Senin, 26 Agustus 2019

(Buku of the Day) Meyakini Menghargai, Religious Literacy Series


Penghargaan Perbedaan untuk Produktivitas


Judul                : Meyakini Menghargai, Religious Literacy Series
Penulis             : Ibn Ghifarie
Cetakan            : I, Desember 2018
Tebal                : 117 halaman
Penerbit            : Expose
ISBN                 : 978-602-7829-46-6
Peresensi          : Syakir NF, mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta


Keragaman di Indonesia merupakan keniscayaan. Kita sebagai bagian di dalamnya tentu tidak bisa menghindar atau menolak hal itu. Bahkan, mestinya hal tersebut menjadi rahmat dan anugerah bagi kita. Banyak warna yang menghiasi negeri kita memunculkan nuansa keindahan di mata dunia, sebagaimana pelangi dengan beragam warnanya terlihat indah.

Warna-warna itu tidak hanya terdapat pada satu sisi saja, tetapi juga pada berbagai bidang, mulai dari suku, bahasa, hingga keyakinan. Pada hal terakhir ini, Ibn Ghifarie melukiskannya dengan sangat rinci pada bukunya yang berjudul Meyakini Menghargai.

Sebagaimana kita ketahui bersama, ada enam agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia, yakni Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Selain itu, sebagian saudara-saudara kita juga ada yang menganut kepercayaan lokal yang jumlahnya mencapai 187, di antaranya Sunda Wiwitan, Kejawen, Kaharingan, Marapu, Tolotang, dan Parmalim.

Persaudaraan sebangsa dan setanah air ini dibangun atas kesamaan identitas dan nasib perjuangan. Para pendahulu kita berjuang untuk menegakkan kemerdekaan di negeri tercinta tidak hanya dari satu golongan, melainkan dari berbagai macam latar belakang. Masing-masing hadir dengan membawa semangat keindonesiaan, dan kemerdekaan, bersatu tanpa mengharap imbalan, demi mewujudkan Indonesia sebagai negeri yang merdeka. KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan, misalnya, dari Islam. Ada pula dari Kristen, seperti Wolter Monginsidi dan Yos Sudarso. Mgr Soegijapranata dan Ignatius Slamet Rijadi dari Katolik. Dari Buddha ada Gatot Subroto dan Soemantri MS, sedangkan I Gusti Ngurah Rai yang namanya dijadikan sebagai nama Bandara Internasional Denpasar, Bali itu dari Hindu. Sementara dari golongan aliran kepercayaan, Wongsonagoro, dan Laksamana Muda John Lie dari Tionghoa.

Keragaman itu menyatu dalam Indonesia, bhinneka tunggal ika. Frasa tersebut tentu tak asing di telinga bangsa Indonesia. Meski berbeda keyakinan, bangsa Indonesia tetaplah bersaudara, saudara sebangsa tanah air. Tak ayal, Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1984-1991 KH Achmad Shiddiq merumuskannya dalam diktum triukhuwah, salah satunya adalah persaudaraan sebangsa, ukhuwah wathaniyah.

Meyakini Menghargai memberikan pengenalan dasar kepada pembaca tentang hal-hal penting dari setiap agama dan keyakinan yang ada di Indonesia, seperti tempat ibadahnya, hari rayanya, ajaran secara umumnya, hingga tata cara ritual ibadahnya.

Dengan mengetahui hal itu, kita bisa memahami satu sama lain. Pemahaman demikian akan melahirkan penghargaan kita kepada mereka. Penghargaan kita kepada sesama manusia pada umumnya, terlebih sesama warga negara Indonesia, khususnya, tentu tidak menimbulkan stigma kafir yang justru melahirkan kecurigaan dan saling merendahkan, merasa lebih tinggi derajatnya, dan sebagainya. Sebaliknya, rasa toleransi kita terhadap sesama itu, meski dengan latar belakang yang berbeda, akan menimbulkan keharmonisan.

Harmoni yang terwujud dalam suatu kawasan menimbulkan rasa aman dan nyaman satu sama lain. Dengan hal itu, kita bisa bersama memajukan negara kita, membangun kesejahteraan masyarakat, dan hal positif lainnya. Sebab, kita tak lagi disibukkan dengan debat kusir yang berujung pada ketidakproduktifan kita. Perdebatan panjang itu toh tidak memberikan apa-apa kepada kita. Masing-masing enggan mengalah dan tidak mau saling introspeksi karena merasa benar sendiri. Energi kita terbuang sia-sia, tanpa menghasilkan buah manis yang jangankan buat orang lain, bagi diri sendiri pun tak ada.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita berangkat meninggalkan kegiatan yang tidak produktif menuju produktivitas dengan bermodalkan persatuan dan kesatuan. Hal demikian sebetulnya sudah dipraktikkan oleh para atlet kita. Bulu tangkis, misalnya, yang baru-baru ini meraih juara di All England, Ahsan dan Hendra Setiawan. Mereka berasal dari etnis berbeda, bahasa yang berbeda, hingga keyakinan mereka pun tak sama. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar