Ketika Wali Nikah di Tempat
yang Jauh, Mengapa Harus Wali Hakim?
Seorang penghulu dari Kantor Urusan Agama,
calon pengantin laki-laki dan dua orang yang ditunjuk sebagai saksi
administratif telah siap untuk melangsungkan ijab kabul. Tentunya sejumlah
hadirin ikut pula menyaksikan prosesi akad nikah tersebut. Hanya saja satu hal
bahwa wali nikah tidak berada di tempat dan penghulu yang juga menjabat sebagai
Kepala KUA itu bertindak sebagai wali hakim.
Saat hal itu dimaklumkan kepada para hadir
salah seorang saksi mempertanyakan perihal wali nikah yang diambil alih kepala
KUA sebagai wali hakim. Ia tidak bisa menerima pengambilalihan posisi wali
tersebut dengan alasan selain bapaknya si pengantin perempuan yang saat ini
sedang merantau ke daerah yang jauh masih ada lagi pihak keluarga yang bisa
menjadi wali menggantikan sang bapak. Menurutnya bila sang bapak tak bisa hadir
maka hak perwalian bisa berpindah ke orang lainnya yang juga memiliki hak
perwalian pada urutan berikutnya.
Atas klaim ini Kepala KUA berusaha untuk
menjelaskan bagaimana aturan wali nikah yang seharusnya dijalankan. Namun
demikian yang bersangkutan belum mau menerima dan memilih untuk tidak menjadi
saksi pernikahan.
Kejadian semacam ini tidak jarang terjadi di
masyarakat. Adu argumen seringkali terjadi antara masyarakat dengan petugas KUA
perihal siapa yang berhak menjadi wali nikah ketika sang wali berada jauh dari
tempat akad.
Lalu bagaimana ulama mengatur tentang hal
ini?
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu rukun
nikah adalah adanya wali dari calon mempelai perempuan. Tidak adanya wali dalam
pelaksanaan ijab kabul suatu pernikahan menjadikan pernikahan tersebut tidak
sah. Adapun orang yang berhak menjadi wali secara berurutan adalah ayah, kakek
dari ayah, saudara laki-laki seayah seibu, saudara laki-laki seayah, anak
laki-lakinya saudara laki-laki seayah seibu, anak laki-lakinya saudara
laki-laki seayah, paman, dan anak laki-lakinya paman.
Ini sebagaimana disebutkan oleh Abu Bakar
Al-Hishni di dalam kitabnya Kifâyatul Akhyâr:
وَأولى
الْوُلَاة الْأَب ثمَّ الْجد أَبُو الْأَب ثمَّ الْأَخ للْأَب وَالأُم ثمَّ الْأَخ
للْأَب ثمَّ ابْن الْأَخ للْأَب وَالأُم ثمَّ ابْن الْأَخ للْأَب ثمَّ الْعم ثمَّ
ابْنه على هَذَا التَّرْتِيب
Artinya: “Wali yang utama adalah ayah,
kemudian kakek dari ayah, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki
seayah, anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah seibu, anak laki-lakinya
saudara laki-laki seayah, paman, dan anak laki-lakinya paman, berdasarkan
tertib urutan ini.” (Abu Bakar Al-Hishni, Kifâyatul Akhyâr, Bandung:
Al-Ma’arif, tt., Juz II, h. 51)
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa para
wali itu dapat berperan sebagai wali sesuai dengan urutan tersebut. Artinya
bila masih ada orang yang urutannya lebih depan atau lebih dekat dengan
mempelai perempuan (wali aqrab) maka orang yang ada pada urutan setelahnya
(wali ab’ad) tidak bisa menjadi wali. Sebagai contoh bila masih ada ayah si
mempelai perempuan maka kakek, saudara laki-laki dan lainnya tidak bisa menjadi
wali nikah. Bila ini dilanggar maka tidak sah akad nikah yang dilakukan.
Permasalahannya sekarang adalah bagaimana
ketika orang yang berhak menjadi wali masih ada namun tidak berada di
tempat—sedang pergi di tempat yang jauh—ketika proses ijab kabul dilaksanakan
seperti kasus di atas.
Dalam kasus yang demikian maka wali nikah
berpindah kepada hakim, bukan kepada wali pada urutan berikutnya. Mengapa
demikian? Karena sesungguhnya hak perwalian masih melekat pada wali yang berhak
tersebut. Selama ia masih ada maka hak perwalian tidak bisa pindah ke yang
lain. Namun karena ia tidak bisa hadir maka hakim bertindak sebagai wali.
Ini sebagaimana dituturkan oleh Imam
As-Syairazi di dalam kitab Al-Muhadzdzab:
وإن
غاب الولي إلى مسافة تقصر فيها الصلاة زوجها السلطان ولم يكن لمن بعده من الأولياء
أن يزوج لأن ولاية الغائب باقية ولهذا لو زوجها في مكانه صح العقد وإنما تعذر من
جهته فقام السلطان مقامه كما لو حضر وامتنع من تزويجها
Artinya: “Bila wali pergi dalam jarak yang
memperbolehkan mengqashar shalat maka penguasa mengawinkan (menjadi wali hakim,
pen.) mempelai perempuan. Para wali yang berada pada urutan setelah wali
tersebut tidak berhak mengawinkan, dikarenakan masih tetapnya hak perwalian
wali yang pergi itu. Karenanya bila si wali mengawinkan mempelai perempuan di
tempatnya maka sah akadnya. Namun ia berhalangan, maka penguasa menempati
posisinya sebagaimana bila ia hadir namun tercegah untuk mengawinkan.”
(As-Syairazi, Al-Muhadzdzab, Beirut: Darul Fikr, 2005, Juz. II, h. 52)
Ketentuan ini apabila sang wali berada pada
jarak masâfatul qashri, jarak di mana diperbolehkan mengqashar shalat.
Bagaimana bila perginya sang wali pada jarak yang tidak sampai masâfatul
qashri? Lebih lanjut As-Syairazi menuturkan:
فإن
كان على مسافة لا تقصر فيها الصلاة ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز تزويجها إلا بإذنه
لأنه كالحاضر والثاني يجوز للسلطان أن يزوجها لأنه تعذر استئذانه فأشبه إذا كان في
سفر بعيد
Artinya: “Apabila sang wali berada pada jarak
yang tidak diperbolehkan mengqashar shalat maka ada dua pendapat; pertama,
penguasa tidak boleh mengawinkan kecuali dengan seijinnya karena dalam hal ini
sang wali seperti orang yang hadir. Kedua, penguasa boleh mengawinkan karena
kesulitan untuk meminta ijin sang wali, diserupakan dengan ketika sang wali
berada pada jarak yang jauh yang diperbolehkan mengqashar shalat.”
Demikian fiqih—dalam madzhab Syafi’i—mengatur
permasalahan ini.
Namun demikian, perkembangan tehnologi
seperti sekarang ini di mana berbagai cara berkomunikasi dapat dilakukan dengan
mudah kiranya keberadaan wali di tempat yang jauh tidak menghalangi baginya
untuk tetap menjadi wali nikah bagi mempelai perempuan. Saat akad nikah
dilaksanakan ia bisa tetap berstatus sebagai wali namun pelaksanaan ijab
kabulnya diwakilkan kepada siapa saja yang ia kehendaki.
Pemerintah Indonesia melalui Peraturan
Menteri Agama nomor 19 tahun 2018 pada pasal 11 ayat (5) mengatur bahwa dalam
hal wali tidak hadir pada saat akad, wali harus membuat surat taukil wali yang
ditandatangani oleh wali, disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan diketahui
oleh Kepala KUA Kecamatan tempat tinggal wali.
Sebagai contoh, bila tempat pelaksanaan akad
nikah berada di Kota Tegal sedangkan orang yang berhak menjadi wali berdomisili
di Sumatera misalnya dan tidak dapat hadir saat akad, maka ia tetap bisa
menjadi wali dengan cara membuat surat taukil (mewakilkan) wali yang
ditandatangani oleh dirinya, dua orang saksi dan Kepala KUA Kecamatan dimana ia
tinggal. Dalam surat itu disebutkan kepada siapa ia sebagai wali mewakilkan
pelaksanaan ijab kabulnya. Dengan demikian maka yang menjadi wali dalam akad
nikah tersebut tetap orang yang semestinya, bukan wali hakim. Hanya saja
pelaksanaan ijab kabulnya diwakilkan kepada orang lain yang dikehendaki.
Wallâhu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar