Ini Hadits yang Pertama
Kali Dipelajari Kalangan Muhadditsin
Belajar hadits tidak bisa sembarangan. Selain
dibutuhkan tuntunan guru yang kredibel di bidang ini, kajian ini juga harus
berurutan sesuai tradisi yang dilakukan oleh para ahli hadits.
Belajar hadits juga tidak bisa dilakukan
dengan asal baca dan belajar dari terjemahnya. Selain bisa menimbulkan
kesalahpahaman dalam memahami hadits, praktik ini juga dapat berujung pada
diskriminasi kelompok yang dianggap tidak sesuai dengan isi hadits.
Salah satu upaya ulama dalam membuat semacam
tuntunan dan mentradisikan tuntunan tersebut adalah mengawali belajar dan
mengajari hadits dengan hadits yang biasa disebut Musalsal bil awwaliyah.
Dalam istilah ilmu hadits, musalsal adalah
hadits yang disampaikan para perawi secara berurutan dan sama dalam keadaan dan
situasi tertentu, baik secara perbuatan maupun perkataan.
هو
تتابع رجال إسناده على صفة أوحالة للرواة تارة، وللرواية تارة أخرى
Artinya, “Hadits Musalsal adalah hadits yang
disampaikan para perawi secara berurutan dan sama dalam sifat dan keadaan
tertentu, baik terkadang terdapat pada periwayatnya maupun dalam riwayat
haditsnya sendiri,” (Lihat Mahmud At-Thahhan, Taysīru Musṭalāḥil Ḥadīts,
[Riyadh, Maktabah Maʽārif: 2004 M], halaman 229).
Dalam definisi yang lebih mudah, Imam
Al-Bayquni dalam Nazam-nya menjelaskan:
مُسَلْسَلٌ
قُلْ ما عَلى وَصفٍ أتَى ... مثلُ: أما والله أنبَأني الفَتى
كذاكَ
قدْ حدَثَنيه قائما ... أو بعدَ أن حدَّثَنِي تَبَسَّمَا
Artinya, “Hadits Musalsal adalah hadits
yang diriwayatkan dengan menyertakan sifat (yang selalu sama) seperti perkataan
perawi ‘Ketahuilah, Demi Allah telah memberitahuku oleh seorang pemuda.’ Begitu
juga seperti ‘Si Fulan Telah bercerita kepadaku sambil berdiri’ atau ‘setelah
bercerita kepadaku, ia tersenyum.’”
Dari definisi ini menunjukkan bahwa secara
mudah musalsal adalah sifat atau ucapan yang selalu diucapkan seorang perawi
sebelum meriwayatkan sebuah hadits.
Adapun musalsal bil awwaliyah adalah
hadits yang selalu disisipkan oleh para ahli hadits sebelum mulai mengajar atau
belajar hadits. Hal itu ditradisikan hingga para murid-murid di bawahnya.
Hadits musalsal bil awwaliyah yang
terkenal adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi berikut.
الرَّاحِمُونَ
يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي
السَّمَاءِ
Artinya, “Orang-orang yang suka mengasihi
(sesamanya) akan dikasihi oleh Zat Yang Maha Pengasih. Maka kasihilah penghuni
bumi, maka kalian akan dikasihi para penghuni langit,” (Lihat Abu Isa
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan
tahun], juz III, halaman 217).
Hadits ini biasanya diucapkan oleh seorang
ahli hadits sebelum mengajar para muridnya. “Saya telah mendengar dari fulan
dan itu adalah hadits yang pertama kali didengar dari-nya (begitu seterusnya
hingga sanad terakhir, baru kemudian menyebutkan hadits di atas).” Setelah
hadits tersebut disebutkan, baru seorang guru mengajarkan hadits-hadits yang
lain.
Ini menunjukkan bahwa para ahli hadits
memiliki komitmen untuk menjaga perdamaian di dunia. Hadits yang pertama kali
diajarkan adalah hadits tentang kasih sayang, bukan hadits tentang akidah,
fikih, dan lain sebagainya.
Ini adalah modal utama bagi setiap orang yang
mengaku sebagi pembelajar hadits atau bahkan ahli hadits, yaitu mengasihi semua
makhluk yang ada di bumi, karena jaminannya jelas, dikasihi oleh Allah dan para
makhluk yang ada di langit.
Al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa yang
dimaksud ‘penghuni bumi’ dalam hadits musalsal bil awwaliyah tersebut
adalah semua makhluk Allah yang ada di bumi, baik orang yang baik maupun buruk
perangainya, hewan-hewan dan makhluk ciptaan Allah SWT yang lain.
أتي
بصيغة العموم ليشمل جميع أصناف الخلق فيرحم البر والفاجر والناطق والبهم والوحوش
والطير انتهى وفيه
إشارة
إلى أن إيراد من لتغليب ذوي العقول لشرفهم على غيرهم
Artinya, “(Kata ‘penghuni bumi’ dalam hadits)
disebutkan dengan sighat yang umum karena mencakup seluruh golongan makhluk.
Maka kasihilah orang baik, penjahat, manusia, hewan, binatang yang liar,
burung. Hal ini juga sebagai petunjuk bahwa keistimewaan manusia adalah ketika
memulyakan makhluk ciptaan Allah yang lain,” (Lihat Abdurrahmān Al-Mubarakfuri,
Tuḥfatul Aḥwādzī bi Syarḥi Jāmiʽit Tirmidzi, [Beirut, Darul Kutb: tanpa
catatan tahun], juz XII, halaman 51).
Al-Munawi juga menjelaskan pemahaman hadits
di atas dalam kitabnya Faidhul Qādir dengan mengutip qaul Al-Būni, bahwa
orang yang mengaku rindu dengan rahmat Allah harus terlebih dahulu mengasihi
para makhluk-Nya.
قال
العارف البوني : فإن كان لك شوق إلى رحمة من الله فكن رحيما لنفسك ولغيرك
ولا تستبد بخيرك فارحم الجاهل بعلمك والذليل بجاهك والفقير بمالك والكبير والصغير
بشفقتك ورأفتك والعصاة بدعوتك والبهائم بعطفك ورفع غضبك فأقرب الناس من رحمة الله
أرحمهم لخلقه
Artinya, “Al-ʽArif Al-Būni berpendapat bahwa
jika engkau mengaku rindu kepada rahmat Allah, maka kasihilah dirimu, orang
lain, jangan hanya terbatas pada kebaikan untuk dirimu sendiri. Kasihilah orang
yang bodoh dengan ilmumu, orang yang rendah dengan jabatanmu, orang yang fakir
dengan hartamu, orang besar maupun kecil dengan belas kasih dan santunmu, orang
yang bermaksiat dengan dakwahmu, hewan-hewan dengan belas kasih dan
menghilangkan kemarahan atas hewan-hewan itu. Adapun orang yang paling dekat
dengan rahmat Allah SWT adalah orang yang paling mengasihi
makhluk-makhluk-Nya,” (Lihat Abdurrauf Al-Munāwī, Faidhul Qadir Syarḥu
Jāmiʽis Ṣaghir, [Beirut, Daru Kutub Ilmiyah: 1994 M], juz XIV, halaman 105).
Wallahu a’lam. []
(Muhammad Alvin Nur Choironi, pegiat kajian
tafsir dan hadits, alumnus Pesantren Luhur Darus Sunnah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar