Kamis, 23 April 2020

(Ngaji of the Day) Pencegahan Covid-19 dan Hifzhun Nafs dalam Ushul Fiqih Lintas Zaman (1)


Pencegahan Covid-19 dan Hifzhun Nafs dalam Ushul Fiqih Lintas Zaman (1)

Kita mengenal ad-dharuriyyatul khams atau lima prinsip dasar yang menjadi landasan hukum atas pemberlakuan syariat tertentu. Prinsip ini yang disebut dengan nama lainnya ushulus syariah (pokok syariat). Salah satu prinsipnya adalah hifzhun nafs, hifzhun nufus, atau jaminan atas keselamatan jiwa manusia.

Di sini kami akan mengutip pandangan Imam Al-Haramain Al-Juwaini (419-478 H/1028-1085 M), ulama pertama (menurut Muhammad Musthafa As-Syalabi) yang merumuskan lima prinsip tersebut dalam karyanya Al-Burhan fi Ushulil Fiqhi.

هذا الذي ذكره هؤلاء أصول الشريعة ونحن نقسمها خمسة أقسام أحدها ما يعقل معناه وهو أصل ويئول المعنى المعقول منه إلى أمر ضروري لا بد منه مع تقرير غاية الإيالة الكلية والسياسية العامية وهذا بمنزلة قضاء الشرع بوجوب القصاص في أوانه فهو معلل بتحقق العصمة في الدماء المحقونة والزجر عن التهجم عليها

Artinya, “Apa yang disebutkan para ulama adalah ushulus syariah atau prinsip pokok syariat. Kami membaginya menjadi lima. Pertama, prinsip yang maknanya dapat dinalar dan ini pokok. Prinsip yang ternalar berpulang kepada masalah mendasar (amrin dharuriyyin) yang tidak dapat tidak bersamaan dengan penetapan tujuan universal dan kebijaksanaan umum. Ini–seperti kedudukan putusan syariat atas kewajiban qishash pada waktunya–dapat dijadikan illat atau dasar hukum untuk mewujudkan kepastian keselamatan jiwa yang wajib dilindungi dan mewujudkan larangan atas ancaman keselamatan jiwa tersebut…” (Lihat Imam Al-Haramain Al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushulil Fiqh, [Kairo, Darul Ansor: tanpa tahun], juz II, halaman 923).

Konsep hifzhun nafs dalam pandangan Imam Al-Haramain diwujudkan dalam pengendalian sosial dengan bentuk qishash sebagai pendekatan represif-kuratif hukum. Pemberlakuan qishash sebagai perwujudan konsep hifzhun nafs ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ulama ushul fiqih lintas mazhab termasuk lingkaran mazhab Syafi’i sepeninggal Imam Al-Haramain yang dapat kita baca dari karya ushul fiqih mereka.

Pendekatan represif-kuratif hukum diduga kuat oleh para ulama sebagai cara efektif dan cocok dalam pengendalian sosial, yakni pencegahan atas tindakan pembunuhan karena orang akan berpikir dua kali untuk membunuh dengan melihat sanksi setimpal.

Dari Represif-Kuratif ke Preventif-Antisipatif

Ulama ushul fiqih kontemporer datang memberikan tawaran baru atas manifestasi konsep hifzhun nafs dari sekadar qishash. Mereka membuka banyak sisi atas menifestasi konsep hifzhun nafs dalam kehidupan mereka yang oleh ulama ushul fiqih klasik terbatas pada penerapan qishash. Mereka dituntut untuk memenuhi kebutuhan dan dinamika sosial kehidupan hari ini yang semakin kompleks.

Ulama ushul fiqih kontemporer menggeser atau tepatnya memperlebar manifestasi prinsip hifzhun nafs dari pendekatan represif-kuratif ke pendekatan preventif-antisipatif. Dengan demikian, jaminan atas keselamatan jiwa manusia tidak hanya diwujudkan melalui dimensi sanksi dan tindakan hukum (jinayah), tetapi juga pada dimensi lain, yaitu adat atau kelaziman-kelaziman sebagaimana dikatakan Muhammad Musthafa As-Syalabi (1910-1997 M/1328-1418 H) berikut ini:

من أجل ذلك جعل العلماء هذا التقسيم يجري في العبادات والعادات والمعاملات والجنايات، شرع الله لحفظ هذه الضروريات أحكاما لوجودها، وأخرى للمحافظة عليها حتى لا تنعدم بعد الوجود...والعادات كالأكل والشرب واللباس وما شاكل ذلك لحفظ النفس والعقل وجودا والقصاص والديات وحد الشرب لحفظهما من العدم

Artinya, “Oleh karena itu, ulama melakukan pembagian ad-dharuriyyatul khams (lima kebutuhan mendasar) yang berlaku dalam masalah ibadah, adat, dan jinayah. Untuk menjaga ad-dharuriyyatul khams, Allah mensyariatkan hukum demi menjamin keberadaannya di satu sisi dan menjamin keberlangsungan lima hal tersebut pada sisi lain sehingga tidak punah atau binasa setelah kehadirannya… Adat (atau kebiasaan) seperti (kebutuhan) makan, minum, pakaian, dan sejenisnya (disyariatkan) untuk menjaga keberadaan jiwa dan akal; dan qishash, diyat, dan sanksi hukum pada konsumsi zat memabukkan (disyariatkan) untuk menjaga keduanya (jiwa dan akal) dari kepunahan,” (Lihat Syalabi, Ta’lilul Ahkam, [Kairo, Darus Salam: 2017 M/1438 H], halaman 303).

As-Syalabi tidak sendiri. Sebelumnya sudah ada Muhammad bin Afifi Al-Baijuri yang lebih dikenal dengan nama Syekh Muhammad Khudhari Bek (1872-1927 M). Menurutnya, adat seperti mengonsumsi makanan, minuman, pakaian dan lain sebagainya merupakan jalan perwujudan jaminan keselamatan jiwa dan akal sekaligus. (Lihat M Khudhari Bek, Ushulul Fiqh, [Beirut, Darul Fikr: 2004 M/1424 H], halaman 300-301). []

(bersambung…)

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar