Rabu, 28 Agustus 2019

(Ngaji of the Day) Ketika Wali Nikah di Tempat yang Jauh, Mengapa Harus Wali Hakim?


Ketika Wali Nikah di Tempat yang Jauh, Mengapa Harus Wali Hakim?

Seorang penghulu dari Kantor Urusan Agama, calon pengantin laki-laki dan dua orang yang ditunjuk sebagai saksi administratif telah siap untuk melangsungkan ijab kabul. Tentunya sejumlah hadirin ikut pula menyaksikan prosesi akad nikah tersebut. Hanya saja satu hal bahwa wali nikah tidak berada di tempat dan penghulu yang juga menjabat sebagai Kepala KUA itu bertindak sebagai wali hakim.

Saat hal itu dimaklumkan kepada para hadir salah seorang saksi mempertanyakan perihal wali nikah yang diambil alih kepala KUA sebagai wali hakim. Ia tidak bisa menerima pengambilalihan posisi wali tersebut dengan alasan selain bapaknya si pengantin perempuan yang saat ini sedang merantau ke daerah yang jauh masih ada lagi pihak keluarga yang bisa menjadi wali menggantikan sang bapak. Menurutnya bila sang bapak tak bisa hadir maka hak perwalian bisa berpindah ke orang lainnya yang juga memiliki hak perwalian pada urutan berikutnya.

Atas klaim ini Kepala KUA berusaha untuk menjelaskan bagaimana aturan wali nikah yang seharusnya dijalankan. Namun demikian yang bersangkutan belum mau menerima dan memilih untuk tidak menjadi saksi pernikahan.

Kejadian semacam ini tidak jarang terjadi di masyarakat. Adu argumen seringkali terjadi antara masyarakat dengan petugas KUA perihal siapa yang berhak menjadi wali nikah ketika sang wali berada jauh dari tempat akad.

Lalu bagaimana ulama mengatur tentang hal ini?

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu rukun nikah adalah adanya wali dari calon mempelai perempuan. Tidak adanya wali dalam pelaksanaan ijab kabul suatu pernikahan menjadikan pernikahan tersebut tidak sah. Adapun orang yang berhak menjadi wali secara berurutan adalah ayah, kakek dari ayah, saudara laki-laki seayah seibu, saudara laki-laki seayah, anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah seibu, anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah, paman, dan anak laki-lakinya paman.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Abu Bakar Al-Hishni di dalam kitabnya Kifâyatul Akhyâr:

وَأولى الْوُلَاة الْأَب ثمَّ الْجد أَبُو الْأَب ثمَّ الْأَخ للْأَب وَالأُم ثمَّ الْأَخ للْأَب ثمَّ ابْن الْأَخ للْأَب وَالأُم ثمَّ ابْن الْأَخ للْأَب ثمَّ الْعم ثمَّ ابْنه على هَذَا التَّرْتِيب 

Artinya: “Wali yang utama adalah ayah, kemudian kakek dari ayah, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah seibu, anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah, paman, dan anak laki-lakinya paman, berdasarkan tertib urutan ini.” (Abu Bakar Al-Hishni, Kifâyatul Akhyâr, Bandung: Al-Ma’arif, tt., Juz II, h. 51)

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa para wali itu dapat berperan sebagai wali sesuai dengan urutan tersebut. Artinya bila masih ada orang yang urutannya lebih depan atau lebih dekat dengan mempelai perempuan (wali aqrab) maka orang yang ada pada urutan setelahnya (wali ab’ad) tidak bisa menjadi wali. Sebagai contoh bila masih ada ayah si mempelai perempuan maka kakek, saudara laki-laki dan lainnya tidak bisa menjadi wali nikah. Bila ini dilanggar maka tidak sah akad nikah yang dilakukan.

Permasalahannya sekarang adalah bagaimana ketika orang yang berhak menjadi wali masih ada namun tidak berada di tempat—sedang pergi di tempat yang jauh—ketika proses ijab kabul dilaksanakan seperti kasus di atas.

Dalam kasus yang demikian maka wali nikah berpindah kepada hakim, bukan kepada wali pada urutan berikutnya. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya hak perwalian masih melekat pada wali yang berhak tersebut. Selama ia masih ada maka hak perwalian tidak bisa pindah ke yang lain. Namun karena ia tidak bisa hadir maka hakim bertindak sebagai wali.

Ini sebagaimana dituturkan oleh Imam As-Syairazi di dalam kitab Al-Muhadzdzab:

وإن غاب الولي إلى مسافة تقصر فيها الصلاة زوجها السلطان ولم يكن لمن بعده من الأولياء أن يزوج لأن ولاية الغائب باقية ولهذا لو زوجها في مكانه صح العقد وإنما تعذر من جهته فقام السلطان مقامه كما لو حضر وامتنع من تزويجها 

Artinya: “Bila wali pergi dalam jarak yang memperbolehkan mengqashar shalat maka penguasa mengawinkan (menjadi wali hakim, pen.) mempelai perempuan. Para wali yang berada pada urutan setelah wali tersebut tidak berhak mengawinkan, dikarenakan masih tetapnya hak perwalian wali yang pergi itu. Karenanya bila si wali mengawinkan mempelai perempuan di tempatnya maka sah akadnya. Namun ia berhalangan, maka penguasa menempati posisinya sebagaimana bila ia hadir namun tercegah untuk mengawinkan.” (As-Syairazi, Al-Muhadzdzab, Beirut: Darul Fikr, 2005, Juz. II, h. 52)

Ketentuan ini apabila sang wali berada pada jarak masâfatul qashri, jarak di mana diperbolehkan mengqashar shalat. Bagaimana bila perginya sang wali pada jarak yang tidak sampai masâfatul qashri? Lebih lanjut As-Syairazi menuturkan:

فإن كان على مسافة لا تقصر فيها الصلاة ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز تزويجها إلا بإذنه لأنه كالحاضر والثاني يجوز للسلطان أن يزوجها لأنه تعذر استئذانه فأشبه إذا كان في سفر بعيد 

Artinya: “Apabila sang wali berada pada jarak yang tidak diperbolehkan mengqashar shalat maka ada dua pendapat; pertama, penguasa tidak boleh mengawinkan kecuali dengan seijinnya karena dalam hal ini sang wali seperti orang yang hadir. Kedua, penguasa boleh mengawinkan karena kesulitan untuk meminta ijin sang wali, diserupakan dengan ketika sang wali berada pada jarak yang jauh yang diperbolehkan mengqashar shalat.” 

Demikian fiqih—dalam madzhab Syafi’i—mengatur permasalahan ini.

Namun demikian, perkembangan tehnologi seperti sekarang ini di mana berbagai cara berkomunikasi dapat dilakukan dengan mudah kiranya keberadaan wali di tempat yang jauh tidak menghalangi baginya untuk tetap menjadi wali nikah bagi mempelai perempuan. Saat akad nikah dilaksanakan ia bisa tetap berstatus sebagai wali namun pelaksanaan ijab kabulnya diwakilkan kepada siapa saja yang ia kehendaki.

Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Agama nomor 19 tahun 2018 pada pasal 11 ayat (5) mengatur bahwa dalam hal wali tidak hadir pada saat akad, wali harus membuat surat taukil wali yang ditandatangani oleh wali, disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan diketahui oleh Kepala KUA Kecamatan tempat tinggal wali.

Sebagai contoh, bila tempat pelaksanaan akad nikah berada di Kota Tegal sedangkan orang yang berhak menjadi wali berdomisili di Sumatera misalnya dan tidak dapat hadir saat akad, maka ia tetap bisa menjadi wali dengan cara membuat surat taukil (mewakilkan) wali yang ditandatangani oleh dirinya, dua orang saksi dan Kepala KUA Kecamatan dimana ia tinggal. Dalam surat itu disebutkan kepada siapa ia sebagai wali mewakilkan pelaksanaan ijab kabulnya. Dengan demikian maka yang menjadi wali dalam akad nikah tersebut tetap orang yang semestinya, bukan wali hakim. Hanya saja pelaksanaan ijab kabulnya diwakilkan kepada orang lain yang dikehendaki.

Wallâhu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar