Masalah Membayar Zakat,
Infaq, dan Sedekah secara Online
Perkembangan e-commerce tidak mengenal ruang
dan batas bidang. Jika sebelumnya kita hanya mengenal pemakaiannya pada jasa
niaga atau transaksi yang ada hubunganya dengan pekerjaan, tapi kali ini, dunia
e-commerce juga mulai merambah ke dunia aspek imanen. Munculnya beberapa
aplikasi yang dikeluarkan oleh beberapa marketplace, seperti Grab, Go-jek,
Tokopedia, dan sejumlah aplikasi lainnya yang turut menyertakan fitur
pembayaran zakat secara digital, semakin banyak mendominasi beberapa aplikasi
layanan.
Menurut berita sejumlah harian, tren
peralihan model pembayaran zakat ini sejatinya sudah dirasakan pengaruhnya
sejak tahun 2016. BAZNAS sebagai Badan Amil Zakat Infaq dan Sedekah pernah
melaporkan bahwa di tahun itu, angka kecenderungan pemakaian aplikasi online
untuk membayar zakat tumbuh sebesar 12%. Tahun 2019 ini, angka tersebut
diprediksi tumbuh sekitar 16%. Besar kemungkinan kenaikan angka pertumbuhan ini
dipengaruhi secara signifikan oleh perilaku masyarakat yang sehari-harinya
dikuasai oleh gadget, smartphone, dan media digital online lainnya.
Menyadari preferensi masyarakat dalam
menggunakan media digital ini, BAZNAS tampil dengan menghadirkan sejumlah
platform. Dalam tubuh jam'iyah Nahdlatul Ulama, NUCARE-LAZISNU sebagai Lembaga
Amil Zakat yang dikelola oleh warga nahdliyin, juga menghadirkan sejumlah
platform untuk memenuhi ruang kosong dari pengguna media yang satu ini.
Ditinjau dari sudut pandang sosiologi,
sebenarnya ada beberapa karakter masyarakat yang saat ini mempengaruhi
tingginya penggunaan e-zakat, antara lain:
1. Masyarakat modern adalah masyarakat yang
dipenuhi oleh hasrat ingin segalanya berlangsung cepat. The time is money
(waktu adalah uang) menjadi karakter khas masyarakat ini. Kesibukan dan
perhatiannya terhadap bidang pekerjaan yang digelutinya menjadikannya kurang
efektif bila terlalu banyak melakukan gerak pindah tempat yang dipisahkan oleh
jarak dan waktu. Bahkan, andaikan ada jembatan penghubung antara ruang, jarak
dan waktu, jembatan itu akan dibeli oleh masyarakat modern. Nah, e-zakat dalam
hal ini adalah jawaban "tepat guna" sebagai penghubung sekat ruang,
jarak dan waktu itu.
2. Karakter masyarakat modern adalah karakter
visual dan mesin. Visualisasi platform zakat yang menarik akan banyak
mempengaruhi pola kecenderungan masyarakat dalam membayar zakat lewat aplikasi
itu. NamanĂ½a saja budaya instan, ingin segalanya berlangsung cepat, tanpa perlu
menyeret waktu dan kesibukan lain yang dianggapnya sebagai bagian dari
produktivitas.
3. Masyarakat modern merupakan masyarakat
yang gemar belajar tanpa memandang perlunya dekat dengan seorang guru. Ruang
tatap muka disatukan oleh media digital. Untuk itulah ruang pemasaran produk
keagamaan terkadang memerlukan tempat yang bisa dengan cepat diakses mereka.
Itulah sebabnya advertasi (proses pengiklanan) keberadaan Lembaga Amil Zakat
(LAZ) dengan menawarkan tingkat penyaluran dan jaminan yang tinggi akan nilai
syariahnya, akan lebih banyak diburu dibanding LAZ konvensional tanpa
media.
Ketiga alasan di atas secara tidak langsung
menjadi satu tantangan tersendiri bagi LAZ. Mereka dipaksa untuk menyediakan
struktur keamilan yang bisa menjawab kebutuhan tersebut dengan bekal media
komunikasi dan digital. Karena bagaimanapun, zakat merupakan praktik ibadah
sosial yang mewajibkan adanya akad ijab dan kabul. Hal ini berbeda dengan
praktik muamalah lainnya seperti jual beli yang dalam beberapa segi, akad ijab
dan kabul dapat dilakukan menurut 'urf (tradisi) yang berlaku.
Menguak kedudukan provider e-zakat dalam hal
ini penting dilakukan mengingat zakat dapat dipandang sebagai tidak sah
bila:
1. Disalurkan oleh pihak yang tidak memahami
seluk beluk zakat, dan
2. Penyalurannya tidak sebagaimana keharusan
syara'.
3. Zakat tersebut disalurkan di luar wilayah
tempat muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) tinggal.
Misalnya, sejumlah provider e-zakat online
menyediakan aplikasi pembayaran zakat fitrah. Pertanyaan yang seyogianya
diantisipasi provider melalui amanah zakat fitrah ini adalah:
1. Kapan pihak provider memberi batasan waktu
akhir dari pembayaran zakat? Karena bisa jadi, setelah deposito nasabah
ditarik, ternyata masih ada muzakki lain yang masih turut membayar zakat fitrah
secara online dengan aplikasi yang ditawarkan provider tersebut. Akibatnya,
zakat muzakki terakhir tidak sah disebabkan tidak turut terambil oleh provider
sebagai penyalur amanah.
2. Kepada siapa saja zakat itu diberikan?
Benarkah bahwa zakat sudah disampaikan kepada asnaf delapan atau sebagian di
antaranya saja secara habis?
3. Bila pihak provider menjadi wakil dari
muzakki, sudahkah provider mengetahui nama dari masing-masing muzakki yang
diwakilinya? Umumnya, sejauh pengamatan penulis, pihak provider hanya
menyerahkan total dana zakat yang dikumpulkan dari muzakki kepada beberapa
lembaga amil zakat infaq dan shadaqah saja tanpa turut menyertakan nama-nama
muzakki-nya.
4. Dalam e-zakat, dana diserahkan dalam
bentuk tunai. Pertanyaan yang harus turut disampaikan adalah apa standart tunai
yang ditetapkan oleh Badan Zakat atau Lembaga Zakat tersebut? Apakah memakai
makanan pokok ataukah mengikut standart harga gandum merah, gandum putih, kurma
dan anggur sebagaimana ketentuan Madzhab Hanafi?
5. Terakhir adalah di mana zakat tersebut
disalurkan? Apakah di wilayah muzakki, ataukah di luar wilayah muzakki?
Kelima masalah pokok ini menjadi mutlak harus
disampaikan oleh provider e-zakat karena bagaimanapun mayoritas umat Islam
Indonesia adalah mengikut madzhab Syafi'i.
Demikian sekilas gambaran tentang seluk beluk
e-zakat online yang sejak tahun 2016 sebenarnya sudah mulai diperkenalkan.
Penting kiranya ada sebuah regulasi khusus yang mengatur hal tersebut,
mengingat zakat merupakan muamalah yang spesial. Kesalahan dalam satu alur
dapat berakibat pada sah atau tidak sahnya zakat. Jika tidak sah, maka kewajiban
provider adalah mengganti zakatnya muzakki. Wallahu a'lam bish hawab. []
Ustdaz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang
Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar