Pencegahan Covid-19 dan
Hifzhun Nafs dalam Ushul Fiqih Lintas Zaman (1)
Kita mengenal ad-dharuriyyatul khams atau lima prinsip dasar yang menjadi landasan hukum atas pemberlakuan syariat tertentu. Prinsip ini yang disebut dengan nama lainnya ushulus syariah (pokok syariat). Salah satu prinsipnya adalah hifzhun nafs, hifzhun nufus, atau jaminan atas keselamatan jiwa manusia.
Di sini kami akan mengutip pandangan Imam
Al-Haramain Al-Juwaini (419-478 H/1028-1085 M), ulama pertama (menurut Muhammad
Musthafa As-Syalabi) yang merumuskan lima prinsip tersebut dalam karyanya
Al-Burhan fi Ushulil Fiqhi.
هذا
الذي ذكره هؤلاء أصول الشريعة ونحن نقسمها خمسة أقسام أحدها ما يعقل معناه وهو أصل
ويئول المعنى المعقول منه إلى أمر ضروري لا بد منه مع تقرير غاية الإيالة الكلية
والسياسية العامية وهذا بمنزلة قضاء الشرع بوجوب القصاص في أوانه فهو معلل بتحقق
العصمة في الدماء المحقونة والزجر عن التهجم عليها
Artinya, “Apa yang disebutkan para ulama
adalah ushulus syariah atau prinsip pokok syariat. Kami membaginya menjadi
lima. Pertama, prinsip yang maknanya dapat dinalar dan ini pokok. Prinsip yang
ternalar berpulang kepada masalah mendasar (amrin dharuriyyin) yang tidak dapat
tidak bersamaan dengan penetapan tujuan universal dan kebijaksanaan umum.
Ini–seperti kedudukan putusan syariat atas kewajiban qishash pada
waktunya–dapat dijadikan illat atau dasar hukum untuk mewujudkan kepastian
keselamatan jiwa yang wajib dilindungi dan mewujudkan larangan atas ancaman
keselamatan jiwa tersebut…” (Lihat Imam Al-Haramain Al-Juwaini, Al-Burhan fi
Ushulil Fiqh, [Kairo, Darul Ansor: tanpa tahun], juz II, halaman 923).
Konsep hifzhun nafs dalam pandangan Imam
Al-Haramain diwujudkan dalam pengendalian sosial dengan bentuk qishash sebagai
pendekatan represif-kuratif hukum. Pemberlakuan qishash sebagai perwujudan
konsep hifzhun nafs ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ulama ushul fiqih
lintas mazhab termasuk lingkaran mazhab Syafi’i sepeninggal Imam Al-Haramain
yang dapat kita baca dari karya ushul fiqih mereka.
Pendekatan represif-kuratif hukum diduga kuat
oleh para ulama sebagai cara efektif dan cocok dalam pengendalian sosial, yakni
pencegahan atas tindakan pembunuhan karena orang akan berpikir dua kali untuk
membunuh dengan melihat sanksi setimpal.
Dari Represif-Kuratif ke
Preventif-Antisipatif
Ulama ushul fiqih kontemporer datang
memberikan tawaran baru atas manifestasi konsep hifzhun nafs dari sekadar
qishash. Mereka membuka banyak sisi atas menifestasi konsep hifzhun nafs dalam
kehidupan mereka yang oleh ulama ushul fiqih klasik terbatas pada penerapan
qishash. Mereka dituntut untuk memenuhi kebutuhan dan dinamika sosial kehidupan
hari ini yang semakin kompleks.
Ulama ushul fiqih kontemporer menggeser atau
tepatnya memperlebar manifestasi prinsip hifzhun nafs dari pendekatan
represif-kuratif ke pendekatan preventif-antisipatif. Dengan demikian, jaminan
atas keselamatan jiwa manusia tidak hanya diwujudkan melalui dimensi sanksi dan
tindakan hukum (jinayah), tetapi juga pada dimensi lain, yaitu adat atau
kelaziman-kelaziman sebagaimana dikatakan Muhammad Musthafa As-Syalabi
(1910-1997 M/1328-1418 H) berikut ini:
من
أجل ذلك جعل العلماء هذا التقسيم يجري في العبادات والعادات والمعاملات والجنايات،
شرع الله لحفظ هذه الضروريات أحكاما لوجودها، وأخرى للمحافظة عليها حتى لا تنعدم
بعد الوجود...والعادات كالأكل والشرب واللباس وما شاكل ذلك لحفظ النفس والعقل
وجودا والقصاص والديات وحد الشرب لحفظهما من العدم
Artinya, “Oleh karena itu, ulama melakukan
pembagian ad-dharuriyyatul khams (lima kebutuhan mendasar) yang berlaku dalam
masalah ibadah, adat, dan jinayah. Untuk menjaga ad-dharuriyyatul khams, Allah
mensyariatkan hukum demi menjamin keberadaannya di satu sisi dan menjamin
keberlangsungan lima hal tersebut pada sisi lain sehingga tidak punah atau
binasa setelah kehadirannya… Adat (atau kebiasaan) seperti (kebutuhan) makan,
minum, pakaian, dan sejenisnya (disyariatkan) untuk menjaga keberadaan jiwa dan
akal; dan qishash, diyat, dan sanksi hukum pada konsumsi zat memabukkan
(disyariatkan) untuk menjaga keduanya (jiwa dan akal) dari kepunahan,” (Lihat
Syalabi, Ta’lilul Ahkam, [Kairo, Darus Salam: 2017 M/1438 H], halaman 303).
As-Syalabi tidak sendiri. Sebelumnya sudah
ada Muhammad bin Afifi Al-Baijuri yang lebih dikenal dengan nama Syekh Muhammad
Khudhari Bek (1872-1927 M). Menurutnya, adat seperti mengonsumsi makanan,
minuman, pakaian dan lain sebagainya merupakan jalan perwujudan jaminan
keselamatan jiwa dan akal sekaligus. (Lihat M Khudhari Bek, Ushulul Fiqh,
[Beirut, Darul Fikr: 2004 M/1424 H], halaman 300-301). []
(bersambung…)
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar