Senyum dan Acungan Dua Jempol Istriku
Menjelang Sahur
Tepat pukul 01.50 aku terbangun pagi dini hari itu. Aku segera ke kamar mandi untuk berwudhu. Aku tak ingin kembali tidur. Aku ingin beraktivitas menyiapkan makan sahur. Aku ingin sebelum istriku bangun, di meja makan sudah siap dengan segala sesuatu yang kami perlukan untuk sahur keluarga. Hari itu adalah hari terakhir bersama istri di Solo karena besok lusa sang bojo sudah mudik ke desanya di Majenang Cilacap.
Kami sehari-hari memang saling memanggil “Jo”
(dari kata ‘bojo’) karena kami adalah suami istri. Ini tidak berbeda halnya
dengan seorang anak memanggil ibunya “Ibu”, dan “Bapak” untuk memanggil
ayahnya. Kami orang Jawa. Dengan saling memanggil “Jo”, kami selalu diingatkan
akan hak dan kewajiban masing-masing. “Jo” adalah penegasan kesetaraan di
antara kami.
Pada pukul 02.30, aku mulai klethekan di
dapur. Aku ambil cangkir stainless steel yang agak besar. Aku akan buat teh
ginasthel yang telah menjadi kesukaan seluruh keluarga. Kompor gas mulai aku
nyalakan.
Setelah cem-ceman teh siap, aku ambil 3 gelas
berukuran agak besar. Aku tuangkan gula pasir ke dalamnya. Berikutnya teh
kenthelan aku masukkan secukupnya. Air panas dari termos belum aku tuangkan.
Aku akan menuangkannya setelah lauk untuk sahur sudah siap. Ini untuk menjamin
teh masih panas ketika akan diminum.
Dari urusan soal minuman, aku beralih ke
lauk. Aku lihat persediaan lauk tidak cukup untuk keluarga. Hanya ada 2 buah
martabak dan 1 potong paha ayam goreng yang keadaannya sudah tidak menarik. Aku
khawatir anak-anak kurang berselera dengan menu yang ada. Aku putuskan untuk
membuat mie goreng 2 bungkus saja. Aku buka kemasannya. Terdengar “kemresek”
banget dan pasti bisa mengganggu yang masih tidur. Maklum hari masih dini. Dua
piring yang aku siapkan untuk mie goreng pun juga menambah suara gaduh di
dapur.
Menyadari kegaduhan itu, aku mulai
pelan-pelan dalam menata peralatan dapur. Aku tidak ingin istriku terbangun
karena kegaduhan itu. Aku ingin dia bangun dan keluar dari kamar tidur setelah
segala sesuatunya siap di meja makan. Itu artinya kegiatanku menyiapkan sahur untuk
keluarga harus sudah selesai sebelum pukul 03.00. Pada jam ini istriku pasti
akan bangun setelah alarm di ponselnya berbunyi.
Sementara itu, jam di dinding telah
menunjukkan pukul 02.55. Artinya 5 menit kemudian alarm di ponsel istriku akan
membuat istriku segera bangun. Pada saat ini menu sahur sudah siap di meja
makan.
Di sana sudah tersaji 2 piring mie goreng;
satu cething berukuran sedang berisi nasi putih; 1 piring berisi 2 buah
martabak, sebungkus krupuk udang dan sepotong paha ayam goreng; 2 botol sambal
sambal kecap dan bangkok; 3 gelas teh ginasthel; setumpuk piring bersih
berjumlah 4 buah; 1 piring berisi beberapa sendok dan garpu; segulung tisu, dan
3 botol air mineral tanggung. Jumlah gelas dan botol air mineral memang aku
siapkan hanya 3 sebab istriku suka gabung. Terkadang sama aku, kadang pula sama
anak-anak.
Tepat pukul 03.00 aku sudah bersiap diri di
meja makan. Sengaja aku arahkan pandanganku ke pintu kamar di mana istriku
tidur. Dari situ istriku pasti akan keluar setelah didengarnya alarm di
ponselnya. Aku ingin menyaksikan bagaimana wajah ibu bagi kedua anakku saat
dilihatnya di meja makan sudah tersaji hidangan makan sahur untuk keluarga, di
saat mana kedua matanya masih kriyip-kriyip, rambutnya dhowal dhawul, dasternya
acak-acakan, mulutnya terasa pahit, bibirnya masih kaku, kesadaranya belum
utuh, langkahnya pun gontai. Hanya satu yang aku tunggu, bisakah dia tersenyum
di saat seperti itu.
“Hmmm...,“ istriku tersenyum lucu sekali
dengan menatapku sambil diacungkan kedua jempolnya kepadaku.
***
Itulah ringkasan cerita kegiatan sahur di
keluargku lima tahun lalu, atau tepatnya pada 22 Ramadhan 1435 H/20 Juli 2014.
Cerita itu kami rekam dalam sebuah buku catatan harian berjudul “Dari Sahur ke
Sahur; Catatan Harian Seorang Suami” (2016).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Majah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda sebagai berikut:
خيركم
خيركم لأهله، وأنا خيركم لأهلي “
Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik
sikapnya terhadap keluarga. Dan aku adalah yang terbaik diantara kalian
terhadap keluargaku.” Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Al-Aswad
radhiallahu anhu diceritakan sebagai berikut:
سألت
عائشة ما كان النبي صلى الله عليه وسلم يصنع في أهله قالت كان في مهنة أهله فإذا
حضرت الصلاة قام إلى الصلاة
Artinya, “Aku pernah bertanya kepada Aisyah:
Apa yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di rumahnya?
Aisyah berkata: Beliau membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, maka
apabila telah masuk waktu shalat beliau keluar untuk shalat.” (HR. Al-Bukhari)
Kedua hadits itu merupakan sebagian dari
banyak hadits yang telah menginspirasi saya untuk melayani istri dan anak-anak
sebagaimana kisah di atas. Jika ada kesan romantis di dalamnya, itupun tak
salah karena Rasulullah sendiri sering berlaku romantis terhadap istri-istri
beliau seperti mencium, minum dan makan dengan wadah yang sama (sepiring
berdua), bersikap lembut dan sebagainya. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar