Jumat, 30 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Hukum Bermakmum kepada Imam yang Beristri Non-Muslim


Hukum Bermakmum kepada Imam yang Beristri Non-Muslim

Pertanyaan:

Assalamu alaikum wr. wb.
Redaksi bahtsul masail NU Online, di kampung teman saya ada seorang Muslim yang saleh tapi menikah dengan wanita non-Muslim. Karena kesalehannya akhirnya laki-laki itu sering menjadi imam di mushalla. Tapi sebagian jamaah kurang yakin jika ia yang menjadi imam karena istrinya non-Muslim. Bagaimana hukum bermakmum shalat kepada laki-laki tersebut? Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu alaikum wr. wb.

M Najikun – Sidoarjo

Jawaban:

Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah SWT. Shalat berjamaah merupakan ibadah penting yang mendapat kemuliaan dari Allah bagi mereka yang mengerjakannya. Begitu penting shalat ini, imam memiliki kedudukan yang sangat terhormat. Oleh karenanya posisi imam memiliki kriteria sebagaimana disebutkan dalam riwayat Imam Muslim.

عن أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ قَالَ الْأَشَجُّ فِي رِوَايَتِهِ مَكَانَ سِلْمًا سِنًّا 

Artinya, “Dari Abu Masud Al-Anshari, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Yang menjadi imam suatu kaum adalah ia yang paling mahir membaca Al-Qur’an. Jika kemahiran beberapa orang umumnya berdekatan, maka imamnya adalah ia yang paling mengerti sunnah. Jika kemampuan mereka berdekatan, maka imamnya adalah ia yang lebih dahulu hijrah, dan yang lebih dahulu memeluk Islam. Seseorang tidak mengimami orang lain dalam kekuasaannya. Ia juga tidak menduduki sebuah tempat tertentu yang terhormat di mata tuan rumah tanpa seizinnya.’ Al-Asyaj dalam riwayatnya mengatakan, ‘yang lebih tua’ sebagai pengganti ‘yang lebih dahulu memeluk Islam,’” (HR Muslim).

Secara umum dapat dipahami bahwa posisi imam merupakan kedudukan yang seharusnya diisi oleh orang yang memiliki kriteria tertentu, minimal adalah pelafalan Al-Qur’an yang baik. Lalu bagaimana kalau orang yang memiliki kriteria tersebut juga bukan orang yang dikenal baik di masyarakat, orang yang jahat, zalim, atau tidak menjaga diri dari dosa besar atau kecil. Apakah sah bermakmum kepada orang seperti ini?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa shalat berjamaah dengan seorang imam yang dikenal tidak baik di masyarakat tetap sah karena para sahabat juga menjadi makmum shalat berjamaah atas imam yang zalim. Mayoritas ulama tidak mensyaratkan keadilan (kesalehan atau integritas) sebagai syarat keimaman.

قال الجمهور بصحة الصلاة خلف الفاسق مع الكراهة لأن العدالة عندهم غير شرط في الإمامة ويقويه حديث صلوا خلف من قال لا إله إلا الله

Artinya, “Mayoritas ulama menyatakan keabsahan shalat berjamaah dengan imam yang fasik meski makruh karena keadilan (integritas) seseorang bagi mereka bukan syarat keimaman. Pandangan ini diperkuat oleh hadits, ‘Shalatlah kalian di belakang orang yang berkata ‘La ilaha illallah,’’” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 21).

Di luar pandangan mayoritas ulama, kalangan ulama dari mazhab Hanbali mensyaratkan mensyaratkan keadilan (kesalehan atau integritas) sebagai syarat keimaman. Dengan demikian, shalat berjamaah dengan imam yang fasiq–bagi kalangan mereka–tidak sah.

Lalu bagaimana status shalat berjamaah dengan imam yang beristrikan seorang non-Muslim seperti pertanyaan di atas? Apakah shalat berjamaahnya tetap sah, tidak sah, makruh, atau khilaful aula (sekadar menyalahi yang utama)?

Pertama sekali, kita perlu hati-hati mendudukkan seorang Muslim yang beristrikan seorang perempuan non-Muslim. Hal ini menurut kami perlu kajian lebih lanjut. Tetapi terkait shalat berjamaah ini, kami perlu mengutip pandangan Syekh Wahbah Az-Zuhayli yang menyebut imam yang berbeda pandangan dalam soal furuiyah (partikular) dalam agama sebagai berikut.

وتجوز إمامة بعض الأشخاص مع كونها خلاف الأولى في كل ما يأتي: فتجوز كما بينا إمامة الأعمى، وإمامة مخالف في الفروع، وإمامة ألكن: وهو من لايكاد يخرج بعض الحروف من مخارجها لعجمة أو غيرها، مثل أن يقلب الحاء هاء، أو الراء لاماً، أو الضاد دالاً

Artinya, “(Kita) Boleh bermakmum kepada individu tertentu meski menyalahi yang utama sebagai berikuti: (kita) sebagaimana telah kami jelaskan boleh bermakmum kepada seorang disabilitas netra, seseorang yang berbeda pandangan dalam soal furuiyah (partikular) dalam agama, atau seseorang yang ‘kurang fasih’, yaitu orang yang hampir-hampir tidak dapat menyebutkan makhraj secara tepat karena faktor keajaman (non-Arab), atau faktor lain seperti orang yang mengubah pelafalan ‘ha’ kecil menjadi ‘ha’ besar, ‘ra’ menjadi ‘lam’, atau ‘dhad’ menjadi ‘dal’,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1305], cetakan kedua, juz II, halaman 193-194).

Dari keterangan Syekh Wahbah ini, kita dapat menarik simpulan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir dan gelisah atas status shalat berjamaah dengan imam ini. Shalat berjamaah dengan imam ini tetap sah tanpa makruh, terlebih lagi imam ini dikenal masyarakat sebagai orang saleh dalam kesehariannya.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

[]

Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar