Kamis, 23 April 2020

Rumadi: Kedaruratan Kesehatan Masyarakat


Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
Oleh: Rumadi Ahmad

”Musuh utama penanganan wabah korona adalah birokrasi dan formalitas.”
Demikian ungkapan Presiden China Xi Jinping (15/2/2020).

Tanggal 31 Maret 2020 merupakan hari yang sangat penting bagi bangsa Indonesia dalam perang melawan Covid-19. Dalam satu hari, Presiden Jokowi menandatangani dan mengumumkan tiga kebijakan penting.

Pertama, Keputusan Presiden No 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19. Kedua, Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Tiga hari setelah keluar PP ini, Menteri Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 9/2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Virus Covid-19.

Ketiga, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Terbitnya tiga regulasi dalam waktu yang sama tidak hanya menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menanggulangi Covid-19, tetapi juga menunjukkan pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali harus mengorbankan semua imajinasi tentang pertumbuhan ekonomi, investasi, dan sebagainya.

Pilihannya sekarang hanya satu: perang melawan Covid-19, berapa pun harga yang harus dibayar. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Karena itu, tak perlu lagi ada komentar dan opini bahwa pemerintah tidak serius dan tidak punya skenario dan sebagainya.

Tiga regulasi ini menunjukkan pemerintah berpikir secara komprehensif, tak hanya memikirkan sektor dan kelompok tertentu. Dengan penetapan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM), pemerintah menyiapkan dua penyangga kebijakan: 1) penanganan aspek kesehatan melalui PSBB dan penanganan dampak sosial ekonomi melalui perppu yang terkait kebijakan keuangan negara di mana pemerintah menyiapkan Rp 405,1 triliun dengan melakukan re-focusing dan realokasi anggaran. Jika ini pun tak cukup, langkah-langkah berikutnya sudah dipikirkan pemerintah.

Penetapan status KKM merupakan pintu masuk yang sangat penting karena dengan status itulah berbagai kebijakan darurat bisa dilakukan. Status darurat pasti akan diikuti dengan langkah-langkah luar biasa, bahkan langkah-langkah yang sebelum ada status ini tidak diperbolehkan.

Dalam tradisi Islam dikenal adagium ad-daruratu tubihul mahdzurat (kondisi darurat menjadi alasan diperbolehkannya hal-hal yang dilarang). Itulah sebabnya, beberapa hari sebelum penetapan ini, banyak kalangan mendesak pemerintah untuk melakukan penetapan status KKM, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
PSBB, apa bedanya?

Pertanyaan yang sering dikemukakan sejumlah kalangan adalah apa bedanya status PSBB ini dengan kebijakan yang sudah diambil pemerintah sebelumnya? Pertanyaan ini begitu penting dijelaskan karena sebelumnya pemerintah, baik pusat maupun daerah, sudah mengambil kebijakan sebagaimana diatur dalam UU No 6 Tahun 2018, seperti peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Atas pertanyaan tersebut, ada beberapa penjelasan yang bisa dikemukakan. Pertama, PSBB merupakan pilihan kebijakan yang diambil pemerintah meskipun ada pilihan kebijakan yang lain, yaitu melakukan karantina, baik karantina rumah sakit, rumah maupun karantina wilayah. PSBB merupakan kebijakan pembatasan terbesar yang disediakan UU No 6 Tahun 2018.

Dengan PSBB, meski tidak disebut karantina, pemerintah daerah bisa melakukan langkah-langkah tambahan, termasuk melakukan pembatasan pergerakan orang dalam skala terbatas, tidak selalu dalam skala kabupaten/kota atau provinsi.

Pasal 13 Permenkes No 9 Tahun 2020 menyebutkan, di samping melakukan peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, PSBB juga membuka peluang melakukan pembatasan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan moda transportasi, serta pembatasan kegiatan lainnya, khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.

Kedua, dari sisi status hukum. Jika kebijakan sebelumnya merupakan kebijakan harian biasa karena melihat situasi, setelah ada PP PSBB dan Permenkes turunannya, status kebijakan dilegitimasi secara legal sebagai langkah kedaruratan. Tentu hal ini harus dilakukan pemerintah daerah dengan mengikuti prosedur yang diatur dalam PP untuk memastikan semua langkah kedaruratan yang dilakukan pemerintah terkoordinasi oleh pemerintah pusat.

Hal ini sangat penting karena jika pemerintah daerah dibiarkan melakukan tindakan sendiri-sendiri akan sangat membahayakan keamanan nasional yang justru kontra produktif dengan upaya penanganan Covid-19.

Kita masih ingat, ketika Gubernur DKI Anies Baswedan mengambil langkah sendiri dengan membatasi transportasi publik di Jakarta, yang terjadi justru kekacauan. Pemerintah Indonesia belajar dari langkah-langkah yang diambil beberapa negara, termasuk India yang menciptakan kekacauan justru ketika pemerintahnya mengambil langkah penguncian wilayah.

Ketiga, PSBB bukan hanya imbauan seperti selama ini sudah dilakukan. Di samping ada penguatan regulasi, PSBB juga mengharuskan penguatan penegakannya, termasuk melakukan tindakan hukum baik bagi individu maupun korporasi yang melanggar. Hal ini dimungkinkan karena PSBB merupakan salah satu jenis pembatasan dan kekarantinaan (bedakan dengan karantina) yang diperbolehkan UU.
Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 menyebutkan, setiap orang yang tidak mematuhi atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan diancam pidana paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah). Bahkan, jika ada orang yang melakukan korupsi dana yang digunakan untuk penanganan Covid-19, hal itu bisa dijadikan pemberat hukuman.

Keempat, pemerintah daerah yang melakukan PSBB mestinya juga diberi kewenangan untuk melakukan karantina pada zona tertentu jika dipandang perlu. Di samping karantina dan PSBB mempunyai kesamaan dalam hal pembatasan pergerakan masyarakat, PSBB seharusnya merupakan langkah terbesar yang diberikan peraturan perundang-undangan sehingga bisa mengatasi jenis-jenis pembatasan yang lain.

Saya tahu, hal ini agak sulit dilakukan karena karantina belum diatur melalui PP meskipun Pasal 60 UU No 6 Tahun 2018 mengamanatkan agar persoalan karantina rumah, karantina rumah sakit, dan karantina wilayah diatur melalui PP. Lain cerita jika PP tidak hanya mengatur soal PSBB, tapi juga karantina sehingga penanganannya bisa terintegrasi karena –sebagaimana PSBB—karantina wilayah juga membutuhkan izin dari pemerintah pusat cq Menkes (Pasal 49).

Banyak faktor

Terlepas dari itu, pemerintah sudah mengambil pilihan melakukan PSBB. Berhasil tidaknya PSBB ditentukan banyak faktor. Faktor paling penting adalah birokrasi. Sebagaimana Presiden China Xi Jinping dalam sebuah pidatonya, menegaskan bahwa musuh utama perang melawan Covid-19 adalah birokrasi dan formalitas.

Bukan berarti birokrasi dan formalitas tak perlu, tapi hal ini jangan sampai menghambat gerak untuk melawan Covid-19. Karena itulah, Presiden Jokowi senantiasa mengingatkan untuk menyederhanakan birokrasi.

Hal lain yang tak kalah penting adalah faktor kedisiplinan masyarakat. Masih ada sebagian masyarakat yang menyepelekan Covid-19. Ada juga sebagian masyarakat yang harus keluar rumah karena berbagai alasan, terutama alasan ekonomi. Alasan-alasan tersebut seharusnya tidak ada lagi ketika pemerintah sudah menggelontorkan berbagai kebijakan ekonomi bagi masyarakat yang terdampak Covid-19.

Kita semua harus berkorban untuk melawan Covid-19. Hal yang harus dipastikan adalah kebijakan-kebijakan relaksasi ekonomi dan jaring pengaman sosial harus benar-benar sampai dan dinikmati masyarakat miskin dan rentan miskin. Alasan inilah yang bisa dijadikan landasan untuk melakukan penegakan hukum dan tindakan bagi siapa pun yang melanggar PSBB. []

KOMPAS, 16 April 2020
Rumadi Ahmad | Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden

Tidak ada komentar:

Posting Komentar