Selasa, 21 April 2020

Helmy Faishal Zaini: Cara Agama Melawan Wabah


Cara Agama Melawan Wabah
Oleh: A Helmy Faishal Zaini

Hari Kamis (9/4/2020), pengurus dan warga Nahdlatul Ulama sedunia menyelenggarakan acara bertajuk ”Doa Bersama dan Pertaubatan Global Bersatu Melawan Korona”. Acara ini dilangsungkan secara daring dan diikuti oleh ulama, kiai, serta semua warga NU di seluruh penjuru dunia.

Mengapa acara ini dilakukan? Saya akan mencoba menjelaskan alasan yang melatarbelakangi acara tersebut dengan pendekatan kaidah fikih yang sekaligus dielaborasi dengan pendekatan tasawuf. Dua pendekatan ini penting ditempuh dengan harapan akan tergambar secara komprehensif ”cara kerja agama” dalam memerangi virus korona.

Banyak beredar info bahwa sikap agama dalam konteks memerangi virus korona cenderung pasif. Cara terbaik melawan wabah menurut pandangan seperti ini adalah dengan menerima apa adanya sebagai sebuah takdir dan keniscayaan. Tidak perlu takut terhadap wabah, sebab hidup mati sudah digariskan oleh-Nya. Demikian alur berpikir pandangan ini.

Cara berpikir yang digambarkan di atas harus diakui masih mudah kita temukan di sebagian kalangan masyarakat kita. Mereka mendasarkan argumennya pada sebuah keyakinan bahwa yang patut untuk ditakuti adalah Allah SWT.  Selebihnya jika kita berhadapan dengan apa pun dan siapa pun saja, termasuk dengan virus yang tak kasatmata sekalipun, kita tidak boleh merawat rasa takut. Bagi pandangan ini, sikap yang demikian disebut dengan takwa.

Harus diakui bahwa agama adalah keyakinan. Namun, bukan berarti keyakinan dalam beragama mengeliminasi akal sehat dan logika. Logika beragama dalam konteks tertentu memiliki peran sangat penting. Akal yang waras tentu saja memiliki radar yang tajam untuk membedakan antara konsep takwa dalam arti berserah kepada Allah dan keberanian untuk sekadar mati konyol. Inilah yang barangkali oleh para sarjana Islam belakangan disebut dengan pseudo takwa atau ketakwaan yang fatamorgana dan seolah-olah.

Pseudo takwa

Agama sangat menghargai akal sehat. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ad-din huwa al-aqlu la dina liman la aqla lahu. Agama adalah akal, tidak beragamalah orang yang tidak mendayagunakan akalnya dengan baik. Maka, dalam konteks ini, penting untuk diketengahkan fenomena pseudo takwa kaitannya dengan wabah korona yang pada titik tertentu sangat berbahaya.

Islam mengenal apa yang disebut sebagai Maqashidus Syariah (prinsip-prinsip pensyariatan). Ia terdiri atas lima prinsip utama: menjaga jiwa (hifdzun nafs), menjaga agama dan akal (hifdzud din wal aql), menjaga keluarga (hifdzun nasl), menjaga harta (hifdzul mal), dan menjaga kehormatan (hifdzul irdh). Lima prinsip ini menjadi tulang punggung dan pilar kokoh yang harus ditegakkan dalam sebuah proses pensyariatan.

Prinsipnya, jika ada ajaran atau syariat yang pada tataran pelaksanaannya melanggar salah satu dari lima prinsip tersebut, bisa dipastikan ia tidak sesuai dengan spirit syariat dan agama.

Ulama memang berbeda pendapat ihwal urutan kelima prinsip tersebut. Perdebatannya ihwal manakah yang lebih didahulukan: menjaga jiwa ataukah menjaga agama. Namun, dalam konteks ini, saya mengikuti pendapat ulama yang mengatakan bahwa yang menempati posisi pertama adalah prinsip menjaga jiwa. Apa artinya beragama jika jiwa terancam dan tak terselamatkan?

Inilah pertanyaan kunci yang menjadi dasar mengapa prinsip keselamatan jiwa menjadi pilar nomor satu dalam beragama. Di dalam kaidah fikih, kita juga mengenal adagium dar’ul mafasid aula min jalbil mashalih yang berarti mencegah datangnya kerusakan jauh lebih diutamakan dibandingkan dengan upaya untuk mendatangkan kemaslahatan. Artinya, sikap preventif menjadi titik tekan dalam konsep beragama. Dalam bahasa yang lebih populer, mencegah lebih baik daripada mengobati.

Pada posisi ini, jelas sekali bahwa cara kerja agama sejalan dan juga menghargai akal sehat. Sebab, dalam konteks ini, Islam bukan semata agama syariat, melainkan juga agama kebudayaan, peradaban, dan juga ilmu. Sebagai agama ilmu, tentu saja spirit Islam sejalan dengan nalar ilmiah.

Imam Nawawi dalam kitab Majmu Syarhil Muhazzab menyatakan, ”para sarjana klasik memiliki konsensus bahwa menyibukkan diri dengan aktivitas belajar-mengajar jauh lebih utama dibandingkan dengan menyibukkan diri dengan melakukan serangkaian ibadah sunah seperti shalat sunah, puasa sunah, dan shalat tasbih. Sebab, sesungguhnya, ibadah sunah yang disebutkan belakangan hanya memiliki manfaat untuk yang mengerjakan semata. Sementara aktivitas belajar-mengajar serta mencari ilmu memiliki dampak dan manfaat yang lebih luas dari hanya sekadar bagi si penuntut ilmu”.

Pendapat Imam Nawawi di atas membuktikan bahwa agama, dalam konteks yang sedang kita bicarakan saat ini adalah Islam, mempunyai spirit serta keberpihakan yang jelas terhadap ilmu. Maka, sampai di titik ini tidak ada yang perlu dipertentangkan antara agama dan ilmu.

Jika ada pemeluk agama tetapi anti-sains, bisa dipastikan bahwa ada yang perlu ditinjau ulang dari cara beragamanya. Termasuk di dalamnya dalam konteks menghadapi wabah korona saat ini. Sikap anti-sains di satu sisi dan di sisi lain bersolek seolah menjadi pemeluk agama yang paling dekat dengan Sang Pencipta adalah dua ciri utama pseudo takwa.

Tenang, tetapi waspada

Bapak kedokteran Ibnu Sina dalam bukunya, Al-Qanun fit Thib, berkata, ”Kepanikan merupakan separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah titik tolak kesembuhan.” Komentar Ibnu Sina ini menjadi relevan untuk kita renungkan bersama.

Di tengah pandemi yang melanda dunia, kita harus memiliki tiga kata kunci, yang dalam konteks ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tasawuf. Kata kunci pertama adalah hindari kepanikan. Kepanikan akan membuat semuanya terlihat tidak jelas. Orang yang panik tidak pernah bisa berpikir dengan jernih.

Kata kunci kedua adalah ketenangan. Kita harus tetap tenang agar bisa berpikir jernih, mendalam, tidak bias dalam melihat persoalan, tanpa mengabaikan kecepatan. Jika kita bisa mengendalikan diri, tetap tenang, kita akan jernih dalam melihat persoalan dan jernih merumuskan jalan keluarnya.

Kata kunci ketiga adalah kesabaran. Pandemi ini harus kita hadapi dengan penuh kesabaran. Semua elemen harus bersatu, saling menjaga dan saling menguatkan. Semua elemen harus bekerja bersama. Bagi yang tidak memiliki kapasitas dan keilmuan sebaiknya segera berhenti dan menahan diri untuk tidak mengeluarkan komentar yang justru sangat mungkin bisa menimbulkan kegaduhan.

Mengetuk pintu langit

Dari perspektif agama, ada dua tugas utama kita. Pertama, mengikuti seluruh kebijakan, protokol, dan juga imbauan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Ini penting dilakukan sebagai ikhtiar lahiriah untuk memutus mata rantai persebaran wabah korona. Anjuran untuk tetap tinggal di rumah harus kita taati.

Berdiam di rumah adalah satu bentuk jihad konkret hari ini. Sebab, sangat mungkin kita sudah masuk pada zaman yang pernah diungkapkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib: ”akan datang sebuah zaman ketika manusia ingin keselamatan, maka ia membutuhkan sepuluh hal dan sembilan bagian dari sepuluh tersebut adalah menghindari manusia dan berdiam diri”.

Selain ikhtiar lahir, sebagai kaum beragama, kita juga harus melakukan upaya batin. Kita melangitkan doa, memunajatkan ampunan, serta mengetuk pintu langit agar Allah berkenan memberikan pertolongan-Nya kepada kita untuk menghadapi wabah korona ini. Mudah-mudahan kita semua diberi keselamatan. Amin. []

KOMPAS, 14 April 2020
A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar