4 Perbedaan Kurban Wajib
dan Sunnah
Hukum asal berkurban adalah sunnah kifayah
(kolektif), artinya bila dalam satu keluarga sudah ada yang mengerjakan,
sudah cukup menggugurkan tuntutan bagi anggota keluarga yang lain. Bila tidak
ada satu pun dari mereka yang melaksanakan, maka semua yang mampu dari mereka
terkena imbas hukum makruh.
Kurban bisa berubah menjadi wajib bila
terdapat nazar, misalnya ada orang bernazar kalau lulus sekolah atau dikaruniai
anak, ia akan berkurban dengan seekor sapi. Saat cita-cita yang diharapkan
tercapai, maka wajib baginya untuk mengeluarkan hewan kurban yang ia nazarkan.
Dalam kondisi demikian, hukum berkurban baginya adalah wajib.
Secara umum kurban sunnah dan kurban wajib
memiliki beberapa titik kesamaan, misalnya dari segi waktu pelaksanaan,
keduanya dilaksanakan pada hari Nahar dan hari-hari tasyriq (10, 11, 12, dan 13
Dzulhijjah). Bila dilakukan di luar waktu tersebut, maka tidak sah sebagai kurban.
Tata cara menyembelih mulai dari syarat, rukun dan kesunnahan juga tidak
berbeda antara dua jenis kurban tersebut.
Keduanya menjadi berbeda dalam empat hal
sebagai berikut:
Pertama, hak mengkonsumsi
daging bagi mudlahhi (pelaksana kurban).
Dalam kurban sunnah, diperbolehkan bagi mudlahhi untuk
memakannya, bahkan nazar sebagian kecil dagingnya dan memakan sendiri
selebihnya. Adapun yang lebih utama adalah memakan beberapa suap saja untuk
mengambil keberkahan dan menyedekahkan sisanya (lihat: Syekh Khathib
al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 6, hal. 135).
Sedangkan kurban wajib, mudlahhi haram
memakannya, sedikit pun tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi secara pribadi.
Keharaman memakan daging kurban wajib juga berlaku untuk segenap orang yang wajib
ditanggung nafkahnya oleh mudlahhi, seperti anak, istri, dan lain
sebagainya.
Syekh Muhammad Nawawi bin Umar menegaskan:
ولا
يأكل المضحي ولا من تلزمه نفقته شيأ من الأضحية المنذورة حقيقة أو حكما.
“Orang berkurban dan orang yang wajib ia
nafkahi tidak boleh memakan sedikitpun dari kurban yang dinazari, baik secara
hakikat atau hukumnya”. (Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi
al-Bantani, Tausyikh ‘Ala Ibni Qasim, hal. 531).
Kedua, kadar yang wajib
disedekahkan. Menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i, standar minimal
yang wajib disedekahkan dalam kurban sunnah adalah kadar daging yang mencapai
standar kelayakan pada umumnya, misalnya satu kantong palstik daging.
Tidak mencukupi memberikan kadar yang remeh seperti satu atau dua suapan. Kadar daging paling minimal tersebut wajib diberikan kepada orang fakir/miskin, meski hanya satu orang. Selebihnya dari itu, mudlahhi diperkenankan untuk memakannya sendiri atau diberikan kepada orang kaya sebatas untuk dikonsumsi. Kadar minimal yang wajib disedekahkan tersebut wajib diberikan dalam kondisi mentah, tidak mencukupi dalam kondisi masak (lihat: Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 6, hal. 135).
Sedangkan kurban wajib, semuanya harus
disedekahkan kepada fakir/miskin tanpa terkecuali, tidak diperkenankan bagi
mudlahhi dan orang-orang yang wajib ia nafkahi untuk memakannya. Demikian pula
tidak diperkenankan diberikan kepada orang kaya. Daging yang diberikan juga
disyaratkan harus mentah (lihat: Syekh Ibnu Qasim al-Ubbadi, Hasyiyah
Ibni Qasim ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, juz 9, hal. 363).
Ketiga, pihak yang berhak
menerima.
Seperti yang telah disinggung di atas, kurban
wajib hanya berhak diterima fakir/miskin, mudlahhi dan orang
kaya tidak berhak menerimanya. Semuanya meliputi daging, kulit, tanduk dan
Sebagainya wajib disedekahkan kepada fakir/miskin tanpa terkecuali. Bila ada
bagian kurban yang distribusinya tidak tepat sasaran, maka wajib mengganti rugi
untuk fakir/miskin.
Dalam kitab Hasyiyah I’anah
al-Thalibin disebutkan:
ولو
نذر التضحية بمعيبة أو صغيرة أو قال جعلتها أضحية فإنه يلزم ذبحها ولا تجزئ أضحية
وإن اختص ذبحها بوقت الأضحية وجرت مجراها في الصرف. ويحرم الأكل من أضحية أو هدي
وجبا بنذره.
“Bila seseorang bernazar berkurban dengan
hewan yang cacat atau masih kecil atau ia mengatakan; aku menjadikannya sebagai
hewan kurban; maka wajib disembelih dan tidak mencukupi sebagai kurban, meski
waktu penyembelihannya khusus pada waktu kurban dan berlaku ketentuan kurban
wajib dalam hal tasaruf (pemanfaatan). Haram memakan dari kurban atau hadyu yang
wajib disebabkan nazar.”
(وقوله:
وجرت) أي الملتزمة. (وقوله: مجراها) أي الأضحية الواجبة. وقوله: في الصرف أي فيجب
صرفها كلها للفقراء والمساكين، كالأضحية الواجبة. (قوله: ويحرم الأكل إلخ) إي يحرم
أكل المضحى والمهدي من ذلك، فيجب عليه التصدق بجميعها، حتى قرنها، وظلفها. فلو أكل
شيئا من ذلك غرم بدله للفقراء.
“Ucapan Syekh Zainuddin; dalam hal tasaruf;
maka wajib mengalokasikan keseluruhannya untuk fakir/miskin seperti kurban wajib.
Ucapan Syekh Zainuddin; dan haram memekan; maksudnya haram memakan hewan kurban
dan hadyu yang dinazari. Maka wajib bagi orang yang berkurban mensedekahkan
semuanya, hingga tanduk dan kikilnya. Bila mudlahhi memakan satu bagian
darinya, maka wajib mengganti rugi kepada orang fakir” (Syekh Abu Bakr bin
Muhammad Syatha al-Bakri, Hasyiyah I’anah al-Thalibin, juz 2, hal.
378).
Sementara untuk kurban sunnah, boleh
diberikan kepada orang kaya dan fakir/miskin. Hanya saja, terdapat perbedaan
hak orang kaya dan miskin atas daging kurban yang diterimanya. Kurban yang
diterima fakir/miskin bersifat tamlik, yaitu memberi hak kepemilikan secara
penuh. Kurban yang ia terima boleh dijual, dihibahkan, disedekahkan, dimakan
dan lain sebagainya.
Sedangkan hak orang kaya atas daging kurban
yang diterimanya hanya untuk tasaruf yang bersifat konsumtif. Orang kaya hanya
boleh memakan dan memberikannya kepada orang lain hanya untuk dimakan, semisal
disuguhkan kepada para tamu. Mereka tidak diperbolehkan menjual, menghibahkan,
dan tasaruf sejenis yang memberikan kepemilikan utuh terhadap pihak yang
diberi.
Adapun pengertian orang kaya dalam bab ini
adalah setiap orang yang haram menerima zakat, yaitu orang yang memiliki harta
atau usaha yang mencukupi kebutuhan sehari-hari, baik untuk dirinya atau
keluarga yang wajib ia nafkahi. Sedangkan fakir/miskin sebaliknya, yaitu orang
yang aset harta atau usahanya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, baik untuk
diri sendiri atau keluarga yang wajib dinafkahi (lihat: Syekh Abu Bakr bin
Muhammad Syatha al-Bakri, Hasyiyah I’anah al-Thalibin,
juz 2, hal. 379).
Keempat, niat. Kurban sunnah
dan wajib diperbolehkan untuk disembelih sendiri oleh mudlahhi, boleh pula
diwakilkan kepada orang lain. Kedunya sama-sama disyaratkan niat. Niat bisa
dilakukan saat menyembelih atau ketika memisahkan hewan yang ingin dibuat
kurban dengan hewan lainnya. Niat berkurban boleh dilakukan sendiri atau
diwakilkan kepada orang lain.
Adapun perbedaannya terkait dengan lafal
niatnya. Contoh niat kurban sunnah yang diniati sendiri:
نَوَيْتُ
الْأُضْحِيَّةَ الْمَسْنُوْنَةَ عَنْ نَفْسِيْ لِلهِ تَعَالَى
“Aku niat berkurban sunnah untuk diriku
karena Allah.”
Contoh niat kurban sunnah yang dilakukan oleh
wakilnya mudlahhi:
نَوَيْتُ
الْأُضْحِيَّةَ الْمَسْنُوْنَةَ عَنْ زَيْدٍ مُوَكِّلِيْ لِلهِ تَعَالَى
“Aku niat berkurban sunnah untuk Zaid (orang
yang memasrahkan kepadaku) karena Allah”.
Contoh niat kurban wajib yang diniati sendiri
oleh mudlahhi:
نَوَيْتُ
الْأُضْحِيَّةَ الْوَاجِبَةَ عَنْ نَفْسِيْ لِلهِ تَعَالَى
“Aku niat berkurban wajib untuk diriku karena
Allah”
نَوَيْتُ
الْأُضْحِيَّةَ الْوَاجِبَةَ عَنْ زَيْدٍ مُوَكِّلِيْ لِلهِ تَعَالَى
“Aku niat berkurban sunnah untuk Zaid (orang
yang memasrahkan kepadaku) karena Allah”.
Perbedaan yang lain adalah dalam kasus kurban
nazar yang telah ditentukan hewannya, misalnya ada orang sambil menunjuk hewan
tertentu yang dimilikinya berkata “Aku bernazar berkurban dengan kambingku yang
ini”. Dalam kasus ini, kambing yang ia tunjuk sebagai kurban nazar sudah keluar
dari miliknya. Oleh sebab itu tidak dibutuhkan niat berkurban dalam pelaksanaan
kurban kambing tersebut. Jadi dalam kasus tertentu, terkadang kurban wajib
tidak disyaratkan niat, sedangkan kurban sunnah disyaratkan niat secara mutlak
(lihat: Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri, Syarh al-Yaqut
an-Nafis, Dar al-Minhaj, hal. 827).
Demikian empat perbedaan kurban wajib dan
sunnah, semoga bermanfaat. []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina
Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar