Bolehkah Membayar Fidyah
Puasa dengan Uang?
Orang yang tidak mampu berpuasa secara permanen, seperti orang tua renta, orang sakit parah yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya dan lain-lain, mendapat keringanan meninggalkan puasa Ramadhan—ia pun tidak diharuskan mengqadha di waktu lain. Sebagai gantinya, mereka diwajibkan membayar fidyah/kafarat (denda).
Menurut mazhab Syafi’i, fidyah yang wajib
dikeluarkan adalah satu mud (675 gram/6,75 ons) per hari puasa yang
ditinggalkan, berupa makanan pokok daerah setempat, dalam konteks Indonesia
adalah beras. Bila satu bulan penuh berarti 30 mud (20.250 gram atau 20,25
kilogram) beras. Fidyah tersebut diberikan kepada fakir miskin.
Di era milenial ini, banyak orang memilih
membayar fidyah dalam bentuk uang. Alasannya beragam, misalnya pertimbangan
kepraktisan, lebih dibutuhkan fakir miskin, dan lain-lain. Menurut fiqih,
bagaimana hukum membayar fidyah dalam bentuk uang?
Menurut tiga mazhab—Maliki, Syafi’i dan
Hanbali—tidak diperbolehkan menunaikan fidyah dalam bentuk uang. Fidyah menurut
pendapat mayoritas ini harus ditunaikan dalam bentuk makanan pokok daerah
setempat. Pendapat ini berlandaskan pada nash-nash syariat yang secara tegas
memang memerintahkan untuk memberi makan fakir miskin, bukan memberi uang.
Syekh Wahbah al-Zuhaili menegaskan:
ولا
تجزئ القيمة عندهم (أي الجمهور) في الكفارة، عملاً بالنصوص الآمرة بالإطعام
“(Mengeluarkan) nominal (makanan) tidak
mencukupi menurut mayoritas ulama di dalam kafarat, sebab mengamalkan nash-nash
yang memerintahkan pemberian makanan.” (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, juz 9, hal. 7156).
Di dalam referensi lain, diterangkan:
ولا
يجوز إخراج القيمة عند الجمهور غير الحنفية عملا بقوله تعالى فكفارته إطعام عشرة
مساكين وقوله سبحانه فإطعام ستين مسكينا.
“Tidak boleh mengeluarkan nominal (makanan)
menurut mayoritas ulama selain Hanafiyyah, sebab mengamalkan firman Allah; maka
kafaratnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin; dan firman Allah; maka
wajib memberi makan enam puluh orang miskin.” (Jamaah Ulama Kuwait, al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah, juz 35, hal. 102).
Pandangan berbeda diutarakan oleh ulama
mazhab Hanafi. Menurut mereka, fidyah boleh dibayarkan dalam bentuk uang. Ulama
Hanafiyyah cenderung lebih longgar memahami teks-teks dalil agama yang
mewajibkan pemberian makan kepada fakir miskin. Menurutnya, maksud pemberian
makanan untuk fakir miskin adalah memenuhi kebutuhan mereka, dan tujuan
tersebut bisa tercapai dengan membayar qimah (nilai nominal harta) yang
sebanding dengan makanan.
Syekh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan:
ويجوز
عندهم دفع القيمة في الزكاة، والعُشْر، والخَراج، والفِطْرة، والنَّذْر، والكفارة
غير الإعتاق. وتعتبر القيمة يوم الوجوب عند الإمام أبي حنيفة، وقال الصاحبان يوم
الأداء. ...إلى أن قال... وسبب جواز دفع القيمة: أن المقصود سد الخلَّة ودفع الحاجة، ويوجد ذلك في القيمة.
“Boleh menurut Hanafiyyah memberikan qimah di
dalam zakat, harta sepersepuluh, pajak, nazar, kafarat selain memerdekakan.
Nominal harta dianggap saat hari wajib menurut Imam Abu Hanifah, dan berkata
dua murid Imam Abu Hanifah, dipertimbangkan saat pelaksanaan. Sebab
diperbolehkan menyerahkan qimah bahwa yang dituju adalah memenuhi kebutuhan dan
hal tersebut bisa tercapai dengan qimah.” (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, juz 9, hal. 7156).
Yang perlu diperhatikan adalah konsep makanan
pokok versi Hanafiyyah yang tidak sama dengan mazhab lain, baik dari segi
jenisnya ataupun kadarnya. Karena itu nilai nominalnya (qimah) pun menjadi
berbeda dari mazhab-mazhab lain.
Menurut perspektif Hanafiyyah, makanan yang
menjadi standar adalah terbatas pada jenis-jenis makanan yang dinash dalam
hadits Nabi, yaitu kurma, al-burr (gandum), anggur dan al-sya’ir (jewawut).
Hanafiyyah tidak memakai standar makanan pokok sesuai daerah masing-masing.
Adapun kadarnya adalah satu sha’ untuk jenis
kurma, jewawut, dan anggur (menurut sebagian pendapat, kadarnya anggur adalah
setengah sha’). Sedangkan untuk gandum adalah setengah sha’. Ukuran satu sha’
menurut Hanafiyyah adalah 3,25 kilogram (hitungan versi Syekh Muhammad Hasan
Muhammad Hasan Isma’il, editor kitab Mukhtashar al-Fatawa al-Mahdiyyah cetakan
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah-Beirut), berarti setengah sha’ adalah 1,625 kg.
Dengan demikian, cara menunaikan fidyah
dengan uang versi Hanafiyyah adalah nominal uang yang sebanding dengan harga
kurma, anggur, atau jewawut, seberat 3,25 kilogram (untuk per hari puasa yang
ditinggalkan, selebihnya mengikuti kelipatan puasanya). Bisa juga memakai
nominal gandum seberat 1,625 kg (untuk per hari puasa yang ditinggalkan, selebihnya
mengikuti kelipatan puasanya).
Penjelasan mazhab Hanafi di antaranya
disampaikan dalam referensi berikut ini:
"ويجوز
الفطر لشيخ فان وعجوز فانية" سمي فانيا لأنه قرب إلى الفناء أو فنية قوته
وعجز عن الأداء "وتلزمهما الفدية" وكذا من عجز عن نذر الأبد لا لغيرهم
من ذوي الأعذار "لكل يوم نصف صاع من بر" أو قيمته بشرط دوام عجز الفاني
والفانية إلى الموت
“Boleh berbuka puasa bagi laki-laki dan
perempuan tua yang sirna. Disebut sirna karena hampir meninggal atau telah
sirna kekuatannya. Dan Ia yang lemah dari melaksanakan puasa, serta wajib
keduanya membayar fidyah. Demikian pula bagi orang yang lemah dari nazar
berpuasa seumur hidup, bukan untuk selain mereka dari orang-orang yang memiliki
uzur. Setiap hari adalah separuh sha’ dari gandum atau nominalnya dengan syarat
permanennya ketidakmampuan laki-laki dan perempuan tua hingga meninggal dunia.”
قوله:
"لكل يوم نصف صاع" لو قال وتلزمهما الفدية كالفطرة لكان أخصر وأشمل
قوله: "بشرط دوام عجز الفاني والفانية" فمن قدرا قضيا
“Ucapan Syekh Hasan, Setiap hari adalah separuh
sha’, andai beliau mengatakan; dan wajib bagi keduanya membayar fidyah seperti
zakat fitrah, maka lebih ringkas dan mencakup. Ucapan Syekh Hasan, dengan
syarat permanennya ketidakmampuan laki-laki dan perempuan sirna, barang siapa
dari kedunya mampu berpuasa, maka wajib mengqadha’.” (Syekh Ahmad bin Muhammad
al-Thahthawi al-Hanafi, Hasyiyah ‘ala Maraqil Falah, hal. 688).
Referensi di atas menjelaskan bahwa konsep
fidyah sama dengan zakat fitrah, dari segi ukuran, standar makanan yang
dikeluarkan dan kebolehan mengeluarkan qimah.
Dalam kitab yang sama di dalam bab zakat
fitrah, dijelaskan sebagai berikut:
وهي
نصف صاع من بر أو دقيقه أو صاع تمر أو زبيب أو شعير وهو ثمانية أرطال بالعراقي
ويجوز دفع القيمة وهي أفضل عند وجدان ما يحتاجه لأنها أسرع لقضاء حاجة الفقير وإن
كان زمن شدة فالحنطة والشعير وما يؤكل أفضل من الدراهم
“Zakat fitrah adalah separuh sha’ dari
al-Burr atau tepungnya atau satu sha’ kurma, anggur atau al-Sya’ir, yaitu
delapan Rithl Irak. Boleh menyerahkan nominal dan lebih utama ketika tidak ditemukan
makanan yang dibutuhkan, sebab lebih cepat memenuhi kebutuhan fakir, bila di
musim paceklik, maka lebih utama gandum Hinthah dan Sya’ir. Apa yang dimakan
lebih utama dari pada dirham-dirham.”
قوله:
"ويجوز دفع القيمة" قال في التنوير وجاز دفع القيمة في زكاة وعشر وخراج
وفطرة ونذر وكفارة غير الاعتاق اهـ
“Ucapan Syekh Hasan, boleh menyerahkan
nominal, berkata di kitab al-Tanwir, boleh menyerahkan nominal di dalam zakat,
harta sepersepuluh, pajak, zakat fitrah, nadzar dan kafarat selain
memerdekakan.” (Syekh Ahmad bin Muhammad al-Thahthawi al-Hanafi, Hasyiyah ‘ala
Maraqil Falah, hal. 724).
Perbedaan pendapat mengenai kadar berat
anggur dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Ali al-Hanafi sebagai berikut:
ـ
(نصف صاع) فاعل يجب (من بر أو دقيقه أو سويقه أو زبيب) وجعلاه كالتمر، وهو رواية
عن الإمام وصححه البهنسي وغيره. وفي الحقائق والشرنبلالية عن البرهان: وبه يفتى
(أو صاع تمر أو شعير) ولو رديئا وما لم ينص عليه كذرة وخبز يعتبر فيه القيمة
“Wajib separuh sha’ dari gandum, tepungnya,
sagonnya atau anggur. Dua santri Imam Abu Hanifah menjadikan anggur seperti
kurma (kadarnya satu sha’), ini adalah sebagian riwayat dari Imam Abu Hanifah,
disahihkan oleh al-Bahnasi dan lainnya. Di dalam kitab al-Haqaiq dan
al-Syaranbalaliyyah dari al-Burhan disebutkan, pendapat itu yang difatwakan.
Atau (wajib) satu sha’ kurma atau jewawut, meski berkualitas rendah. Adapun
yang tidak dinash seperti jagung dan roti, dipertimbangkan di dalamnya nominal
(makanan yang dinash).” (Syekh Muhammad bin Ali al-Hanafi, al-Dur al-Mukhtar,
juz 2, hal. 364).
Demikianlah penjelasan mengenai penunaian fidyah
dengan uang. Yang paling inti adalah, saat mengamalkan pendapat yang
membolehkan, harus juga diikuti secara utuh konsep-konsepnya, agar tidak
terjadi campur aduk pendapat yang dilarang. []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina
Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar