Jual Beli Bersyarat yang
Dilarang Syariat
Ada tiga hadits sebagai pangkal mengapa
terjadi perbedaan pendapat di kalangan fuqaha' tentang boleh atau tidaknya jual
beli dengan syarat. Pertama adalah hadits Jabir radliyallahu 'anhu:
ابتاع
مني رسول الله صلى الله عليه وسلم بعيرا وشرط ظهره الى المدينة
Artinya: "Rasulullah ﷺ menjual seekor unta
ba'ir dan mensyaratkan punggungnya sampai Madinah." (Ahmad Yusuf, Uqûdu
al-Mu’awadlat al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah,
Islamabad: Daru al-Nashr bi Jâmi’at al-Qâhirah, tt.: 43)
Hadits ini termaktub dalam Shahih Bukhari
bagian Kitab Syuruth dan Shahih Muslim bagian Kitab Musaaqah.
Hadits kedua yang menjadi pangkal ikhtilaf
adalah Hadits Barirah:
إن
رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: كل شرط ليس في كتاب الله فهو باطل ولو
كان مائة شرط
Artinya: "Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda:
"Setiap syarat yang tiada dimuat dalam Kitabullah adalah bathil (tidak
sah), meskipun terdapat 100 syarat." Hadits shahih riwayat
Bukhari-Muslim. (Ahmad Yusuf, Uqûdu al-Mu’awadlat al-Mâliyyah fi Dlaui
Ahkâmi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, Islamabad: Daru al-Nashr bi Jâmi’at
al-Qâhirah, tt.: 43)
Hadits ketiga adalah hadits Jabir
radliyallahu 'anhu:
نهى
رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المحافلة والمزابنة والمخابرة والمعاومة والثنيا،
ورخص في العرايا
Artinya: "Rasulullah ﷺ melarang jual beli muhâfalah,
muzâbanah, mukhâbarah, mu'âwamah dan tsanaya, dan
beliau memberi rukhshah atas jual beli ‘araya." Hadits ini
diriwayatkan berulang kali. Termaktub dalam Shahih Muslim. (Ahmad Yusuf, Uqûdu
al-Mu’awadlat al-Mâliyyah fi Dlaui Ahkâmi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah,
Islamabad: Daru al-Nashr bi Jâmi’at al-Qâhirah, tt.: 43)
Yang dimaksud dengan jual beli muhâfalah adalah
jual beli gandum yang masih di tangkai dengan gandum bersih siap pakai. Jual
beli muzâbanah adalah akad tukar-menukar kurma basah yang masih ada di
pohon dengan harga kurma kering yang disertai takaran tertentu yang disebutkan.
Jual beli mukhâbarah dan muzâra'ah, keduanya memiliki kemiripan
dalam makna, dan hukumnya ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha'.
Kedua jual beli ini mensyaratkan sesuatu yang masih ada di kebun atau
persawahan. Imam Nawawi menyatakan kebolehannya.
Jual beli mu’âwamah adalah jual beli
yang disyaratkan penerimaannya di tahun mendatang. Hukumnya juga mengandung
perbedaan pendapat ahli fiqih sebagaimana telah diuraikan terdahulu pada jual
beli dengan syarat yang diperbolehkan syara'. Jual beli tsunya atau tsanaya
adalah jual beli dengan disertai pengecualian manfaat tertentu barang.
Sementara jual beli 'araya adalah jual beli barang dengan syarat tidak boleh
melebihi 5 ausuq kurma ruthab (kurma muda) dengan harga 5 ausuq kurma
kering disebabkan ruthab lebih banyak digemari konsumen. Jual beli seperti
terakhir ini mendapatkan keringanan hukum kebolehannya karena adanya hajat.
Adapun pangkal kajian kita kali ini adalah
larangan jual beli dengan syarat. Titik tolak kajian adalah syarat apa saja
yang dilarang?
Mencermati hasil penyimpulan Ibnu Rusyd
terhadap khilaf fuqaha', diketahui bahwa:
Ulama' yang menyatakan batalnya akad jual
beli dengan syarat adalah karena menangkap keumuman nash larangan, termasuk
keumuman larangan jual beli al-thanaya. Adapun ulama yang membolehkan adalah
karena berpedoman pada hadits Umar yang menyebut soal jual beli dan syarat
bersama-sama. Sementara itu, ulama yang menyatakan sahnya jual beli, namun
syaratnya batal, adalah karena berdoman pada keumuman hadits Barirah. Ulama
yang tidak membolehkan adanya dua syarat, dan hanya membolehkan satu syarat
saja, adalah karena berpedoman pada hadits 'Amru bin 'Ash sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Dawud. Rasulullah ﷺ bersabda:
لا
يحل سلف وبيع ولايجوز شرطان في بيع ولاربح مالم تضمن ولابيع ماليس هو عندك
Artinya: "Tidak sah akad pesan dan jual
beli, dan tidak boleh ada dua syarat dalam satu jual beli, tidak boleh
mengambil laba barang yang belum bisa dijamin, dan tidak boleh jual beli barang
yang belum ada disisimu." [Abu Al Walîd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad
bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthuby, Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu
al-Muqtashid, Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, tt.: 2/160].
Menyimpulkan terhadap sejumlah ikhtilaf
pendapat mengenai syarat tersebut maka ditetapkanlah batasan-batasan syarat
yang menyebabkan akad jual beli menjadi rusak.
Ada tiga batasan syarat yang merusak
akad, yaitu:
1. Jika syarat membatalkan tujuan utama dari
transaksi. Contoh: Jual beli dilakukan dengan syarat bila barang ditemui adanya
cacat, maka tidak boleh dikembalikan. Syarat seperti ini adalah bersifat
membatalkan hak pembeli untuk mendapatkan barang yang tidak cacat dalam
transaksinya. Pasal yang dilanggar adalah hadits Barirah di atas.
2. Bila salah satu orang yang bertransaksi
mensyaratkan adanya akad lain di luar jual beli. Contoh: Juallah rumahmu
kepadaku, dan kamu akan mendapatkan sewa dariku. Atau juallah mobilmu kepadaku,
kamu akan saya nikahkan dengan saudara perempuanku. Hubungan sebab akibat
antara dua akad yang mendorong salah satu pihak transaksi pada posisi sulit (syiqaq)
adalah sama dengan jual beli gharar.
3. Menggantungkan akad pada sesuatu yang
belum pasti kejadiannya. Contoh: Aku akan jual mobilku ke kamu kalau aku jadi
pergi. Status kepergian penjual yang belum pasti menyebabkan akad jual beli
tersebut batal. Sebab, bisa jadi orang yang berjanji hendak menjual tidak jadi
bepergian dalam kurun waktu yang lama, sementara barang yang dijanjikan sudah
rusak. Padahal, orang yang berharap-harap bisa membeli tentunya menghendaki
kondisi bagusnya barang. Syarat semacam ini merupakan syarat fasid
(syarat rusak) sehingga pihak pembeli bisa membatalkannya.
Wallahu A'lam bish Shawab. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar