Penghargaan Perbedaan
untuk Produktivitas
Judul
: Meyakini Menghargai, Religious Literacy Series
Penulis
: Ibn Ghifarie
Cetakan
: I, Desember 2018
Tebal
: 117 halaman
Penerbit
: Expose
ISBN
: 978-602-7829-46-6
Peresensi
: Syakir NF, mahasiswa
Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta
Keragaman di
Indonesia merupakan keniscayaan. Kita sebagai bagian di dalamnya tentu tidak
bisa menghindar atau menolak hal itu. Bahkan, mestinya hal tersebut menjadi
rahmat dan anugerah bagi kita. Banyak warna yang menghiasi negeri kita
memunculkan nuansa keindahan di mata dunia, sebagaimana pelangi dengan beragam
warnanya terlihat indah.
Warna-warna itu tidak
hanya terdapat pada satu sisi saja, tetapi juga pada berbagai bidang, mulai
dari suku, bahasa, hingga keyakinan. Pada hal terakhir ini, Ibn Ghifarie
melukiskannya dengan sangat rinci pada bukunya yang berjudul Meyakini
Menghargai.
Sebagaimana kita
ketahui bersama, ada enam agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia, yakni
Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Selain itu, sebagian saudara-saudara
kita juga ada yang menganut kepercayaan lokal yang jumlahnya mencapai 187, di
antaranya Sunda Wiwitan, Kejawen, Kaharingan, Marapu, Tolotang, dan Parmalim.
Persaudaraan sebangsa
dan setanah air ini dibangun atas kesamaan identitas dan nasib perjuangan. Para
pendahulu kita berjuang untuk menegakkan kemerdekaan di negeri tercinta tidak
hanya dari satu golongan, melainkan dari berbagai macam latar belakang.
Masing-masing hadir dengan membawa semangat keindonesiaan, dan kemerdekaan,
bersatu tanpa mengharap imbalan, demi mewujudkan Indonesia sebagai negeri yang
merdeka. KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan, misalnya, dari Islam. Ada pula
dari Kristen, seperti Wolter Monginsidi dan Yos Sudarso. Mgr Soegijapranata dan
Ignatius Slamet Rijadi dari Katolik. Dari Buddha ada Gatot Subroto dan
Soemantri MS, sedangkan I Gusti Ngurah Rai yang namanya dijadikan sebagai nama
Bandara Internasional Denpasar, Bali itu dari Hindu. Sementara dari golongan
aliran kepercayaan, Wongsonagoro, dan Laksamana Muda John Lie dari Tionghoa.
Keragaman itu menyatu
dalam Indonesia, bhinneka tunggal ika. Frasa tersebut tentu tak asing di
telinga bangsa Indonesia. Meski berbeda keyakinan, bangsa Indonesia tetaplah
bersaudara, saudara sebangsa tanah air. Tak ayal, Rais Aam Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) 1984-1991 KH Achmad Shiddiq merumuskannya dalam diktum
triukhuwah, salah satunya adalah persaudaraan sebangsa, ukhuwah wathaniyah.
Meyakini Menghargai
memberikan pengenalan dasar kepada pembaca tentang hal-hal penting dari setiap
agama dan keyakinan yang ada di Indonesia, seperti tempat ibadahnya, hari
rayanya, ajaran secara umumnya, hingga tata cara ritual ibadahnya.
Dengan mengetahui hal
itu, kita bisa memahami satu sama lain. Pemahaman demikian akan melahirkan
penghargaan kita kepada mereka. Penghargaan kita kepada sesama manusia pada
umumnya, terlebih sesama warga negara Indonesia, khususnya, tentu tidak
menimbulkan stigma kafir yang justru melahirkan kecurigaan dan saling
merendahkan, merasa lebih tinggi derajatnya, dan sebagainya. Sebaliknya, rasa
toleransi kita terhadap sesama itu, meski dengan latar belakang yang berbeda,
akan menimbulkan keharmonisan.
Harmoni yang terwujud
dalam suatu kawasan menimbulkan rasa aman dan nyaman satu sama lain. Dengan hal
itu, kita bisa bersama memajukan negara kita, membangun kesejahteraan
masyarakat, dan hal positif lainnya. Sebab, kita tak lagi disibukkan dengan
debat kusir yang berujung pada ketidakproduktifan kita. Perdebatan panjang itu
toh tidak memberikan apa-apa kepada kita. Masing-masing enggan mengalah dan
tidak mau saling introspeksi karena merasa benar sendiri. Energi kita terbuang
sia-sia, tanpa menghasilkan buah manis yang jangankan buat orang lain, bagi
diri sendiri pun tak ada.
Oleh karena itu,
sudah saatnya kita berangkat meninggalkan kegiatan yang tidak produktif menuju
produktivitas dengan bermodalkan persatuan dan kesatuan. Hal demikian
sebetulnya sudah dipraktikkan oleh para atlet kita. Bulu tangkis, misalnya,
yang baru-baru ini meraih juara di All England, Ahsan dan Hendra Setiawan.
Mereka berasal dari etnis berbeda, bahasa yang berbeda, hingga keyakinan mereka
pun tak sama. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar