Cara
Agama Melawan Wabah
Oleh: A
Helmy Faishal Zaini
Hari
Kamis (9/4/2020), pengurus dan warga Nahdlatul Ulama sedunia menyelenggarakan
acara bertajuk ”Doa Bersama dan Pertaubatan Global Bersatu Melawan Korona”.
Acara ini dilangsungkan secara daring dan diikuti oleh ulama, kiai, serta semua
warga NU di seluruh penjuru dunia.
Mengapa
acara ini dilakukan? Saya akan mencoba menjelaskan alasan yang melatarbelakangi
acara tersebut dengan pendekatan kaidah fikih yang sekaligus dielaborasi dengan
pendekatan tasawuf. Dua pendekatan ini penting ditempuh dengan harapan akan
tergambar secara komprehensif ”cara kerja agama” dalam memerangi virus korona.
Banyak
beredar info bahwa sikap agama dalam konteks memerangi virus korona cenderung
pasif. Cara terbaik melawan wabah menurut pandangan seperti ini adalah dengan
menerima apa adanya sebagai sebuah takdir dan keniscayaan. Tidak perlu takut
terhadap wabah, sebab hidup mati sudah digariskan oleh-Nya. Demikian alur
berpikir pandangan ini.
Cara
berpikir yang digambarkan di atas harus diakui masih mudah kita temukan di
sebagian kalangan masyarakat kita. Mereka mendasarkan argumennya pada sebuah
keyakinan bahwa yang patut untuk ditakuti adalah Allah SWT. Selebihnya
jika kita berhadapan dengan apa pun dan siapa pun saja, termasuk dengan virus
yang tak kasatmata sekalipun, kita tidak boleh merawat rasa takut. Bagi
pandangan ini, sikap yang demikian disebut dengan takwa.
Harus
diakui bahwa agama adalah keyakinan. Namun, bukan berarti keyakinan dalam
beragama mengeliminasi akal sehat dan logika. Logika beragama dalam konteks
tertentu memiliki peran sangat penting. Akal yang waras tentu saja memiliki
radar yang tajam untuk membedakan antara konsep takwa dalam arti berserah
kepada Allah dan keberanian untuk sekadar mati konyol. Inilah yang barangkali
oleh para sarjana Islam belakangan disebut dengan pseudo takwa atau ketakwaan
yang fatamorgana dan seolah-olah.
Pseudo takwa
Agama
sangat menghargai akal sehat. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ad-din huwa
al-aqlu la dina liman la aqla lahu. Agama adalah akal, tidak beragamalah orang
yang tidak mendayagunakan akalnya dengan baik. Maka, dalam konteks ini, penting
untuk diketengahkan fenomena pseudo takwa kaitannya dengan wabah korona yang
pada titik tertentu sangat berbahaya.
Islam
mengenal apa yang disebut sebagai Maqashidus Syariah (prinsip-prinsip
pensyariatan). Ia terdiri atas lima prinsip utama: menjaga jiwa (hifdzun nafs),
menjaga agama dan akal (hifdzud din wal aql), menjaga keluarga (hifdzun nasl),
menjaga harta (hifdzul mal), dan menjaga kehormatan (hifdzul irdh). Lima
prinsip ini menjadi tulang punggung dan pilar kokoh yang harus ditegakkan dalam
sebuah proses pensyariatan.
Prinsipnya,
jika ada ajaran atau syariat yang pada tataran pelaksanaannya melanggar salah
satu dari lima prinsip tersebut, bisa dipastikan ia tidak sesuai dengan spirit
syariat dan agama.
Ulama
memang berbeda pendapat ihwal urutan kelima prinsip tersebut. Perdebatannya
ihwal manakah yang lebih didahulukan: menjaga jiwa ataukah menjaga agama.
Namun, dalam konteks ini, saya mengikuti pendapat ulama yang mengatakan bahwa
yang menempati posisi pertama adalah prinsip menjaga jiwa. Apa artinya beragama
jika jiwa terancam dan tak terselamatkan?
Inilah
pertanyaan kunci yang menjadi dasar mengapa prinsip keselamatan jiwa menjadi
pilar nomor satu dalam beragama. Di dalam kaidah fikih, kita juga mengenal
adagium dar’ul mafasid aula min jalbil mashalih yang berarti mencegah datangnya
kerusakan jauh lebih diutamakan dibandingkan dengan upaya untuk mendatangkan
kemaslahatan. Artinya, sikap preventif menjadi titik tekan dalam konsep
beragama. Dalam bahasa yang lebih populer, mencegah lebih baik daripada
mengobati.
Pada
posisi ini, jelas sekali bahwa cara kerja agama sejalan dan juga menghargai
akal sehat. Sebab, dalam konteks ini, Islam bukan semata agama syariat,
melainkan juga agama kebudayaan, peradaban, dan juga ilmu. Sebagai agama ilmu,
tentu saja spirit Islam sejalan dengan nalar ilmiah.
Imam
Nawawi dalam kitab Majmu Syarhil Muhazzab menyatakan, ”para sarjana klasik
memiliki konsensus bahwa menyibukkan diri dengan aktivitas belajar-mengajar
jauh lebih utama dibandingkan dengan menyibukkan diri dengan melakukan
serangkaian ibadah sunah seperti shalat sunah, puasa sunah, dan shalat tasbih.
Sebab, sesungguhnya, ibadah sunah yang disebutkan belakangan hanya memiliki
manfaat untuk yang mengerjakan semata. Sementara aktivitas belajar-mengajar
serta mencari ilmu memiliki dampak dan manfaat yang lebih luas dari hanya
sekadar bagi si penuntut ilmu”.
Pendapat
Imam Nawawi di atas membuktikan bahwa agama, dalam konteks yang sedang kita
bicarakan saat ini adalah Islam, mempunyai spirit serta keberpihakan yang jelas
terhadap ilmu. Maka, sampai di titik ini tidak ada yang perlu dipertentangkan
antara agama dan ilmu.
Jika ada
pemeluk agama tetapi anti-sains, bisa dipastikan bahwa ada yang perlu ditinjau
ulang dari cara beragamanya. Termasuk di dalamnya dalam konteks menghadapi
wabah korona saat ini. Sikap anti-sains di satu sisi dan di sisi lain bersolek
seolah menjadi pemeluk agama yang paling dekat dengan Sang Pencipta adalah dua
ciri utama pseudo takwa.
Tenang, tetapi waspada
Bapak
kedokteran Ibnu Sina dalam bukunya, Al-Qanun fit Thib, berkata, ”Kepanikan
merupakan separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran
adalah titik tolak kesembuhan.” Komentar Ibnu Sina ini menjadi relevan untuk
kita renungkan bersama.
Di tengah
pandemi yang melanda dunia, kita harus memiliki tiga kata kunci, yang dalam
konteks ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tasawuf. Kata kunci
pertama adalah hindari kepanikan. Kepanikan akan membuat semuanya terlihat
tidak jelas. Orang yang panik tidak pernah bisa berpikir dengan jernih.
Kata
kunci kedua adalah ketenangan. Kita harus tetap tenang agar bisa berpikir
jernih, mendalam, tidak bias dalam melihat persoalan, tanpa mengabaikan
kecepatan. Jika kita bisa mengendalikan diri, tetap tenang, kita akan jernih
dalam melihat persoalan dan jernih merumuskan jalan keluarnya.
Kata
kunci ketiga adalah kesabaran. Pandemi ini harus kita hadapi dengan penuh
kesabaran. Semua elemen harus bersatu, saling menjaga dan saling menguatkan.
Semua elemen harus bekerja bersama. Bagi yang tidak memiliki kapasitas dan
keilmuan sebaiknya segera berhenti dan menahan diri untuk tidak mengeluarkan
komentar yang justru sangat mungkin bisa menimbulkan kegaduhan.
Mengetuk pintu langit
Dari
perspektif agama, ada dua tugas utama kita. Pertama, mengikuti seluruh
kebijakan, protokol, dan juga imbauan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Ini penting dilakukan sebagai ikhtiar lahiriah untuk memutus mata rantai
persebaran wabah korona. Anjuran untuk tetap tinggal di rumah harus kita taati.
Berdiam
di rumah adalah satu bentuk jihad konkret hari ini. Sebab, sangat mungkin kita
sudah masuk pada zaman yang pernah diungkapkan oleh Sayyidina Ali bin Abi
Thalib: ”akan datang sebuah zaman ketika manusia ingin keselamatan, maka ia
membutuhkan sepuluh hal dan sembilan bagian dari sepuluh tersebut adalah
menghindari manusia dan berdiam diri”.
Selain
ikhtiar lahir, sebagai kaum beragama, kita juga harus melakukan upaya batin.
Kita melangitkan doa, memunajatkan ampunan, serta mengetuk pintu langit agar
Allah berkenan memberikan pertolongan-Nya kepada kita untuk menghadapi wabah
korona ini. Mudah-mudahan kita semua diberi keselamatan. Amin. []
KOMPAS,
14 April 2020
A Helmy
Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar