Kisah Budak Kikir Dibebaskan karena
Kekikirannya
Dalam kitab al-Bukhalâ (orang-orang
kikir/bakhil), Imam al-Khathib al-Baghdadi mencantumkan riwayat tentang seorang
budak dan tuannya yang kikir. Berikut riwayatnya:
أخبرني
الأزهري وعبيد بن علي الرقي قالا: حدّثنا عبيد الله بن محمد المقريء، حدثنا محمد
بن يحي الصولي، حدثنا يموت، هو ابن المزرّع، قال: قال الجاحظ: قال رجلٌ من البخلاء لغلامه: هات الطعام وأغلق الباب. فقال:
هذا خطأ، بل أغلق الباب وأتِ بالطّعام. قال: أنت حرّ لعلمك بالحزم.
Dikabarkan oleh al-Azhari dan Ubaid bin Ali
al-Raqqi, mereka berdua berkata: “Diceritakan oleh Ubaidillah bin Muhammad
al-Muqri, dari Muhammad bin Yahya al-Shuli, dari Yamut, yaitu Ibnu al-Muzarra’,
ia berkata: al-Jahiz berkata:
“Seorang laki-laki kikir (bakhil) berkata
pada budaknya: ‘Hidangkan makanan dan tutup pintu.’ Budak itu menjawab: ‘Ini
salah, (tuan), yang benar adalah tutup pintu dulu baru hidangkan makanan.”
Tuannya berkata: “Kau (ku)bebaskan karena pengetahuanmu yang mantap.” (Imam Abu
Bakr Ahmad al-Khatib al-Baghdadi, Kitâb al-Bukhalâ’, Beirut: Dar Ibnu
Hazm, 2000, hlm 102)
****
Kali ini agak berbeda. Hikmah yang disajikan
tidak seperti sebelumnya. Biasanya hikmah diambil dari kisah kesalehan atau
ketakwaan seseorang, tapi kali ini berbeda. Sebelum masuk terlalu dalam, kita
perlu memahami terlebih dahulu bahwa hikmah tidak melulu dapat diambil dari
kisah yang membuat kita “wow” dan berujar “ooh, iya, iya, iya.”
Karena hikmah bisa diambil dari mana saja,
termasuk dari cerita si kikir yang lumayan lucu. Itulah kenapa ada kisah
tentang Fir’aun, Abu Lahab, Qarun, dan lain sebagainya dalam Al-Qur’an dan
hadits. Usaha Imam al-Khatib al-Baghdadi (463 H) mengumpulkan berbagai riwayat
orang-orang bakhil (pelit) tentu memiliki tujuan tertentu, bahwa membaca
kisah-kisah mereka tidak kurang hikmahnya dari membaca kisah-kisah lainnya.
Dalam kisah di atas, kekikiran (kebakhilan)
tidak ditampilkan sekadarnya saja. Kekikiran ditampilkan begitu baik dengan
seperangkat metodologinya. Ketika tuan yang kikir menyuruh budaknya untuk
menghidangkan makanan lalu menutup pintu, itu sudah menggambarkan kekikiran
yang metodologis. Dengan menutup pintu, ia menyingkirkan peluang dimintai orang
yang melintasi rumahnya. Ia berusaha mempertahankan kekikirannya tanpa merusak
citranya.
Akan tetapi, metodologi yang sudah sedemikian
bagus disalahkan oleh budaknya. “Ini salah, (tuan), yang benar adalah tutup
pintu dulu baru hidangkan makanan,” katanya. Pendekatan kikir (bakhil) yang
diajukan budaknya jauh lebih logis. Sebab, jika menghidangkan makanan lebih
dulu lalu menutup pintu, itu masih memberi peluang bagi orang yang melintasi
rumahnya, meski kemungkinannya sangat kecil. Tapi, jika menutup pintu terlebih
dahulu lalu menghidangkan makanan, peluang itu sama sekali tertutup. Inilah
yang membuatnya dibebaskan tuannya.
Pembebasan tersebut dapat dipahami menggunakan
dua arah; pertama, sangat kikirnya tuan dari budak tersebut, sehingga
pengetahuan tentang cara kikir yang baik membuatnya bahagia. Kedua, ketakutan
tuannya, sebab budak yang cerdas dalam berbagai pendekatan kikir membuatnya
takut akan sering dibohongi, sebelum itu terjadi ia memutuskan untuk
membebaskan budaknya. Lalu, apa hikmah yang bisa diambil dari kisah di atas?
Sebelum masuk lebih jauh, mari kita simak firman Allah SWT berikut ini (QS Ali
Imran: 180):
وَلَا
يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ
خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
“Jangan sekali-kali orang-orang yang bakhil
(kikir) dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya
menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka, sebenarnya kebakhilan itu
buruk bagi mereka, harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di
lehernya di hari kiamat.”
Dalam ayat di atas, Allah memperingatkan
orang-orang bakhil (kikir) dengan keras bahwa harta mereka akan dikalungkan di
leher mereka kelak di hari kiamat. Artinya sifat kikir itu sangat berbahaya
bagi kesejahteraan individu maupun sosial. Secara individu, kikir membatasi
jiwa manusia dari pancaran kasih sayang, sedangkan akar kebaikan di dunia ini
adalah kasih sayang. Secara sosial, kikir menjadi penyebab utama minimnya
pendapatan zakat dan pemasukan pajak negara, sehingga berperan besar dalam
terhentinya distribusi kesejahteraan yang merata. Ini baru dari satu pandangan
yang telah disederhanakan, belum pandangan menyeluruh, karena fokus kita di
sini hanya pada wilayah, “bagaimana seharusnya manusia menyikapi kekikirannya?”
Banyak orang kikir tidak tahu dirinya kikir,
jika pun tahu ia menganggapnya biasa-biasa saja, dan mengiranya tidak
berbahaya. Inilah kenapa pandangan kita terhadap kikir harus dirubah. Selama
ini banyak yang berpandangan kikir (pelit) sebatas pada “diminta tapi tidak
memberi” atau “tidak pernah memberi sama sekali”. Pandangan seperti itu memang
benar, tapi kita harus mulai menempatkan kikir sebagai proses internalisasi
diri. Artinya kita harus mencari muasal dari sifat kikir, dan melepaskannya
dari sekadar predikat semata. Kita lebih sering menggunakan kata “kikir/pelit”
untuk orang lain daripada diri kita sendiri. Kita terlalu memperhatikan
perlakuan orang lain kepada kita, tapi menolak untuk mengenali kekikiran kita
sendiri. Inilah yang harus kita rubah.
Terlebih dahulu kita harus akui bahwa setiap
manusia disemayami oleh sifat kikir dengan potensi yang sama. Potensi menjadi
sangat kikir, kikir saja, dan agak kikir. Menghilangkan sepenuhnya bisa
dikatakan mustahil. Sedermawan apapun manusia pasti ada kekikiran di hatinya.
Pertanyaannya, kikirnya itu kikir yang lunak atau kikir yang keras?
Perlu diketahui, lunak atau kerasnya kikir
itu tidak permanen, tapi berkembang bersamaan dengan pertumbuhan manusianya.
Jika kita baca kisah-kisah para wali, kita sering temui kedermawanan mereka di
luar penalaran kita. Sayyidina Abdullah bin Abbas yang memberikan rumah beserta
isinya secara cuma-cuma kepada Sayyidina Abu Ayyub al-Anshari. Sayyid Abul
Hasan al-Syadzili yang secara sukarela memberikan apapun yang diminta orang
kepadanya, dan masih banyak contoh lainnya.
Sifat-sifat dasar mereka sebagai manusia
tidak berbeda dengan sifat-sifat dasar kita. Maksudnya, mereka dan kita
memiliki potensi dasar yang sama dalam meraih ketakwaan. Sama-sama bermula dari
tangisan kelahiran, kemudian tumbuh kembang, dan pada akhirnya meninggal.
Karena itu Rasulullah bersabda (HR Imam al-Bukari): “ni’matâni maghbûnun
fîhimâ katsîrun minan nâs al-shihhah wa al-farâg—ada dua nikmat yang
kebanyakan manusia tak merasainya; nikmat sehat dan waktu luang.”
Jika dikembangkan begini, waktu per-hari
semua orang adalah 24 jam, baik Imam al-Syafi’i, Sayyid Abul Hasan al-Syadzili
maupun orang bakhil dalam kisah di atas tadi. Dengan modal yang sama; sehat dan
waktu sehari 24 jam, apa yang membuat kita, orang bakhil dan para dermawan itu
berbeda? Padahal awalnya sama, dengan modal yang sama pula. Tidak ada salah
satu darinya yang waktu per-harinya 34 jam. Kita pun sehat, sama seperti
mereka.
Yang membedakan adalah usaha diri kita
sendiri. Orang-orang mulia itu tidak hanya mengisi waktunya dengan menuntut
ilmu sejak kecil, tapi juga terus berusaha menyehatkan spiritualitasnya.
Sementara kita sibuk dengan “entah apa”. Memang, ada pengaruh lingkungan, tapi
hal ini tidak bisa dijadikan sebagai dalih. Sebab, jutaan orang yang lahir di
lingkungan yang sama dengan mereka tidak seperti mereka. Begitu pun sebaliknya,
beberapa orang yang lahir di lingkungan seperti kita, banyak yang terlihat
seperti mereka dalam konteks kedemawanannya. Karena itu, kita perlu lebih
sering melihat ke dalam diri, mengamati dan menilainya, meski susah menjelaskan
bagaimana caranya secara terperinci.
Memang, kita tidak bisa pungkiri, membangun
konsep pelunakan “kekikiran” sangat sukar dilakukan di ruang tulis yang sempit
ini. Tapi setidaknya kita bisa memperoleh gambaran kecil sebagai pengantarnya.
Semoga saja gambaran kecil itu membawa kita untuk terus mencari
gambaran-gambaran lain yang lebih besar, dan alangkah baiknya, selama dalam
pencarian, kita selalu membaca doa Rasulullah (HR Imam Abu Dawud):
اللَّهُمَّ
إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ
وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ
غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ
“Wahai Allah, sungguh aku berlindung padaMu
dari bingung dan sedih, aku berlindung padaMu dari lemah dan malas, aku
berlindung padaMu dari pengecut dan kikir, dan aku berlindung pada-Mu dari
belitan hutang dan keganasan manusia.”
Wallahu a’lam... []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar