Memandang Papua dengan Cinta
Oleh: Alissa Wahid
Taha Al-Hamid, mantan Sekretaris Dewan Rakyat Papua, menyampaikan
hal ini di hadapan ratusan orang Papua beberapa tahun lalu.
Kami pernah merasakan dialog sejati dengan Jakarta, yaitu ketika
kami (tetua Dewan Rakyat Papua: Theys Eluway, Tom Beanal, Taha Al-Hamid, dan
kawan-kawan) diterima Presiden di kantornya. Kami merasakan Presiden Gus Dur
betul-betul mendengar kami. Sebagai pejuang HAM, Gus Dur menghormati perjuangan
kami, tetapi sebagai Presiden, ia harus mempertahankan NKRI. Ia siap mewujudkan
apa pun harapan kami, tetapi tetap dalam Republik Indonesia.
Waktu kami katakan, kami tidak percaya Jakarta karena jati diri
kami saja tidak dihargai, Gus Dur menanyakannya. Kami jawab, jati diri kami
sebagai orang Papua disuruh lupakan. Kami menyebut Papua saja dianggap
separatis, kami dipaksa gunakan nama Irian. Kami tidak boleh kibarkan bendera
kami.
Di situlah dia menyambut bahwa dia akan kembalikan nama Papua
sebagai jati diri kami. Kami boleh kibarkan bendera kami asal sedikit lebih
rendah dari bendera Merah Putih. Katanya, NU dan klub sepak bola juga boleh
punya bendera, mengapa masyarakat Papua tidak boleh.
Cerita Taha Al-Hamid ini kembali dalam ingatan saat ketegangan
bereskalasi di tanah Papua mengikuti aksi keras dan rasis kepada warga Papua di
beberapa kota di Pulau Jawa. Nama binatang yang terlontar kepada mahasiswa asal
Papua menjadi picu ketegangan ini.
Tampak sepele, dan sebagian orang menganggap warga Papua baper
(bawa perasaan) menanggapinya. Mereka melupakan bahwa ujaran ini menjadi
refleksi paling vulgar bagaimana sebagian warga Indonesia lainnya memandang
Papua. Mereka juga mengabaikan konteks dinamika antara Jakarta dan bumi Papua
yang belum juga menemukan titik usai yang adil.
Komunitas warga Papua di sejumlah kota masih menghadapi stigma
perilaku buruk seperti orang terbelakang dan suka membuat onar. Beberapa waktu
terakhir asrama mahasiswanya kerap dicurigai sebagai sarang gerakan separatis
Papua Merdeka sehingga beberapa kali terjadi insiden dengan aparat keamanan
lokal di beberapa kota.
Sejatinya, justru inilah sikap-sikap baper berlebihan yang tidak
peka pada suasana batin warga Papua. Bukannya merangkul, mengangkat, dan
memberikan fasilitasi afirmatif kepada anak-anak muda Papua yang berupaya
memperbaiki diri dengan pendidikan, beberapa pemerintah daerah abai dan bahkan
ikut menyudutkan mereka.
Maka, saat ujaran binatang terhadap warga Papua itu muncul, ia
menyentuh titik paling peka dalam nurani warga Papua: martabat kemanusiaan
mereka, yang selama ini belum utuh dijamin republik ini sebagai amanat
konstitusi.
Martabat inilah yang menjadi titik pijak Gus Dur dalam melihat
Papua, dan di kemudian hari menjadikannya Bapa Orang Papua. Gus Dur melihat
segala hal dengan lensa kemanusiaan. Karena itu, ia meyakini, yang lebih
penting dari politik adalah kemanusiaan. Gus Dur menganggap martabat
kemanusiaan warga Papua adalah amanat tertinggi yang harus dipenuhi. Bukan
sekadar ”kembang lambe” demi urusan politik agar Papua tidak lepas dari
Indonesia.
Konsekuensinya, keadilan sosial harus terwujud di Papua karena
menurut Gus Dur: perdamaian tanpa keadilan hanyalah ilusi. Faktanya, negara
belum mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat Papua. Potensi kekayaan alam
bumi Papua merupakan potensi terbesar di bumi Indonesia. Lintas provinsi di
Indonesia, pendapatan daerah per kapita bruto Provinsi Papua dan Papua Barat
tahun 2018 berada di posisi kelima dan keenam, tetapi angka kemiskinan
tertinggi, indeks pembangunan manusia terendah, kualitas kesejahteraan warganya
juga terendah.
Konyolnya, stigma sebagai masyarakat tertinggal dipandang-lepas
dari rendahnya layanan sosial dasar di bumi Papua. Kemarahan warga akibat
ketidakadilan dihadapi dengan cemooh separatis dan tidak cinta NKRI.
Aparat keamanan piawai menggunakan pendekatan kultural kepada
kelompok-kelompok yang berulang kali berlaku onar atas nama agama, tetapi tidak
dalam menghadapi kelompok keras di bumi Papua. Memang pendekatan keamanan
sangat diperlukan di saat-saat tertentu, tetapi seharusnya hanya temporary
measures yang mengikuti upaya penyelesaian damai yang lebih berkelanjutan.
NKRI menuntut Papua memberi dan tunduk pada keutuhan NKRI. Namun,
NKRI belum kelar menunaikan kewajiban memberi dan tunduk pada kemaslahatan
warga Papua.
Cinta itu klise. Apalagi dalam konteks kebangsaan. Tetapi, ia
hakiki. Ia menjadi lensa yang menentukan buram-jelasnya pandangan kita. Kita
tidak melukai yang kita cinta. Kita ingin yang terbaik untuknya. Kita rela
memberi. Kita menuntut cinta warga Papua pada NKRI. Namun, kita belum sanggup
mencintai mereka dengan penuh sebagaimana diteladankan Gus Dur.
Warga Papua tidak minta diistimewakan. Mereka tahu, cinta Gus Dur
pada Papua setara dengan cintanya pada warga Aceh, pada warga NU, atau pada
orang-orang Tionghoa dan lainnya. Di zamannya, kemerdekaan berpendapat dan
berkumpul dilindungi. Gerakan masyarakat adat diperkuat, tidak dicurigai.
Gerakan separatis didekati dengan dialog yang sederajat dan konstruktif.
Dan segalanya bukan dengan kacamata transaksi politik agar Papua
tetap dalam Indonesia, tetapi karena cintanya pada manusia-manusia Papua.
Karena itulah, warga Papua mencintainya.
Kini, dapatkah kita selamatkan cinta kita dan Papua? []
Kini, dapatkah kita selamatkan cinta kita dan Papua? []
KOMPAS, 25 Agustus 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar