Fikih
Corona di Timur-Tengah
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Saat ini
Timur-Tengah sedang berjuang melawan wabah corona. Mereka mengambil
langkah-langkah pencegahan secara ketat, khususnya karantina, pemberlakuan jam
malam, hingga beribadah di rumah. Mereka tidak main-main dalam mencegah
penyebaran virus corona, sehingga para ulama berada di garda terdepan dalam
memberikan pemahaman terhadap umat. Sebab itu, fikih corona menjadi sesuatu
yang tidak dielakkan.
Al-Azhar
dan Lembaga Fatwa Mesir (Dar
al-Isfta' al-Mishriyyah) menjadi institusi terdepan dalam
mengeluarkan fatwa atau pandangan keagamaan dalam rangka memberikan pemahaman
dan penyadaran kepada publik. Salah satu yang menjadi perhatian ulama adalah
soal beribadah di rumah. Bahkan, Kementerian Wakaf Mesir mengeluarkan maklumat
untuk menutup masjid selama pandemi Covid-19.
Dalam
suasana normal, masjid selalu dipenuhi warga untuk melaksanakan shalat lima
waktu dan Salat Jumat, termasuk Salat Tarawih dan Salat Idul Fitri. Sebab itu,
para ulama mengambil langkah-langkah pencegahan setelah mendengarkan pemaparan
para ahli virus dan wabah perihal bahaya Covid-19. Di samping itu, kebijakan
pemerintah sejalan dengan protokol World Health Organization (WHO) yang juga
menjadi pertimbangan penting dalam memutuskan sebuah fatwa.
Atas
dasar itu, para ulama di Timur-Tengah berpandangan bahwa kebijakan para
pemimpin harus sejalan dengan prinsip kemaslahatan (tasharruf al-imam 'al-ra'iyyah manuthun bil mashlalah).
Para ulama secara kompak sampai pada kesimpulan bahwa wabah corona merupakan
wabah yang harus dicegah tanpa memperhatikan zona merah dan zona hijau. Sifat
wabah yang transmisinya bisa berlangsung dari manusia ke manusia, maka apapun
yang di dalamnya mengindikasikan adanya kontak antara manusia dengan manusia
yang lain dalam jumlah yang relatif besar, perlu diambil langkah-langkah
pencegahan sesuai dengan instrumen fikih.
Lembaga
Fatwa Mesir berangkat dari sebuah pandangan bahwa di dalam fikih terdapat
keringanan (al-rukshah)
dan kemudahan (al-taysir)
bagi seorang Muslim untuk tidak melaksanakan salat berjemaah di masjid.
Keringanan dan kemudahan tersebut mengacu pada beberapa alasan yang bersifat
umum dan khusus. Yang bersifat umum, seperti hujan deras yang menyebabkan
jalanan becek dan banyak genangan air, serta jalanan gelap yang menyebabkan
kita tidak berjalan ke masjid. Sedangkan alasan yang bersifat khusus, seperti
sakit, melindungi jiwa dan harta dari ancaman orang lain, makan makanan yang
menyebabkan bau menyengat, tertidur, dan lain-lain.
Di dalam
kitab Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim, saat
terjadi hujan deras Ibnu 'Abbas pernah meminta kepada juru adzan untuk
mengganti kalimat hayya 'ala
al-shalat (mari menunaikan shalat) menjadi shallu fi buyutikum (salatlah
di rumah-rumah kalian). Orang-orang pada saat itu tidak mau menerima permintaan
Ibnu 'Abbas. Lalu Ibnu 'Abbas, menyatakan kepada mereka, "Jangan kaget,
orang yang lebih baik dari saya, yaitu Nabi Muhammad SAW telah melakukan hal
ini. Salat Jumat adalah wajib, tetapi aku khawatir jika memaksakan kalian
keluar rumah, sehingga kalian berjalan di tengah jalanan yang becek dan
berlumpur, menyebabkan kalian tergelincir."
Jika
hujan saja yang menyebabkan seseorang mendapatkan keringanan dan kemudahan
untuk tidak melaksanakan salat berjemaah, maka alasan yang lebih berbahaya
seperti pandemi Covid-19 sudah dapat menjadi pijakan untuk salat di rumah,
bukan salat di masjid. Menurut para ulama di Lembaga Fatwa Mesir, hendaknya
kita berpegang pada prinsip, "tidak berbahaya bagi diri sendiri dan tidak
membahayakan orang lain" (la
dharar wa la dhirar).
Al-Azhar
sebagai institusi keagamaan yang selama ini dijadikan kiblat di Timur-Tengah,
bahkan dunia Islam, juga mengeluarkan fatwa atau pandangan keagamaan yang
memperkuat pandangan keagamaan Lembaga Fatwa Mesir. Intinya, syariat Islam
bertujuan untuk melindungi kemaslahatan umum, tidak egois, serta mengedepankan
kepentingan umum. Menyelamatkan jiwa (hifdz
al-nafs) merupakan inti ajaran Islam. Di dalam al-Quran disebutkan,
Dan janganlah kamu
menjerumuskan dirimu pada bahaya (QS. al-Baqarah [2]: 195).
Ada hadis
Nabi yang dapat menjadi landasan kuat agar diberlakukan secara ketat pada
pembatasan sosial (social
distancing), jaga jarak fisik (physical
distancing), bahkan menunda mudik hingga waktu yang benar-benar
aman dari wabah corona. Yaitu, hadis Nabi yang berbunyi, Jika kalian mendengarkan adanya wabah
atau penyakit menular dalam sebuah wilayah, maka hendaklah kalian tidak masuk
ke daerah itu. Dan jika kalian berada di dalam sebuah wilayah yang di dalamnya
terdapat wabah atau penyakit menulis, maka hendaklah kalian tidak keluar dari
wilayah itu.
Terhadap
para jenazah pasien Covid-19, al-Azhar menyatakan mereka adalah para syuhada,
terlebih para tenaga medis yang berada di garda terdepan dalam menyembuhkan
para pasien. Bahkan di antara mereka ada yang menjadi korban, hingga merenggut
nyawa. Mereka adalah para syuhada dan pahlawan yang harus diberikan
penghormatan setinggi-tingginya. Sebab itu, al-Azhar meminta kepada mereka yang
masih hidup, termasuk keluarga dan masyarakat memberikan penghormatan terakhir
terhadap para jenazah pasien Covid-19, di antaranya memandikan, mengafani,
mensalatkan, dan menguburkannya.
Al-Azhar
juga menjadikan rumah sakit yang berada di bawah naungan al-Azhar sebagai
tempat merawat para pasien, serta memberikan sumbangan finansial yang lumayan
besar di seantero Mesir. Al-Azhar ingin memberikan pencerahan kepada publik di
Timur-Tengah agar jangan main-main menghadapi dan mencegah wabah corona.
Sikap
al-Azhar ini menjadi rujukan hampir seluruh negara-negara di Timur-Tengah untuk
melahirkan fikih corona yang sejalan dengan kebijakan pemerintah dan protokol
WHO, sehingga semua pihak mempunyai kesadaran kolektif untuk tidak menyepelekan
wabah corona.
Selain
itu, Iran juga menjadi negara yang paling awal meniadakan Salat Jumat sebagai
pencegahan dari penyebaran corona. Mereka juga menutup masjid dan tempat-tempat
suci (al-haram)
yang selama ini ramai diziarahi, seperti makam Imam Ridha di Mashhad dan makam
Sayyidah Ma'shumah di Qom. Bahkan, yang paling menarik dari Iran yaitu mengubah
masjid menjadi tempat pelayanan bantuan sembako bagi warga yang terdampak wabah
corona. Kita bisa melihat masjid-masjid di Iran dipenuhi dengan makanan.
Di saat
warga tidak salat berjamaah di masjid, tetapi masjid dipenuhi dengan makanan
yang dapat membantu mereka yang membutuhkan. Bahkan, para ulama Iran
berlomba-lomba menjadi relawan di berbagai rumah sakit. Mereka berlomba-lomba
dalam kebajikan, membantu para medis menyembuhkan pasien Covid-19. Dan tidak
sedikit dari para ulama itu yang meninggal dunia, ingin menjadi syahid.
Itulah
fikih corona di Timur-Tengah yang tidak hanya berhenti pada pandangan keagamaan
atau fatwa semata, melainkan telah menjadi tindakan nyata yang mengetuk
kesadaran individu dan kolektif bahwa corona harus membuka mata kepala dan mata
batin kita, saatnya kemanusiaan dan keselamatan bersama diutamakan daripada
berdebat dan menyebarluaskan kepanikan. []
DETIK, 16
April 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis
pemikiran dan politik Timur-Tengah, The Middle East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar