Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat
Oleh:
Rumadi Ahmad
”Musuh
utama penanganan wabah korona adalah birokrasi dan formalitas.”
Demikian ungkapan Presiden China Xi Jinping (15/2/2020).
Demikian ungkapan Presiden China Xi Jinping (15/2/2020).
Tanggal
31 Maret 2020 merupakan hari yang sangat penting bagi bangsa Indonesia dalam
perang melawan Covid-19. Dalam satu hari, Presiden Jokowi menandatangani dan
mengumumkan tiga kebijakan penting.
Pertama,
Keputusan Presiden No 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat Covid-19. Kedua, Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2020 tentang
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan
Covid-19. Tiga hari setelah keluar PP ini, Menteri Kesehatan mengeluarkan
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 9/2020 tentang Pedoman Pembatasan
Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Virus Covid-19.
Ketiga,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi
Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan
Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Terbitnya
tiga regulasi dalam waktu yang sama tidak hanya menunjukkan keseriusan
pemerintah dalam menanggulangi Covid-19, tetapi juga menunjukkan pemerintah
tidak punya pilihan lain kecuali harus mengorbankan semua imajinasi tentang
pertumbuhan ekonomi, investasi, dan sebagainya.
Pilihannya
sekarang hanya satu: perang melawan Covid-19, berapa pun harga yang harus
dibayar. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Karena itu, tak perlu lagi
ada komentar dan opini bahwa pemerintah tidak serius dan tidak punya skenario
dan sebagainya.
Tiga
regulasi ini menunjukkan pemerintah berpikir secara komprehensif, tak hanya
memikirkan sektor dan kelompok tertentu. Dengan penetapan status Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat (KKM), pemerintah menyiapkan dua penyangga kebijakan: 1)
penanganan aspek kesehatan melalui PSBB dan penanganan dampak sosial ekonomi
melalui perppu yang terkait kebijakan keuangan negara di mana pemerintah
menyiapkan Rp 405,1 triliun dengan melakukan re-focusing
dan realokasi anggaran. Jika ini pun tak cukup, langkah-langkah berikutnya
sudah dipikirkan pemerintah.
Penetapan
status KKM merupakan pintu masuk yang sangat penting karena dengan status
itulah berbagai kebijakan darurat bisa dilakukan. Status darurat pasti akan
diikuti dengan langkah-langkah luar biasa, bahkan langkah-langkah yang sebelum
ada status ini tidak diperbolehkan.
Dalam
tradisi Islam dikenal adagium ad-daruratu
tubihul mahdzurat (kondisi darurat menjadi alasan diperbolehkannya
hal-hal yang dilarang). Itulah sebabnya, beberapa hari sebelum penetapan ini, banyak
kalangan mendesak pemerintah untuk melakukan penetapan status KKM, sebagaimana
diatur dalam Pasal 10 UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
PSBB, apa bedanya?
PSBB, apa bedanya?
Pertanyaan
yang sering dikemukakan sejumlah kalangan adalah apa bedanya status PSBB ini
dengan kebijakan yang sudah diambil pemerintah sebelumnya? Pertanyaan ini
begitu penting dijelaskan karena sebelumnya pemerintah, baik pusat maupun
daerah, sudah mengambil kebijakan sebagaimana diatur dalam UU No 6 Tahun 2018,
seperti peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan
pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Atas
pertanyaan tersebut, ada beberapa penjelasan yang bisa dikemukakan. Pertama,
PSBB merupakan pilihan kebijakan yang diambil pemerintah meskipun ada pilihan
kebijakan yang lain, yaitu melakukan karantina, baik karantina rumah sakit,
rumah maupun karantina wilayah. PSBB merupakan kebijakan pembatasan terbesar
yang disediakan UU No 6 Tahun 2018.
Dengan
PSBB, meski tidak disebut karantina, pemerintah daerah bisa melakukan
langkah-langkah tambahan, termasuk melakukan pembatasan pergerakan orang dalam
skala terbatas, tidak selalu dalam skala kabupaten/kota atau provinsi.
Pasal 13
Permenkes No 9 Tahun 2020 menyebutkan, di samping melakukan peliburan sekolah
dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan pembatasan kegiatan di
tempat atau fasilitas umum, PSBB juga membuka peluang melakukan pembatasan
kegiatan sosial dan budaya, pembatasan moda transportasi, serta pembatasan
kegiatan lainnya, khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.
Kedua,
dari sisi status hukum. Jika kebijakan sebelumnya merupakan kebijakan harian
biasa karena melihat situasi, setelah ada PP PSBB dan Permenkes turunannya,
status kebijakan dilegitimasi secara legal sebagai langkah kedaruratan. Tentu
hal ini harus dilakukan pemerintah daerah dengan mengikuti prosedur yang diatur
dalam PP untuk memastikan semua langkah kedaruratan yang dilakukan pemerintah
terkoordinasi oleh pemerintah pusat.
Hal ini
sangat penting karena jika pemerintah daerah dibiarkan melakukan tindakan
sendiri-sendiri akan sangat membahayakan keamanan nasional yang justru kontra
produktif dengan upaya penanganan Covid-19.
Kita
masih ingat, ketika Gubernur DKI Anies Baswedan mengambil langkah sendiri
dengan membatasi transportasi publik di Jakarta, yang terjadi justru kekacauan.
Pemerintah Indonesia belajar dari langkah-langkah yang diambil beberapa negara,
termasuk India yang menciptakan kekacauan justru ketika pemerintahnya mengambil
langkah penguncian wilayah.
Ketiga,
PSBB bukan hanya imbauan seperti selama ini sudah dilakukan. Di samping ada
penguatan regulasi, PSBB juga mengharuskan penguatan penegakannya, termasuk
melakukan tindakan hukum baik bagi individu maupun korporasi yang melanggar.
Hal ini dimungkinkan karena PSBB merupakan salah satu jenis pembatasan dan
kekarantinaan (bedakan dengan karantina) yang diperbolehkan UU.
Pasal 93
UU No 6 Tahun 2018 menyebutkan, setiap orang yang tidak mematuhi atau
menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan diancam pidana
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus
juta rupiah). Bahkan, jika ada orang yang melakukan korupsi dana yang digunakan
untuk penanganan Covid-19, hal itu bisa dijadikan pemberat hukuman.
Keempat,
pemerintah daerah yang melakukan PSBB mestinya juga diberi kewenangan untuk
melakukan karantina pada zona tertentu jika dipandang perlu. Di samping
karantina dan PSBB mempunyai kesamaan dalam hal pembatasan pergerakan
masyarakat, PSBB seharusnya merupakan langkah terbesar yang diberikan peraturan
perundang-undangan sehingga bisa mengatasi jenis-jenis pembatasan yang lain.
Saya
tahu, hal ini agak sulit dilakukan karena karantina belum diatur melalui PP
meskipun Pasal 60 UU No 6 Tahun 2018 mengamanatkan agar persoalan karantina
rumah, karantina rumah sakit, dan karantina wilayah diatur melalui PP. Lain
cerita jika PP tidak hanya mengatur soal PSBB, tapi juga karantina sehingga
penanganannya bisa terintegrasi karena –sebagaimana PSBB—karantina wilayah juga
membutuhkan izin dari pemerintah pusat cq Menkes (Pasal 49).
Banyak faktor
Terlepas
dari itu, pemerintah sudah mengambil pilihan melakukan PSBB. Berhasil tidaknya
PSBB ditentukan banyak faktor. Faktor paling penting adalah birokrasi.
Sebagaimana Presiden China Xi Jinping dalam sebuah pidatonya, menegaskan bahwa
musuh utama perang melawan Covid-19 adalah birokrasi dan formalitas.
Bukan
berarti birokrasi dan formalitas tak perlu, tapi hal ini jangan sampai
menghambat gerak untuk melawan Covid-19. Karena itulah, Presiden Jokowi
senantiasa mengingatkan untuk menyederhanakan birokrasi.
Hal lain
yang tak kalah penting adalah faktor kedisiplinan masyarakat. Masih ada
sebagian masyarakat yang menyepelekan Covid-19. Ada juga sebagian masyarakat
yang harus keluar rumah karena berbagai alasan, terutama alasan ekonomi.
Alasan-alasan tersebut seharusnya tidak ada lagi ketika pemerintah sudah
menggelontorkan berbagai kebijakan ekonomi bagi masyarakat yang terdampak
Covid-19.
Kita
semua harus berkorban untuk melawan Covid-19. Hal yang harus dipastikan adalah
kebijakan-kebijakan relaksasi ekonomi dan jaring pengaman sosial harus
benar-benar sampai dan dinikmati masyarakat miskin dan rentan miskin. Alasan
inilah yang bisa dijadikan landasan untuk melakukan penegakan hukum dan
tindakan bagi siapa pun yang melanggar PSBB. []
KOMPAS,
16 April 2020
Rumadi Ahmad | Tenaga Ahli Utama Kedeputian V
Kantor Staf Presiden
Tidak ada komentar:
Posting Komentar