Bolehkah Zakat Fitrah
Diberikan kepada Keluarga?
Salah satu hal yang penting untuk
diperhatikan dalam membayar zakat fitrah adalah mengenai orang yang kita
berikan harta zakat fitrah. Allah SWT menjelaskan secara rinci tentang
orang-orang yang berhak menerima zakat dalam salah satu firman-Nya:
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya, “Sungguh zakat itu hanya untuk
orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya
(mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang
berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai kewajiban dari Allah. Allah maha mengetahui, maha bijaksana,” (Surat
At-Taubah ayat 60).
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa
orang-orang yang berhak menerima zakat teringkas dalam delapan golongan.
Delapan golongan yang disebutkan dalam ayat di atas dipilih sebagai penerima
zakat secara umum, baik itu zakat fitrah maupun zakat mal (harta).
Hal yang patut dipertanyakan tentang golongan
yang berhak menerima zakat ini, apakah mencakup terhadap keluarga dari orang
yang membayar zakat (muzakki) sehingga boleh bagi mereka untuk menerima zakat
dengan wujudnya salah satu dari delapan sifat di atas, atau tidak mencakup
terhadap keluarga dari orang yang membayar zakat?
Para ulama’ syafi’iyah memberikan perincian
hukum tentang keluarga yang boleh diberikan zakat dan keluarga yang tidak boleh
menerima zakat.
Jika yang dimaksud keluarga dari pihak
muzakki (orang yang membayar zakat) adalah orang yang wajib dinafkahi oleh
muzakki, maka tidak boleh baginya untuk memberikan zakat kepada mereka.
Hal ini misalnya memberikan zakat kepada
orang tua dan anak yang wajib dinafkahi oleh muzakki, misalnya karena anaknya
masih kecil dan tidak mampu untuk bekerja, orang tua sudah tua dan tidak
memiliki harta yang mencukupi kebutuhannya. Maka dalam keadaan demikian tidak
boleh memberikan zakat kepada mereka.
Alasan pelarangan pemberian zakat kepada
keluarga yang wajib dinafkahi oleh muzakki, dikarenakan dua hal. Pertama,
mereka sudah tercukupi dengan nafkah dari muzakki. Kedua, dengan memberikan
zakat pada orang tua atau anaknya, maka akan memberikan kemanfaatan pada
muzakki, yakni tercegahnya kewajiban nafkah pada orang tua atau anaknya, karena
sudah tercukupi oleh harta zakat, seandainya hal demikian diperbolehkan.
Namun patut dipahami bahwa larangan
memberikan zakat kepada keluarga yang wajib dinafkahi, hanya ketika mereka
termasuk dari golongan fakir, miskin atau mualaf. Jika mereka termasuk dari
selain tiga golongan tersebut, maka dalam hal ini boleh bagi mereka untuk
menerima zakat.
Penjelasan tentang ketentuan ini seperti yang
tercantum dalam Kitab Al-Majmu’ ala Syarhil Muhadzab berikut:
قوله
(ولا يجوز دفعها الي من
تلزمه نفقته من الاقارب والزوجات من سهم الفقراء لان ذلك انما جعل للحاجة ولا حاجة
بهم مع وجوب النفقة) قال أصحابنا لا يجوز للإنسان أن يدفع إلى ولده ولا والده الذي
يلزمه نفقته من سهم الفقراء والمساكين لعلتين (احداهما) أنه غني بنفقته (والثانية)
أنه بالدفع إليه يجلب إلى نفسه نفعا وهو منع وجوب النفقة عليه
Artinya, “Tidak boleh memberikan zakat kepada
orang yang wajib untuk menafkahinya dari golongan kerabat dan para istri atas
dasar bagian orang-orang fakir. Sebab bagian tersebut hanya diperuntukkan untuk
memenuhi kebutuhan, dan tidak ada kebutuhan bagi para kerabat yang telah wajib
dinafkahi.
Para ashab berkata, ‘Tidak boleh bagi
seseorang untuk memberikan zakat pada anaknya dan juga tidak pada orang tuanya
yang wajib untuk dinafkahi, dari bagian orang fakir miskin karena dua alasan.
Pertama, dia tercukupi dengan nafkah. Kedua, dengan memberikan zakat pada orang
tua atau anak akan menarik kemanfaatan pada muzakki, yakni tercegahnya
kewajiban nafkah pada orang tua atau anaknya.’”
قال
أصحابنا ويجوز أن يدفع إلى ولده ووالده من سهم العاملين والمكاتبين والغارمين
والغزاة إذا كانا بهذه الصفة ولا يجوز أن يدفع إليه من سهم المؤلفة ان كان
ممن يلزمه نفقته لأن نفعه يعود إليه وهو إسقاط النفقة فإن كان ممن لا يلزمه نفقته
جاز دفعه إليه
Artinya, “Para Ashab berkata, ‘Boleh
membagikan zakat kepada anak dan orang tua dari bagian ‘Amil, Mukatab, Orang
yang punya hutang, Orang yang berperang ketika memiliki sifat-sifat tersebut.
Tidak boleh membagikan zakat dari golongan orang-orang muallaf, jika termasuk
orang yang wajib menafkahinya. Sebab terdapat kemanfaatan yang kembali pada
pihak yang membayar zakat, yakni gugurnya nafkah. Jika orang tua atau anak
termasuk orang yang tidak wajib menafkahinya maka boleh untuk memberikan zakat
kepadanya,’” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ ala Syarhil Muhadzab, juz VI,
halaman 229).
Sedangkan ketika keluarga yang akan diberi
zakat adalah keluarga yang tidak wajib dinafkahi oleh muzakki, seperti saudara
kandung, paman, bibi, anak atau orang tua yang sudah tidak wajib dinafkahi dan
para kerabat yang lain, maka dalam hal ini boleh bagi mereka untuk menerima
zakat dari muzakki, meski statusnya masih keluarga.
Kebolehan memberikan zakat kepada mereka
tentunya ketika mereka termasuk salah satu dari delapan golongan yang berhak
menerima zakat. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam referensi berikut:
وإذا
كان للمالك الذي وجبت في ماله الزكاة أقارب لا تجب عليه نفقتهم ، كالأخوة والأخوات
والأعمام والعمات والأخوال والخالات وأبنائهم وغيرهم، وكانوا فقراء أو مساكين، أو
غيرهم من أصناف المستحقين للزكاة، جاز صرف الزكاة إليهم، وكانوا هم أولى من غيرهم
Artinya, “Jika pemilik harta yang wajib zakat
memiliki kerabat yang tidak wajib baginya untuk menafkahi mereka, seperti
saudara laki-laki, saudara perempuan, paman dari jalur ayah, bibi dari jalur
ayah, paman dari jalur ibu, bibi dari jalur ibu, anak-anak mereka dan kerabat
lainnya, keadaan kerabat tersebut fakir atau miskin, atau memiliki sifat lain
dari golongan orang-orang yang wajib zakat, maka boleh membagikan zakat kepada
mereka, bahkan para kerabat ini lebih berhak dari orang lain,” (Lihat Syekh
Mushtafa Said Al-Khin dan Syekh Mushtafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘alal
Madzhabil Imamis Syafi’i, juz II, halaman 42).
Bahkan dalam referensi yang sama dijelaskan
bahwa dianjurkan bagi seorang istri untuk memberikan zakat kepada suami atau
anaknya yang berstatus fakir. Hal ini dikarenakan tidak wajib bagi sang istri
untuk menafkahi suaminya, begitu juga anaknya, maka ia boleh memberikan zakat
kepada suami dan anaknya. Berikut penjelasan tentang hal ini:
يسن
للزوجة إذا كانت غنية، ووجبت في مالها الزكاة، أن تعطي زكاة مالها لزوجها إن كان
فقيرا، وكذلك يستحب لها أن تنفقها على أولادها إن كانوا كذلك، لأن نفقة الزوج
والأولاد غير واجبة على الأم والزوجة.
Artinya, “Disunnahkan bagi istri yang kaya
dan wajib zakat dari hartanya, untuk memberikan zakat tersebut kepada suaminya
yang fakir. Begitu juga disunnahkan bagi istri tersebut untuk memberikan zakat
pada anak-anaknya, jika anaknya dalam keadaan fakir, sebab menafkahi suami dan
anak tidak wajib bagi istri dan ibu,” (Lihat Syekh Mushtafa Said Al-Khin dan
Syekh Mushtafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘alal Madzhabil Imamis Syafi’i, juz
II, halaman 42).
Bahkan memberikan zakat kepada keluarga yang
tidak wajib dinafkahi, tergolong sebagai hal yang disunnahkan. Sebab seorang
muzakki dengan melakukan hal tersebut akan mendapatkan dua pahala, yakni pahala
membayar zakat dan pahala menyambung tali persaudaraan. Dalam hadits
dijelaskan:
إنَّ
الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِيْنِ صَدَقَةٌ وَهِيَ عَلَى ذِيْ الرَّحِمِ اثْنَتَانِ
صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
Artinya, “Shadaqah pada orang miskin
mendapatkan (pahala) shadaqah, Shadaqah kepada saudara mendapatkan dua pahala,
yakni (pahala) shadaqah dan (pahala) menyambung tali persaudaraan,” (HR
An-Nasa’i).
Wal hasil, memberikan zakat kepada keluarga
adalah hal yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan, ketika mereka bukan termasuk
orang yang wajib dinafkahi oleh muzakki. Sedangkan ketika mereka adalah orang
yang wajib dinafkahi oleh muzakki, yaitu istri, anak, dan orang tua, maka
mereka dilarang untuk menerima zakat, jika memang pemberian zakat ini atas nama
sifat fakir, miskin dan mualaf.
Adapun ketika mereka termasuk selain dari
tiga golongan tersebut, maka mereka tetap boleh untuk diberi zakat. Wallahu
a’lam. []
Ustadz M Ali Zainal Abidin, pengajar di
Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Kabupaten Jember.