Covid-19: Jangan Putus
Harapan di Tengah Cobaan
Pandemi Covid-19 atau virus Corona tidak dipungkiri telah menjadi momok yang menakutkan dan permasalahan hidup yang melemahkan di kalangan masyarakat Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Bukan hanya tentang kekhawatiran soal penularannya, namun juga soal efek ekonomi sosial yang mengancam segala sendi kehidupan.
Tak terkecuali, umat Islam—terlebih yang
notabene mayoritas di Indonesia—pun mengalami dampak-dampak serupa. Siapa pun
yang berusaha dan bergerak di bidang apa pun tanpa kecuali merasakan imbas dari
wabah ini. Tidak dipungkiri, bahwa masa pandemi ini membuat melemahnya mental
umat dalam menjalani kehidupan.
Namun demikian, bila kita mau membaca
Al-Qur’an dan mempelajari lebih jauh, sebagai seorang mukmin yang beriman
kepada Allah tidak semestinya terlalu larut dalam kekhawatiran dan ketakutan
itu. Adalah wajar dan manusiawi bila setiap orang memiliki rasa takut, cemas,
dan khawatir terhadap kehidupan yang berjalan tidak sebagaimana mestinya. Namun
bagi seorang mukmin semua itu dirasa menjadi berlebihan bila sampai menjadikan
putus asa dan kehilangan harapan.
Untuk itu, setidaknya kita bisa membaca dan
belajar dari firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 104:
وَلَا
تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ
يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللهِ مَا لَا يَرْجُونَ وَكَانَ
اللهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya: “Janganlah kalian merasa lemah dalam
mengejar kaum kafir. Bila kalian merasa kesakitan maka mereka pun merasa
kesakitan juga sebagaimana kalian merasa kesakitan, sedangkan kalian dapat
berharap dari Allah apa-apa yang tidak dapat mereka harapkan. Dan adalah Allah
Dzat yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”
Dalam berbagai kitab tafsir— salah satunya
kitab Al-Munȋr li Ma’ȃlimit Tanzȋl karya Syekh Nawawi Banten (2007, I:
188)—para ulama menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan satu
peristiwa ketika Rasulullah mengirim sekelompok sahabat untuk mencari dan
memerangi Abu Sufyan dan teman-temannya, mereka mengeluhkan perihal luka-luka
yang mereka alami ketika pulang dari perang Uhud.
Dengan ayat tersebut seakan Allah
mengingatkan kepada para sahabat nabi agar jangan patah semangat dalam
memerangi kaum musyrikin, hanya karena mereka mengalami luka-luka pada saat
perang Uhud. Sebab apa yang mereka alami itu juga dialami oleh kaum musyrikin
namun mereka tidak kehilangan semangat dalam memerangi kaum Muslim.
Karenanya Syekh Nawawi memberikan penafsiran
ayat tersebut dengan mengatakan, sudah semestinya kalian—orang-orang
mukmin—lebih bersemangat dan lebih bersabar dalam berperang daripada kaum
musyrikin.”
Sementara lebih gamblang lagi Imam Fakhrudin
Ar-Razi dalam Mafȃtihul Ghaib (2012, VI: 33) menafsirkan, rasa sakit itu
sama-sama dirasakan oleh kalian kaum mukmin dan oleh mereka kaum musyrik. Maka
bila takut akan rasa sakit itu tidak menghalangi mereka untuk memerangi kalian,
bagaimana bisa rasa takut itu menghalangi kalian dalam memerangi mereka?
Orang-orang mukmin itu mengakui dan mempercayai adanya balasan pahala, siksaan,
kebangkitan dan pengumpulan besok di hari kiamat, sedang kaum musyrik tidak
mengakui itu semua. Bila mereka yang tidak mengakui itu semua saja begitu
bersemangat dalam memerangi kalian, maka kalian sebagai orang mukmin—yang
mengakui adanya pahala yang besar dalam berjihad dan adanya siksa bila
meninggalkannya—semestinya lebih bersemangat dalam melaksanakan jihad ini.
Senada dengan kedua mufassir di atas Imam
Qurthubi dalam al-Jȃmi’ li Ahkȃmil Qur’ȃn (2010, III: 326) juga menyatakan,
“Bila kalian merasa sakit dengan luka yang kalian alami maka mereka kaum
musyrikin pun merasakan hal yang sama dengan luka yang menimpa mereka. Hanya
saja kalian orang-orang mukmin memiliki keuntungan, yakni kalian memiliki
harapan mendapat pahala dari Allah, sedangkan mereka tidak memiliki harapan
tersebut. Orang yang tidak beriman kepada Allah tidak berharap apa pun
dari-Nya.”
Dari ayat di atas berikut dengan
penafsiran-penafsirannya itu kiranya kita bisa bercermin dalam menghadapi wabah
Corona yang saat ini sedang melanda dan melemahkan berbagai sendi kehidupan.
Yang mesti pertama kali kita sadari adalah
bahwa wabah Corona beserta berbagai dampaknya ini tidak hanya melanda satu
golongan, daerah atau sekelompok orang saja, tapi merata kepada semua orang
yang berada di muka bumi ini. Mereka yang dinyatakan positif adalah mereka yang
terdampak secara langsung; mengalami sakit yang konon luar biasa dan bahkan
sampai mengakibatkan kematian. Sedang mereka yang tidak terpapar virus ini,
meskipun tetap dalam keadaan sehat, namun secara tidak langsung juga ikut terdampak
dengan melemahnya berbagai sendi kehidupan, mulai dari sisi ekonomi,
pendidikan, bahkan sampai dalam hal beragama. Atau setidaknya setiap orang
merasakan kekhawatiran akan terkena virus mematikan ini.
Membaca ayat di atas, bagi seorang mukmin
semestinya semua ini tidak menjadikannya hilang harapan dan berputus-asa. Ia
mesti menyadari, bahwa apa yang kini terjadi dan menimpa dirinya dan semua umat
manusia di belahan dunia mana pun adalah di bawah kendali dan kekuasaan Allah,
Tuhan yang diyakini dan disembahnya. Bila Allah berkehendak maka wabah ini akan
segera berakhir, dan bila sebaliknya maka berlaku pula sebaliknya.
Dengan pemahaman demikian seorang mukmin
menyadari bahwa apa pun yang diperbuat oleh Allah kepada hamba-Nya, meski
dirasa tidak mengenakkan dan menyenangkan, selalu ada kebaikan di dalamnya bagi
sang hamba. Karena apa pun yang dilakukan oleh Allah pasti baik dan tak
sia-sia. Hal ini juga disampaikan oleh Syekh Nawawi dalam menjelaskan ayat di
atas, bahwa Allah sedikit pun tidak memberi beban kepada kalian kecuali dengan
apa yang Dia tahu bahwa hal itu menjadi sebab bagi kebaikan agama dan dunia
kalian (Syekh Nawawi, 2007).
Seorang mukmin juga memahami bahwa dalam
setiap cobaan, ujian dan musibah yang Allah berikan kepada hamba-Nya selalu ada
pahala kebaikan dunia dan akhirat, bila semua itu dihadapi dengan penuh
kesabaran dan mengharap ridha-Nya. Seorang mukmin yang sakit—termasuk terpapar
Corona—bila ia sembuh, maka sakitnya adalah cara Allah membasuh dan
membersihkannya dari dosa. Selepas sakitnya itu ia menjadi manusia yang kembali
bersih dari berbagai dosa yang selama ini ia perbuat, minimal menguranginya.
Dan bila ia meninggal karena sakitnya, maka lantaran sakitnya itu Allah
berkenan mengampuni dosa-dosanya, sehingga ia kembali berpulang kepada-Nya
dalam keadaan bersih, tidak kotor yang memalukan.
Demikian pula dengan seorang mukmin yang
tidak terpapar Corona, namun terimbas dalam berbagai aspek kehidupannya. Bila
ia sabar menghadapinya, maka pahala balasan kebaikan Allah akan diperolehnya
baik di dunia maupun akhirat. Bisa jadi, selepas wabah ini—berkah kesabarannya
itu—Allah memberinya kehidupan yang lebih layak, lebih maslahat dan lebih
berkah dari kehidupan sebelumnya.
Di sisi lain, seorang mukmin yang terbiasa
melakukan amal ketaatan tertentu, karena wabah ini maka tak lagi dapat
melakukan kebiasaannya itu secara sempurna, atau bahkan sama sekali tak bisa
melakukannya. Tak perlu berputus asa. Tetaplah husnu dhan, berpaik sangka
kepada Allah sembari mengharap anugerahnya. Bahwa ini semua adalah cara Allah
memberinya sedekah. Tanpa melakukan amal ketaatan sebagaimana biasanya, ia
tetap mendapatkan pahala yang sama ketika ia melakukannya. Begitu Rasulullah
mengajarkan.
Alhasil, wabah dengan segenap efek
kehidupannya ini tak hanya menimpa diri kita. Semua orang merasakannya. Bila di
luaran sana ada orang yang tetap bersemangat menghadapi realita kehidupan yang
ada, mengapa kita tidak? Bila di sana ada orang yang tetap memiliki harapan
untuk kehidupan yang lebih baik setelah melewati masa-masa sulit ini, mengapa
kita tidak? Selagi Tuhan kita masih Allah, tak ada yang mesti disesalkan, tak
perlu berputus asa. Terus membangun harapan. Tuhan kita bukan tuhan yang mati,
yang tak melihat dan mendengar, yang tak punya kendali dan solusi.
Imam Ar-Razi mengajarkan; “Kalian itu
menyembah Tuhan yang Mahatahu, Maha Berkuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat,
maka sepatutnya kalian berharap pahala dari-Nya. Berbeda dari kaum musyrik yang
menyembah berhala yang notabene benda-benda mati tak bergerak, maka tidak
semestinya bila mereka berharap pahala dari berhala-berhala itu dan takut akan
siksa dari mereka. Wallahu a’lam. []
Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok
Pesantren AL-Muayyad Surakarta, kini aktif di kepengurusan PCNU Kota Tegal dan
sebagai penghulu di lingkungan Kementerian Agama Kota Tegal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar