Politik Tuna-empati
Oleh: Azyumardi Azra
Perjuangan menghadapi virus korona baru penyebab Covid-19 bakal
berlangsung panjang, khususnya di Tanah Air. Ini dapat dilihat dari skenario
beberapa ahli tentang tingkat dan durasi pandemi Covid-19 di Indonesia.
Dalam skenario moderat, jumlah warga positif Covid-19 sekitar
60.000 orang jika kebijakan komprehensif pembatasan jarak fisik dan sosial
disertai penegakan hukum tegas. Kasus positif Covid-19 bisa lebih sedikit jika
karantina wilayah diberlakukan, bukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Skenario terburuk terjadi jika tiada kebijakan tegas dan ketat
dalam menjaga jarak fisik dan sosial; atau PSBB tak mampu menertibkan warga
yang tidak disiplin, yang tetap berpindah dari wilayah merah ke tempat lain.
Jika ini terjadi, diperkirakan jumlah kasus positif korona bisa lebih dari 2
juta orang.
Dalam berbagai skenario, grafik pandemi diperkirakan mulai
melandai akhir Mei atau awal Juni. Namun, ini tidak berarti berakhirnya
pandemi. Bukan tidak mungkin datang gelombang baru mutasi Covid-19.
Terlepas dari skenario itu, korban berjatuhan kian banyak. Korban
ini bukan hanya mereka yang meninggal akibat Covid-19, melainkan juga mereka
yang terkapar secara ekonomi akibat dampak wabah korona. Makin banyak warga
kehilangan pendapatan akibat kebijakan pembatasan jarak sosial dan fisik.
Jumlah itu kian banyak saat PSBB diberlakukan di Provinsi DKI Jakarta, Jumat
(10/4/2020), kemudian diikuti daerah lain. Jumlah warga terdampak
ekonomi-sosial Covid-19 sampai pekan lalu diperkirakan 5,28 juta orang; menjadi
tambahan 7,05 juta penganggur yang sudah ada sebelumnya.
Banyak warga yang ”terkapar” bekerja di sektor formal, pertanian,
perkebunan, industri, jasa, dan digital. Mereka sebagian masih menerima gaji
bulanan. Namun, sebagian sudah tak bergaji atau mungkin hanya menerima gaji
sampai dua atau tiga bulan ke depan, seperti dimaklumkan pengurus Asosiasi
Pengusaha Indonesia.
Lebih banyak lagi warga yang bekerja di sektor informal, seperti
tukang ojek, sopir taksi, pedagang kaki lima, buruh tani, dan tukang parkir.
Mereka hidup dari pendapatan harian yang hilang atau amat merosot saat
pemerintah menerapkan aneka kebijakan guna menghadapi Covid-19.
Puluhan juta warga terkapar dan penganggur perlu empati dalam
bentuk bantuan keuangan serta kebutuhan pokok. Mereka juga memerlukan sikap dan
perilaku empati politik dari pejabat publik di eksekutif, legislatif, dan
yudikatif.
Tak terlalu jelas apakah bantuan sosial berjumlah terbatas yang disalurkan
pemerintah muncul karena dorongan empati politik. Boleh jadi, hal itu terwujud
lebih karena tugas yang harus dilaksanakan kementerian/lembaga terkait.
Empati adalah perasaan yang sama seperti dirasakan seseorang.
Empati kepada orang yang mengalami masalah, seperti sakit, terlanda bencana,
kematian kerabat, kehilangan pekerjaan, dan berbagai bentuk kenestapaan lain.
Dalam pembahasan akademik, setidaknya ada tiga macam empati yang
berkaitan. Pertama, empati kognitif, yakni merasakan dan memikirkan kenestapaan
orang lain. Kedua, empati emosional, yakni merasakan emosi orang yang mengalami
kesengsaraan. Ketiga, empati welas asih yang mendorong orang meringankan beban
orang yang menderita.
Harus diakui, ketiga bentuk empati itu lebih terwujud di
masyarakat daripada lingkungan kekuasaan politik. Banyak individu, kelompok
warga, grup media sosial, komunitas keagamaan dan ormas, serta perusahaan
menggalang dana dan menyalurkannya kepada berbagai pihak terdampak.
Di tengah wabah Covid-19, Indonesia beruntung memiliki tradisi
filantropi yang lama dan kuat. Beragam bentuk saling membantu (ta’awun), gotong royong,
dan solidaritas menjadi bagian integral kehidupan warga Indonesia dari masa ke
masa. Para filantrop Indonesia memberikan bantuan medis. Mereka juga
menyediakan kebutuhan pokok dan dana tunai bagi warga yang kehilangan
pendapatan, yang umumnya disalurkan langsung; tidak membagi-baginya di pinggir
jalan sehingga menimbulkan kerumunan orang.
Sebaliknya, sedikit sekali pejabat yang bersedia menyumbangkan
seluruh atau sebagian gajinya untuk meringankan beban warga terdampak. Tak
terlihat empati politik dan politik empati dari pejabat tinggi serta elite
politik.
Lebih pedih lagi, menguatnya politik tuna-empati di lingkungan
elite politik dan pemerintah. Ini, misalnya, tecermin dari sikap DPR dan
pemerintah yang dalam rapat bersama, Selasa (14/4/2020), memutuskan meneruskan
pembahasan RUU Cipta Kerja. RUU yang juga disebut RUU ”sapu jagat” atau omnibus law itu jelas
sangat kontroversial.
Ketiadaan empati politik dan politik empati, atau lebih persis
menguatnya politik tuna-empati, dikritik banyak pihak. Mereka mengimbau DPR dan
pemerintah menghentikan pembahasan RUU kontroversial dan sebaliknya menerapkan
empati politik dan politik empati menghadapi wabah Covid-19 dengan segala
dampak sosial-ekonomi dan politiknya.
Harian Kompas
sepekan terakhir berupaya membangkitkan empati DPR dan elite politik lain;
mengimbau nurani dan sense
of crisis anggota DPR (berarti juga fraksi dan parpol) serta
pemerintah. Simak laporan Kompas
bertajuk ”Saatnya DPR Berbela Rasa” (6/4/2020); lalu Tajuk Rencana ”Saatnya
Mendekat ke Rakyat” (9/4/2020) dan ”Menanti Sikap Wakil Rakyat” (14/4/2020).
Simaklah hati nurani rakyat. Cobalah tumbuhkan empati dan buang
jauh-jauh politik tuna-empati sebelum keadaan memburuk. []
KOMPAS, 16 April 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar