Hukum Bermakmum kepada Imam
yang Beristri Non-Muslim
Pertanyaan:
Assalamu alaikum wr. wb.
Redaksi bahtsul masail NU Online, di kampung
teman saya ada seorang Muslim yang saleh tapi menikah dengan wanita non-Muslim.
Karena kesalehannya akhirnya laki-laki itu sering menjadi imam di mushalla.
Tapi sebagian jamaah kurang yakin jika ia yang menjadi imam karena istrinya
non-Muslim. Bagaimana hukum bermakmum shalat kepada laki-laki tersebut? Mohon
penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu alaikum wr. wb.
M Najikun – Sidoarjo
Jawaban:
Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah
SWT. Shalat berjamaah merupakan ibadah penting yang mendapat kemuliaan dari
Allah bagi mereka yang mengerjakannya. Begitu penting shalat ini, imam memiliki
kedudukan yang sangat terhormat. Oleh karenanya posisi imam memiliki kriteria
sebagaimana disebutkan dalam riwayat Imam Muslim.
عن
أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ
كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي
السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ
سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي
سُلْطَانِهِ وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
قَالَ الْأَشَجُّ فِي رِوَايَتِهِ مَكَانَ سِلْمًا سِنًّا
Artinya, “Dari Abu Masud Al-Anshari, ia
berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Yang menjadi imam suatu kaum adalah ia
yang paling mahir membaca Al-Qur’an. Jika kemahiran beberapa orang umumnya
berdekatan, maka imamnya adalah ia yang paling mengerti sunnah. Jika kemampuan
mereka berdekatan, maka imamnya adalah ia yang lebih dahulu hijrah, dan yang
lebih dahulu memeluk Islam. Seseorang tidak mengimami orang lain dalam
kekuasaannya. Ia juga tidak menduduki sebuah tempat tertentu yang terhormat di
mata tuan rumah tanpa seizinnya.’ Al-Asyaj dalam riwayatnya mengatakan, ‘yang
lebih tua’ sebagai pengganti ‘yang lebih dahulu memeluk Islam,’” (HR Muslim).
Secara umum dapat dipahami bahwa posisi imam
merupakan kedudukan yang seharusnya diisi oleh orang yang memiliki kriteria
tertentu, minimal adalah pelafalan Al-Qur’an yang baik. Lalu bagaimana kalau
orang yang memiliki kriteria tersebut juga bukan orang yang dikenal baik di
masyarakat, orang yang jahat, zalim, atau tidak menjaga diri dari dosa besar
atau kecil. Apakah sah bermakmum kepada orang seperti ini?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa shalat
berjamaah dengan seorang imam yang dikenal tidak baik di masyarakat tetap sah
karena para sahabat juga menjadi makmum shalat berjamaah atas imam yang zalim.
Mayoritas ulama tidak mensyaratkan keadilan (kesalehan atau integritas) sebagai
syarat keimaman.
قال
الجمهور بصحة الصلاة خلف الفاسق مع الكراهة لأن العدالة عندهم غير شرط في الإمامة
ويقويه حديث صلوا خلف من قال لا إله إلا الله
Artinya, “Mayoritas ulama menyatakan
keabsahan shalat berjamaah dengan imam yang fasik meski makruh karena keadilan
(integritas) seseorang bagi mereka bukan syarat keimaman. Pandangan ini
diperkuat oleh hadits, ‘Shalatlah kalian di belakang orang yang berkata ‘La ilaha
illallah,’’” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas
Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan
pertama, juz II, halaman 21).
Di luar pandangan mayoritas ulama, kalangan
ulama dari mazhab Hanbali mensyaratkan mensyaratkan keadilan (kesalehan atau
integritas) sebagai syarat keimaman. Dengan demikian, shalat berjamaah dengan
imam yang fasiq–bagi kalangan mereka–tidak sah.
Lalu bagaimana status shalat berjamaah dengan
imam yang beristrikan seorang non-Muslim seperti pertanyaan di atas? Apakah
shalat berjamaahnya tetap sah, tidak sah, makruh, atau khilaful aula (sekadar
menyalahi yang utama)?
Pertama sekali, kita perlu hati-hati
mendudukkan seorang Muslim yang beristrikan seorang perempuan non-Muslim. Hal
ini menurut kami perlu kajian lebih lanjut. Tetapi terkait shalat berjamaah
ini, kami perlu mengutip pandangan Syekh Wahbah Az-Zuhayli yang menyebut imam
yang berbeda pandangan dalam soal furuiyah (partikular) dalam agama sebagai
berikut.
وتجوز
إمامة بعض الأشخاص مع كونها خلاف الأولى في كل ما يأتي: فتجوز كما بينا إمامة
الأعمى، وإمامة مخالف في الفروع، وإمامة ألكن: وهو من لايكاد يخرج بعض الحروف من
مخارجها لعجمة أو غيرها، مثل أن يقلب الحاء هاء، أو الراء لاماً، أو الضاد دالاً
Artinya, “(Kita) Boleh bermakmum kepada
individu tertentu meski menyalahi yang utama sebagai berikuti: (kita)
sebagaimana telah kami jelaskan boleh bermakmum kepada seorang disabilitas
netra, seseorang yang berbeda pandangan dalam soal furuiyah (partikular) dalam
agama, atau seseorang yang ‘kurang fasih’, yaitu orang yang hampir-hampir tidak
dapat menyebutkan makhraj secara tepat karena faktor keajaman (non-Arab), atau
faktor lain seperti orang yang mengubah pelafalan ‘ha’ kecil menjadi ‘ha’
besar, ‘ra’ menjadi ‘lam’, atau ‘dhad’ menjadi ‘dal’,” (Lihat Syekh Wahbah
Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1305],
cetakan kedua, juz II, halaman 193-194).
Dari keterangan Syekh Wahbah ini, kita dapat
menarik simpulan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir dan gelisah atas status
shalat berjamaah dengan imam ini. Shalat berjamaah dengan imam ini tetap sah
tanpa makruh, terlebih lagi imam ini dikenal masyarakat sebagai orang saleh
dalam kesehariannya.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa
dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari
para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
[]
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar