Perjuangan Ajengan
Fadil dan Ajengan Unung Dirikan NU di Tasikmalaya
Cabang NU Tasikmalaya
didirkan pada tahun 1928 melalui rapat di kediaman Ajengan KH Fadil. Ia sendiri
kemudian menjadi Rais Syuriyah pertama (A. E. Bunyamin, Nahdlatul Ulama di
Tengah-tengah Perjuangan Bangsa Indonesia; Awal Berdiri NU di Tasikmalaya). Tak
heran, karena sebelumnya ia telah melakukan korespondensi dengan Hoopdbestuur
Nahdlatoel Oelama (sekarang PBNU) yang waktu itu berkedudukan di Surabaya.
Korespondensi dilakukan di antaranya melalui majalah Swara Nahdlatoel Oelama
(SNO) yang menggunakan bahasa Jawa dan berkasara Arab pegon.
Waktu itu di dalam
statuten (AD/ART) NU, sangat mudah untuk mendirikan cabang. Hanya membutuhkan
pengurus sebanyak 12 orang. Dan itu bisa dilakukan dengan korespondensi dengan
cabang NU terdekat. Kalau belum ada cabang terdekat, barulah dilaporkan
langsung ke HBNO. Sementara struktur kepengurusan cabang waktu itu tak jauh
berbeda dengan hari ini, ada syuriyah tanfidziyah, dan ‘awan. Hanya kadang
berbeda istilah, yaitu menggunakan bahasa Belanda. Kadang cabang disebut
afdeeling, ranting disebut kring, ketua disebut voorzitter, dan lain-lain.
Hanya membutuhkan 12
orang, sepertinya tidak terlalu sulit bagi seorang tokoh agama waktu itu.
Beberapa kiai yang sepaham bisa diajak untuk mendirikan NU, termasuk para
santri yang telah menjadi alumnus dan mendirikan pesantren pula. Yang tampaknya
sulit adalah menemukan tokoh yang mengerti agama dan organisasi
sekaligus.
Hal itu pula yang
terjadi di Tasikmalaya. Saat mendirikan NU Tasikmalaya, di kediaman Kiai Fadil,
ia mengundang kiai-kiai lain di antaranya KH A. Qulyubi atau lebih dikenal
Ajengan Unung. Kemudian menyusun kepengurusan.
Bagaimana cerita
perjuangan Ajengan Fadil mendirikan NU, sayangnya belum ditemukan datanya. Yang
ada, dari sudut pandang Ajengan Unung yang pada tahun 1953 meminta salah
seorang anaknya untuk menuliskan ceritanya mendirikan NU Tasikmalaya. Kemudian
cerita itu menjadi sebuah buku, yaitu Riwayat Hidup Ringkes KH A. Qulyubi
Pesantren Nurussalam Madewangi, Setiamulya, Tamansari (Cibeureum) Tasikmalaya.
Di dalam buku itu,
Ajengan Unung menceritakan bagimana upayanya memperkenalkan NU di Tasikmalaya.
Dia bersama KH Fadil berangkat ke sana ke mari memperkenalkan dan mengajak
menjadi anggota NU di Tasikmalaya. Hasilnya, di daerah kota ada yang mau masuk
NU, tapi jumlahnya sedikit, begitu juga di desa. Hanya di Singaparna yang
lumayan.
Menurut Ajengan
Unung, ketika NU mulai ramai dikenal di sebuah tempat, timbul gangguan dari
Belanda. Mereka menakut-nakuti orang yang belum dan telah menjadi anggota NU.
Karena itulah orang yang telah menjadi anggota pun menyatakan keluar dari NU.
Hanya anggota-anggota di daerah Madewangi, kampung halaman KH A. Qulyubi, yang
tidak menyatakan keluar dari NU. Meski demikian, karena ditakut-takuti Belanda,
anggota NU secara keseluruhan pada waktu itu hanya tersisa sekitar 60 orang.
Dari jumlah tersebut, 35 orang berasal dari Madewangi. Sisanya dari
daerah-daerah terpisah.
Untuk menyegarkan
pergerakan, Ketua NU Cabang Tasikmalaya diganti oleh Ahmad. Berada dalam
kepemimpinanya, jumlah anggota NU kembali banyak. Namun, lagi-lagi Belanda
menakut-nakuti anggota NU sehingga mereka keluar kembali. Lagi-lagi pula yang
tetap di NU dari daerah Madewangi.
Kemudian, KH A.
Qulyubi dan KH Fadil mendekati Soetisna Sendjaya, seorang guru
Hollandsch-Inlandsche School (HIS) atau sekolah Belanda untuk bumiputera yang
tinggal di daerah Kebon Tiwu. Kedua kiai itu memintanya untuk menjadi Ketua NU.
Namun ia menolak karena merasa tidak mengerti agama. Namun, belakangan ia
menerimanya. Kemudian ia diperkenalkan kepada orang-orang Madewangi dalam
sebuah pertemuan di masjid untuk menyemangati mereka agar tetap istikomah di
NU.
Setelah upaya itu
berhasil, KH A. Qulyubi dan KH Fadil mendekati Kiai Ruhiat Cipasung untuk
menjadi anggota atau kalau mau, menjadi pengurus NU. Ternyata Kiai Ruhiat
menerimanya. KH A. Qulyubi dan KH Fadil datang kepada Ajengan Aon Mangunreja
untuk menjadi anggota NU, tapi ia menolaknya. Kemudian kedua kiai itu
mendatangi KH Zaenal Mustofa di Sukamanah. Ia menerimanya. Terus kepada KH
Syabandi. Kiai yang sejak awal menolak di NU, ketika tahu Kiai Ruhiat masuk NU,
ia pun masuk juga.
Kedua kiai itu terus
berkeliling mengajak kiai-kiai untuk masuk NU, termasuk ke Kecamatan Cibeureum.
Kebanyakan mereka tidak mau ikut NU. Alasannya takut, karena mengikuti NU
berarti berhadapan dengan Belanda. Dari daerah Cibeureum yang mau ikut hanya KH
Masduki Awipari dan KH Zabidi Nagarakasih. Sementara dari kecamatan-kecamatan
lain, belakangan mau masuk NU.
Setelah NU berdiri di
Tasikmalaya persoalan-persoalan yang dihadapi datang silih berganti dan kadang
berbarengan. Persolan-persolan itu terdokumentasi dengan baik karena mereka
menerbitkan berita mingguan yaitu Al-Mawaidz, Pangrojong NO Cabang Tasik. []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar