Virus PHK
Oleh: Komaruddin Hidayat
VIRUS korona telah melahirkan “virus” baru, yaitu PHK, pemutusan hubungan kerja. Virus ini lebih ditakuti masyarakat karena wujud dan dampaknya terlihat dan dirasakan langsung. Sekian banyak perusahaan telah meliburkan dan memberhentikan karyawannya. Ini terjadi di hampir di seluruh negara-negara dunia.
Saya pernah sengaja jalan-jalan melihat mal di Jakarta. Banyak pertokoan yang tutup. Hotel tak lagi kedatangan tamu. Restoran tak ada pengunjung. Warung-warung kecil pun ikut tutup. Melalui media sosial, kita juga memperoleh informasi serupa yang terjadi di berbagai kota.
Para karyawan itu dengan mendadak kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilannya. Mereka terlihat menangis, kebingungan. Para pengusaha pun khawatir sekali kalau pandemi ini melewati bulan Juni, daya tahan keuangannya tak sanggup lagi membiayai kegiatan operasionalnya. Alih-alih memberi tunjangan hari raya (THR).
Membengkaknya jumlah pengangguran ini jika berkelanjutan, dampaknya tak kalah bahayanya dari virus korona. Bagi mereka yang memiliki tabungan, tinggal di rumah masih bisa memenuhi hajat makan-minum setiap harinya.
Tetapi bagaimana halnya dengan keluarga pengangguran tanpa penghasilan? Makanya kondisi ini jika tidak diatasi bersama oleh pemerintah dan kekuatan rakyat secara bersama-sama akan menyimpan bom waktu yang suatu saat akan meledak. Ibarat api dalam sekam, meskipun di permukaan tidak terlihat besar, api di dalamnya akan cepat membara dan bisa membakar apa saja di sekitarnya.
Orang yang kelaparan dan tidak punya cadangan apa pun untuk dimakan bisa berbuat nekat di luar perkiraan siapa pun, bahkan oleh yang bersangkutan sekalipun. Bagi orang kaya yang sakit, saat ini tidak bisa lagi mengandalkan kekayaannya untuk membeli pelayanan khusus di rumah sakit. Rumah sakit serba-waswas takut melayani pasien yang datang.
Jangan-jangan tanpa diketahui membawa wabah Covid-19. Bagi pasien Covid-19 harus siap mental untuk terisolasi dari keluarga dan teman dekatnya. Dan isolasi itu merupakan penderitaan tersendiri bagi yang sakit maupun keluarganya yang tidak boleh mendekat.
Indonesia dengan penduduk 273 jiwa, tersebar ke ratusan pulau dengan kesenjangan tingkat ekonomi dan pendidikan yang tajam. Kondisi itu sungguh tidak mudah menciptakan kesejahteraan yang merata bagi warganya.
Ketika roda ekonomi oleng oleh hantaman Covid-19 yang mengakibatkan PHK, secara spontan angka kemiskinan dan pengangguran melonjak secara ekstrem. Kas negara tidak mampu memberi bantuan layanan tunai untuk warganya yang menganggur. Kondisi ini sangat berbeda dari negara kecil seperti Singapura, Arab Saudi atau Jepang.
Bahkan, pemerintah Indonesia mengakui untuk memberi THR bagi PNS pun, kondisinya saat ini berat. Belum lagi gaji PNS ke-13. Kalangan pengusaha juga demikian halnya, sudah menjerit tabungannya menipis untuk membayar gaji karyawan. Mereka ingin minta bantuan negara.
Tetapi saya pun ragu, meski perusahaan jatuh miskin, jangan-jangan kekayaan pribadi pemiliknya masih melimpah. Kata orang, tabungan pribadi orang-orang kaya Indonesia yang mangkal di luar negeri itu jumlahnya ekuivalen dengan APBN kita. Artinya, kalau mereka mau berbagi dana sosial atau bersedekah untuk menyantuni warga yang jatuh miskin dan menganggur karena PHK, kondisi sosial Indonesia bisa diselamatkan sampai wabah ini berlalu.
Kebutuhan primer setiap orang saat ini adalah hidup sehat, cukup makan, minum, istirahat, menghirup udara bersih dan segar. Lebih dari itu merupakan kemewahan yang mesti ditangguhkan. Bagi keluarga yang mampu masih beruntung di rumah langganan internet-Wi-Fi sehingga bisa menikmati film-film yang selama ini diabaikan. Anak-anak pun masih bisa mabar (main bareng) dengan teman-teman sekolahnya lewat gawai.
Namun, bagaimana dengan keluarga yang tidak mampu? Cukup menggembirakan masih banyak orang yang tergerak untuk berbagi rezeki pada mereka yang tiba-tiba jadi fakir miskin.
Semoga sikap filantropi ini akan berlanjut sampai wabah korona berlalu. Itulah jati diri masyarakat Indonesia, senang bergotong royong, sebelum dirusak oleh pengaruh negatif kapitalisme-individualisme liberal yang lebih memikirkan kesenangan diri sendiri. []
KORAN
SINDO, 17 April 2020
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas
Islam Internasional Indonesia (UIII)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar