Covid-19
dan Benteng Keluarga
Oleh: Said Aqil Siroj
Kebijakan physical
distancing (jaga jarak) dan stay
at home (di rumah saja) adalah solusi dalam menyikapi
Covid-19. Ini adalah konsensus para ahli kesehatan dan kebijakan yang
diterapkan di beberapa negara, termasuk di Indonesia.
Tujuannya,
menghentikan pergerakan dan memutus mata rantai penularan Covid-19. Covid-19
telah mengubah banyak hal. Dunia kerja dan pendidikan berubah wajah dari luring
menjadi daring.
Revolusi
kerja dari rumah, meningkatkan intensitas pertemuan dengan keluarga, kerja
sembari berada di tengah-tengah anak-anak dan istri. Presiden rapat lewat
daring, belajar pun demikian, semua serbadaring.
Covid-19
telah menyadarkan kita betapa pentingnya rumah dan keluarga.
Benteng utama
Pada
hari-hari normal, bagi orang tua yang bekerja, rumah adalah tempat beristirahat
dan bertemu sejenak dengan keluarga. Gambaran ini sebentuk rutinitas kehidupan.
Covid-19 membolak-balik keadaan semua itu.
Kehangatan
keluarga tercipta sedemikian rupa hingga menyadari bahwa rumah dan keluarga
adalah benteng utama saat musibah dan wabah melanda. Cukup viral pernyataan
yang mengatakan, tim medis adalah benteng utama melawan Covid-19.
Namun,
asumsi ini justru dibantah salah seorang tim medis dengan mengatakan, benteng
utama melawan Covid-19 adalah warga, masyarakat, atau individu kita
masing-masing, dan tim medis adalah benteng terakhir.
Jika
mengacu pada kaidah fikih “menolak kerusakan harus didahulukan daripada
mengambil kemaslahatan”, pandangan salah satu tim kesehatanlah yang tepat.
Kesehatan dan menjaga diri dari sakit adalah paling utama dan lebih utama dari
mengobati.
Menjaga
diri agar tetap sehat, memiliki imunitas prima, dan terjaga dari sakit
merupakan tugas setiap orang. Mengobati sebagai tugas tim medis adalah solusi
terakhir jika seseorang terpapar Covid-19, bahkan ini bukanlah yang diinginkan
dan sebisa mungkin tak terjadi.
Benteng
utama selain diri sendiri adalah keluarga. Kebijakan agar di rumah saja adalah
bukti nyata betapa keluarga adalah benteng utama setiap individu.
Keluarga
adalah unit kecil paling awal dan natural yang sudah memiliki unsur mengatur,
berbagi peran, membuat aturan yang disepakati bersama anggota keluarganya yang
terdiri atas orang tua dan anak, lalu bertambah ada cucu, kakek-nenek, dan
seterusnya.
Sejatinya,
negara adalah himpunan dari keluarga demi keluarga. Jika negara ingin baik dan
sehat, harus dimulai dari keluarga yang baik dan sehat. Jika keluarga ingin
baik dan sehat, harus dimulai dari anggota keluarganya.
Kebijakan
di rumah saja mempertegas eksistensi dan peran keluarga begitu besar.
Sebaliknya, negara akan rusak dan tidak sehat karena setiap keluarga tidak
hidup yang baik dan sehat. Keluarga yang rusak dan tidak sehat karena
anggotanya hidup tak sehat.
Bila
bahu-membahu, menjaga kesehatan serta saling mengingatkan cuci tangan, physical distancing saat
bertemu orang dan tak keluar rumah kecuali untuk keperluan penting antaranggota
keluarga dan antarkeluarga akan menciptakan kehidupan sehat yang berjejaring,
berkelindan, dan menasional.
Persoalan
keluarga dalam perspektif fikih masuk ke dalam rumpun al-ahwal al-syakhsiyah (perdata).
Jika muncul permasalahan antara suami dan istri atau orang tua dan anaknya,
penyelesaiannya diutamakan dengan cara kekeluargaan dan musyawarah.
Ini
selaras dengan jati diri bangsa kita yang mengarusutamakan musyawarah mufakat
dalam menyelesaikan persoalan. Sehingga jika ada perselisihan, pernikahan,
perjodohan, dan kesalahpahaman serta persoalan lain, seperti warisan,
meniscayakan adanya mediator.
Bisa
orang yang diikuti dan dipandang seperti ulama di jalur kultur atau pihak
KUA/peradilan agama di jalur struktur formal negara untuk mencoba menengahi dan
mencari solusi terbaik bagi kedua belah pihak. Ini wujud moderasi Islam dan
jati diri bangsa bersinergi.
Adalah
sikap ekstrem, berlebihan, dan jauh dari sikap moderat dan menyimpang dari jati
diri bangsa jika semua persoalan keluarga dan rumah tangga serta-merta diseret
ke dalam kategori pidana dan penyelesaiannya secara kaku melalui hukum dan
penjara.
Tak semua
persoalan diselesaikan dengan hukum negara dan penjara. Yang dibutuhkan
masyarakat adalah edukasi dan menumbuhkan kesadaran dalam proses transformasi
menuju masyarakat yang lebih baik.
Sebagaimana
dalam menangani Covid-19, bukan hanya diselesaikan melalui jalur legal formal
pemerintah, melainkan juga masing-masing individu masyarakat melalui jalur
kultural dengan memberi pencerahan dan kesadaran kepada anggota keluarganya.
Taat dan
mematuhi peraturan pemerintah pun bagian dari upaya masyarakat dalam menangani
Covid-19.
Solidaritas
Covid-19
mempersatukan rakyat Indonesia dan umat manusia sedunia. Sisa-sisa polaritas
akibat politik pascapemilu, harus segera diakhiri. Solidaritas dibangun dan
dikokohkan. Persatuan adalah kunci dalam menghadapi Covid-19.
Cukup
membanggakan, sikap keagamaan para ulama dan hampir seluruh lembaga fatwa yang
otoritatif umat Islam sedunia satu suara dalam menyikapi Covid-19.
Inilah
yang disebut ijmak, yakni seluruh ulama sedunia, baik Mesir, Arab Saudi,
Indonesia, maupun negara mayoritas Muslim lainnya bersepakat untuk menghindari
kerumunan yang berpotensi membuat semakin menyebarnya Covid-19.
Umat
Islam boleh tidak mengadakan shalat Jumat dan shalat berjamaah di masjid.
Jumatan diganti dengan salat Zhuhur di rumah. Seluruh shalat lima waktu, Sunah,
Tarawih, dan Witir di rumah. Pemerintah Saudi juga menutup ibadah umrah.
Hal yang
membanggakan lagi, ormas Islam di Indonesia, yakni MUI, NU, Muhammadiyah,
dan ormas lain bersatu dan bersepakat dengan fatwa tersebut.
Saat ini,
kita sedang berperang melawan Covid-19. Bahkan, lebih sulit menghadapinya. Saat
berperang melawan kolonialisme, rakyat Indonesia berhasil menghadapinya dan
merdeka sebab musuh yang dihadapi terlihat mata.
Begitu
juga, berperang melawan pemberontak dan terorisme, Densus 88 dan aparat negara
berhasil melacak jaringan dan melumpuhkannya. Musuh yang bersifat fisik lebih
mudah diatasi, sedangkan Covid-19 ini musuh yang tidak terlihat mata.
Ini
melampaui jaringan klandestin,
gerakannya sangat cepat, bisa menerobos benteng pertahanan sekuat apa pun, bisa
menyusup ke mana pun, berpindah dengan lincah menularkannya dari satu orang ke
orang yang lain, dan mengalahkan serta menjatuhkan siapa pun.
Covid-19
menyasar siapa pun, tanpa pandang bulu, dan tanpa memandang keimanan serta
identitas ras. Solidaritas yang besar dan menyeluruh—meminjam perspektif Ernest
Renan—adalah wujud dari sebuah bangsa.
Sebab
itulah bukti dari jiwa dan kehendak untuk hidup bersama yang sebermula dari
‘persamaan nasib’. Solidaritas diwujudkan melalui gotong royong semua anak
bangsa. Esensi Pancasila, kata Bung Karno, adalah gotong royong.
Sikap
gotong royong di bumi nusantara sudah hidup dan dihidupkan penduduknya selama
ratusan, bahkan ribuan tahun lamanya. Gotong royong adalah salah satu nilai dan
karakter dasar bangsa ini. Selaras dengan al-ta’awun (saling
menolong) dan al-takaful (solidaritas)
dalam Islam.
Nah, semua
berkewajiban dalam menghadapi dan menyelesaikan Covid-19. Tidak hanya
pemerintah, tetapi juga seluruh rakyat. Inilah sejatinya solidaritas yang dalam
situasi wabah ini harus diwujudkan dengan segala bentuk. Semoga badai wabah ini
segera berlalu. []
REPUBLIKA,
22 April 2020
Said Aqil Siroj | Ketua Umum PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar