distribusi kesejahteraan yang merata. Ini baru dari satu pandangan yang telah disederhanakan, belum pandangan menyeluruh, karena fokus kita di sini hanya pada wilayah, “bagaimana seharusnya manusia menyikapi kekikirannya?”

Banyak orang kikir tidak tahu dirinya kikir, jika pun tahu ia menganggapnya biasa-biasa saja, dan mengiranya tidak berbahaya. Inilah kenapa pandangan kita terhadap kikir harus dirubah. Selama ini banyak yang berpandangan kikir (pelit) sebatas pada “diminta tapi tidak memberi” atau “tidak pernah memberi sama sekali”. Pandangan seperti itu memang benar, tapi kita harus mulai menempatkan kikir sebagai proses internalisasi diri. Artinya kita harus mencari muasal dari sifat kikir, dan melepaskannya dari sekadar predikat semata. Kita lebih sering menggunakan kata “kikir/pelit” untuk orang lain daripada diri kita sendiri. Kita terlalu memperhatikan perlakuan orang lain kepada kita, tapi menolak untuk mengenali kekikiran kita sendiri. Inilah yang harus kita rubah.

Terlebih dahulu kita harus akui bahwa setiap manusia disemayami oleh sifat kikir dengan potensi yang sama. Potensi menjadi sangat kikir, kikir saja, dan agak kikir. Menghilangkan sepenuhnya bisa dikatakan mustahil. Sedermawan apapun manusia pasti ada kekikiran di hatinya. Pertanyaannya, kikirnya itu kikir yang lunak atau kikir yang keras? 

Perlu diketahui, lunak atau kerasnya kikir itu tidak permanen, tapi berkembang bersamaan dengan pertumbuhan manusianya. Jika kita baca kisah-kisah para wali, kita sering temui kedermawanan mereka di luar penalaran kita. Sayyidina Abdullah bin Abbas yang memberikan rumah beserta isinya secara cuma-cuma kepada Sayyidina Abu Ayyub al-Anshari. Sayyid Abul Hasan al-Syadzili yang secara sukarela memberikan apapun yang diminta orang kepadanya, dan masih banyak contoh lainnya. 

Sifat-sifat dasar mereka sebagai manusia tidak berbeda dengan sifat-sifat dasar kita. Maksudnya, mereka dan kita memiliki potensi dasar yang sama dalam meraih ketakwaan. Sama-sama bermula dari tangisan kelahiran, kemudian tumbuh kembang, dan pada akhirnya meninggal. Karena itu Rasulullah bersabda (HR Imam al-Bukari): “ni’matâni maghbûnun fîhimâ katsîrun minan nâs al-shihhah wa al-farâg—ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tak merasainya; nikmat sehat dan waktu luang.” 

Jika dikembangkan begini, waktu per-hari semua orang adalah 24 jam, baik Imam al-Syafi’i, Sayyid Abul Hasan al-Syadzili maupun orang bakhil dalam kisah di atas tadi. Dengan modal yang sama; sehat dan waktu sehari 24 jam, apa yang membuat kita, orang bakhil dan para dermawan itu berbeda? Padahal awalnya sama, dengan modal yang sama pula. Tidak ada salah satu darinya yang waktu per-harinya 34 jam. Kita pun sehat, sama seperti mereka.

Yang membedakan adalah usaha diri kita sendiri. Orang-orang mulia itu tidak hanya mengisi waktunya dengan menuntut ilmu sejak kecil, tapi juga terus berusaha menyehatkan spiritualitasnya. Sementara kita sibuk dengan “entah apa”. Memang, ada pengaruh lingkungan, tapi hal ini tidak bisa dijadikan sebagai dalih. Sebab, jutaan orang yang lahir di lingkungan yang sama dengan mereka tidak seperti mereka. Begitu pun sebaliknya, beberapa orang yang lahir di lingkungan seperti kita, banyak yang terlihat seperti mereka dalam konteks kedemawanannya. Karena itu, kita perlu lebih sering melihat ke dalam diri, mengamati dan menilainya, meski susah menjelaskan bagaimana caranya secara terperinci.

Memang, kita tidak bisa pungkiri, membangun konsep pelunakan “kekikiran” sangat sukar dilakukan di ruang tulis yang sempit ini. Tapi setidaknya kita bisa memperoleh gambaran kecil sebagai pengantarnya. Semoga saja gambaran kecil itu membawa kita untuk terus mencari gambaran-gambaran lain yang lebih besar, dan alangkah baiknya, selama dalam pencarian, kita selalu membaca doa Rasulullah (HR Imam Abu Dawud):

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ

“Wahai Allah, sungguh aku berlindung padaMu dari bingung dan sedih, aku berlindung padaMu dari lemah dan malas, aku berlindung padaMu dari pengecut dan kikir, dan aku berlindung pada-Mu dari belitan hutang dan keganasan manusia.”

Wallahu a’lam... []

Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar