Sikap Bela Negara dalam
Khazanah Politik Ahlussunnah wal Jamaah
Sebagian orang kerap gagal paham dan sulit
menerima pandangan nasionalisme atau sikap bela negara yang dipegang oleh warga
NU secara umum, terutama tampak praksis oleh GP Ansor-Banser, Pagar Nusa, dan
para dai serta kiai NU.
Bagaimana dapat diterima akal ketika NU dan
semua badan otonomnya begitu gigih menyuarakan nasionalisme dan mengampanyekan
hubungan sosial-politik tanpa unsur SARA?
Bagaimana rasionalisasi sikap kebangsaan NU
sebagai salah satu elemen bangsa yang berada di barisan paling depan untuk
pasang badan membela NKRI? Apa kaitan NU berikut badan otonomnya sebagai ormas
keagamaan dan nasionalisme?
Sikap kebangsaan NU ini bukan cuma-cuma. NU
berikut segenap nahdliyin mesti membayar ongkos sosial yang cukup mahal, mulai
dari cacian, tuduhan, bahkan ancaman. NU kerap berhadapan dengan sejumlah orang
yang belum memahami logika NU sebagai ormas keagamaan.
Sebenarnya logika dan sikap kebangsaan NU
sederhana. Logika dan nasionalisme NU tidak beranjak dari pemikiran
sosial-politik-keagamaan yang dipegang oleh salafus saleh Ahlussunnah wal
Jamaah. Bahkan logika dan sikap nasionalisme NU merupakan turunan dari
pemikiran para ulama Ahlussunnah wal Jamaah dalam memandang relasi agama dan
negara.
Para ulama Ahlussunnah wal Jamaah menganggap
kehidupan duniawi tidak dapat dipisahkan dari praktik beragama Islam. Kehidupan
duniawi yang profan merupakan satu kesatuan dengan kehidupan agama yang sakral.
Kehidupan duniawi merupakan syarat mutlak
bagi praktik beragama yang sakral. Kehidupan duniawi merupakan penunjang atas
praktik kehidupan beragama sebagai sarana kebahagiaan akhirat. Oleh karena itu,
kehidupan duniawi ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh. Hanya saja
duniawi di sini bukan duniawi yang dipahami kelompok sufisme.
فنقول: البرهان عليه أن نظام الدين لا يحصل إلا بنظام الدنيا،
ونظام الدنيا لا يحصل إلا بإمام مطاع، فهاتان مقدمتان ففي أيهما النزاع؟ فإن قيل
لم قلتم إن نظام الدين لا يحصل إلا بنظام الدنيا، بل لا يحصل إلا بخراب الدنيا،
فإن الدين والدنيا ضدان والاشتغال بعمارة أحدهما خراب الآخر
Artinya, “Kami mengatakan bahwa argumentasi
atas pandangan itu adalah bahwa tatanan agama tidak akan tercapai kecuali
dengan adanya tatanan dunia. Tatanan dunia tidak akan tercapai kecuali dengan
adanya pemerintah yang dipatuhi. Demikian kedua premis tersebut. Lalu di mana
kontradiksinya? Jika ditanya bahwa tatanan agama tidak akan tercapai kecuali
dengan adanya tatanan dunia, tetapi yang terjadi justru keruntuhan dunia karena
agama dan dunia adalah dua kutub yang bertentangan. Sibuk memakmurkan salah satunya
berarti meruntuhkan yang lain,” (Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Iqtishad fil
I‘tiqad, Beirut, Darul Fikr, 1997 M/1417 H, halaman 167).
Mengapa muncul kesalahpahaman atas sikap NU
tersebut? Kegagalpahaman sebagian orang terhadap sikap kebangsaan NU dapat
dimaklumi karena mereka hanya memandang turunan atau terjemahan atas pemikiran
para ulama Aswaja tersebut dalam realitas sosial-politiknya mengharuskan NU
untuk berdiri terdepan menjaga ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan
ukhuwah basyariyah.
Salah paham terhadap sikap NU dapat dibilang
terjadi karena ketidaksanggupan mereka dalam melakukan abstraksi atas praksis
sosial-politik NU yang sangat partikular seperti hubungan dengan non-Muslim dan
hubungan dengan tradisi lokal.
Ketidakmampuan dalam melakukan abstraksi atas
yang partikular membuat mereka tidak menemukan prinsip-prinsip dasar pemikiran
keislaman yang melandasi sikap kebangsaan NU.
Bagi NU, negara dan bangsa sebagai sebuah
realitas sosial-politik bersifat sangat duniawi dalam pengertian khazanah
politik, bukan dalam pengertian khazanah sufisme. Negara dan bangsa merupakan
struktur riil yang mengatur kemaslahatan kehidupan duniawi, dalam arti
kebutuhan manusia selagi hidup perihal jaminan keamanan, kesejahteraan,
pendidikan, kesehatan, layanan publik, kebebasan beragama, dan hajat hidup
lainnya.
Negara dan bangsa merupakan sebuah realitas
duniawi yang harus dijaga dan dipelihara dalam rangka mendukung kehidupan
praktik beragama yang bermuara pada kebahagiaan akhirat. Bagi NU, negara
merupakan struktur atau lembaga yang mewakili kehidupan duniawi. Bagi NU,
negara merupakan wali bagi publik. Tentu saja sikap bela negara yang dipegang
NU bukan juga harus dipahami sebagai legitimasi kekuasan politik tanpa catatan
kritis terhadap pemerintah. Tetapi sekali lagi, kata duniawi di sini tidak
dalam pengertian yang dipahami kelompok sufisme, tetapi dalam pengertian hajat
hidup manusia dalam pelbagai sisi kehidupan.
قلنا: هذا كلام من لا يفهم ما نريده بالدنيا الآن، فإنه لفظ مشترك
قد يطلق على فضول التنعم والتلذذ والزيادة على الحاجة والضرورة، وقد يطلق على جميع
ما هو محتاج إليه قبل الموت. وأحدهما ضد الدين والآخر شرطه، وهكذا يغلط من لا يميز
بين معاني الألفاظ المشتركة
Artinya, “Kami mengatakan bahwa ini merupakan
ucapan orang yang tidak memahami konsep dunia yang kami maksud dalam
pembicaraan sekarang ini. Dunia adalah kata polisemi (musytarak) yang kadang
diucapkan untuk mewakili pengertian kelebihan nimat, kelezatan, dan surplus
atas kebutuhan sekunder dan primer. Dunia kadang dipahami sebagai seluruh kebutuhan
seseorang selama hidupnya. Dunia dalam arti pertama jelas lawan agama,
sementara dalam arti kedua menjadi syarat tegaknya agama. Di sinilah orang yang
tidak membedakan pengertian kata yang polisemi menjadi keliru paham,” (Lihat
Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Iqtishad fil I‘tiqad, Beirut, Darul Fikr, 1997 M/1417
H, halaman 167-168).
Dasar pemikiran ini yang kemudian melahirkan
ijtihad-ijtihad politik kebangsaan NU dari waktu ke waktu. Yang paling
belakangan kita menemukan konsep As-Siyasah Al-Aliyah As-Syamiyah, politik
tingkat tinggi, yang disampaikan sebagai pidato pembukaan Rapat Pleno PBNU di
Wonosobo pada 2013 oleh Rais Aam PBNU KH MA Sahal Mahfudh.
NU tidak lagi memandang sempit duniawi yang
perlu diperjuangkan sebagai kekuasaan dalam pengertian politik praktis. NU
memandang duniawi secara substantif yang menjadi syarat kehidupan agama/ukhrawi
sebagai lapangan untuk memperjuangkan nilai kebangsaan, kerakyatan, dan akhlak
dalam sosial-politik di tengah masyarakat yang kompleks.
Di tengah perjuangan politik tingkat tinggi
NU yang lebih substantif sebagai sebuah ijtihad politik, sekelompok umat Islam
masih memahami politik dalam pengertian sempit, yaitu kekuasaan yang sering
kali kemudian dibajak oleh elit-elitnya dan kemudian menjadi kontraproduktif
yang semakin menjauh dari tujuan semula.
Kalau NU sudah berpolitik tingkat tinggi
dalam pengertian mendorong terciptanya negara yang berkeadilan dalam rangka
menjamin kebutuhan duniawi semua warganya demi kelancaran pengamalan agama
Islam, sekelompok umat Islam ini masih memburu kekuasaan dalam arti formal
sekali pun dengan tipu daya, kekerasan, senjata, tanpa akhlak, cara-cara
desktruktif, dan perkosaan terhadap nilai-nilai Islam itu sendiri dengan dalih
negara Islam dan lain sebagainya hanya untuk kejayaan semu entah kejayaan apa
dan siapa. Wallahu a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar