#Salingjaga
Oleh: Alissa Wahid
Keluar aslinya, sebuah istilah populer untuk menggambarkan
bagaimana watak dasar sering kali tersamarkan dalam suasana normal dan mendadak
muncul dalam kondisi tertentu. Apalagi, apabila terjadi situasi genting yang
memaksa, individu, kelompok masyarakat, organisasi, bahkan institusi negara
akan secara spontan menunjukkan nilai-nilai dasarnya.
Siapa nyana, situasi genting saat ini disebabkan oleh makhluk baru
berukuran sangat kecil dengan kekuatan sangat besar: virus korona baru. Hanya
dalam empat bulan, ia menginfeksi lebih dari sejuta orang di dua ratusan
negara, membunuh puluhan ribu jiwa, meluluhlantakkan ekonomi global sampai
ekonomi keluarga, dan secara umum menghentikan kehidupan publik. Sebuah
disrupsi yang sempurna dampaknya.
VUCA world yang
tadinya merupakan istilah dunia bisnis menjelma menjadi istilah
kehidupan. volatilility (gejolak
perubahan), uncertainty (ketidakpastian), complexity (kerumitan),
dan ambiguity (ketidakjelasan)
menggambarkan hari-hari ini dan masa depan yang belum dapat kita bayangkan.
Kemapanan dan ukuran kehidupan yang selama ini kita akrabi tidak lagi dapat
digunakan sebagaimana sebulan lalu. Bahkan, untuk bekerja, sekolah, dan
beribadah pun, kita tak lagi dapat mengandalkan cara-cara lama. Ketika nanti
kita sudah terbebas dari bencana virus ini dan dapat kembali beraktivitas,
perubahan ini pasti masih meninggalkan dampaknya.
Bencana virus dan dampak VUCA ini membawa banyak hal ke permukaan.
Membawa dan mengembalikan banyak hal baik, tetapi juga mengungkapkan banyak hal
buruk yang selama ini tidak kita sadari.
Sudah cukup lama kita menyadari bahwa birokrasi dan sistem
pemerintahan bergerak lamban, tidak responsif terhadap perubahan situasi,
sering kali tumpang tindih antarsektor, tetapi juga sering tidak terintegrasi
dan sinergis. Di banyak institusi negara ini, kita lebih sering melihat
strategi kerja berorientasi kegiatan dan bersifat formalistik, bukan
berorientasi hasil ataupun perubahan di tingkat masyarakat.
Dalam bencana wabah Covid-19 ini, kita menyaksikan hal-hal itu
secara nyata. Kita berulang kali melihat para pejabat memberi komentar yang
tidak memberdayakan. Sampai awal Maret, kita melihat ketidaksiapan pemerintah
untuk tanggap cepat, ketidaksigapan sektor-sektor, tidak sinkronnya hubungan
antarlembaga, yang berujung pada strategi tambal sulam. Semua ini adalah buah
dari problem birokrasi yang sudah puluhan tahun kita sadari. Dampaknya,
manajemen krisis tertatih-tatih, baru mulai terintegrasi beberapa hari
terakhir.
Beruntungnya, warga masyarakat Indonesia memiliki kearifan
tersendiri: dalam hal-hal dan situasi yang fundamental, mereka tidak pernah
menunggu negara. Dalam beberapa bencana skala besar, inisiatif rakyat jadi
tulang punggung ketangguhan bangsa. Saat krisis ekonomi 1998, warga saling
menolong anggota keluarga. Saat bencana tsunami tahun 2004, gempa Yogya,
letusan gunung Merapi tahun 2010, dan bencana Lombok serta Palu beberapa tahun
terakhir tanggap bencana bertumpu pada masyarakat.
Demikian juga dalam bencana wabah Covid-19 ini. Semangat saling
jaga antarwargalah yang berhasil mengatasi beberapa persoalan darurat kala
instrumen negara masih tergagap, bahkan defensif, menghadapi hantaman bencana.
Saat tenaga kesehatan mengeluhkan kurangnya alat pelindung diri
(APD), warga bertransformasi jadi tukang jahit dan tukang produksi APD darurat
tanpa cari untung, seperti gerakan Majelis Mau Jahitin. Saat masker mulut
dan hand
sanitizer langka, warga berbondong-bondong belajar memproduksi
dan membagikannya.
Saat protokol pembatasan gerak tidak kunjung diputuskan
pemerintah, warga mengorganisir diri untuk melindungi area masing-masing. Saat
pemerintah pusat dan daerah belum tanggap atas dampak ekonomi terhadap kelompok
miskin dan rentan miskin, sebagian besar warga telah sadar bahwa banyak orang
masih bergantung pada penghasilan harian sehingga akan terdampak langsung oleh
melambatnya sektor bisnis dan aktivitas di ruang publik.
Warga berswadaya dengan berbagai cara untuk membantu kelompok ini.
Mulai dari membagikan nasi bungkus dan mi instan, sampai menaikkan tip para
pengendara ojek daring. Ratusan kelompok masyarakat mengorganisasi bantuan
paket sembako, seperti yang dilakukan Gusdurian Peduli dan Gerakan Islam Cinta,
bekerja sama dengan platform galang dana Kitabisa.com.
Data dari beberapa platform galang dana daring mencatatkan total
donasi lebih dari 50 miliar rupiah yang dihimpun dari ratusan ribu orang.
Donasi mulai dari seribu rupiah sampai jutaan rupiah dapat kita temukan di
sana. Ini menandakan bahwa semangat saling jaga dimiliki oleh siapa saja, tidak
hanya mereka yang berkelimpahan finansial.
Tak salah jika Charity Aid Foundation melalui World Giving Index
2018 menobatkan Indonesia sebagai negara dengan penduduk paling dermawan di
dunia. Dalam bencana ini, kita menyaksikan wujud tiga kriteria penilaian indeks
itu, yaitu mendonasikan uang, menjadi relawan, dan kemauan menolong orang yang
tidak dikenalnya.
Bencana Covid-19 memberi dampak yang sama-sama kuat kepada negara
dan pada masyarakat. Sama-sama ”keluar aslinya” yang sayangnya saling
berlawanan. Negara gamang, sementara banyak warga bangsa kini tersadarkan bahwa
kita saling bergantung. Sebab, nasib kita bersama ditentukan oleh tindakan
setiap orang. Karena itu, kita perlu saling jaga. Kita perlu bergerak bersama
untuk mencari solusi bersama. Inilah nilai asli bangsa Indonesia dan modal
utama resiliensi masyarakat.
Pertanyaannya: bagaimana dan kapan pemerintah dapat belajar dari
masyarakat? []
KOMPAS, 12 April 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar