Kamis, 30 April 2020

Azyumardi: Wabah Covid-19 dan Kriminalitas


Wabah Covid-19 dan Kriminalitas
Oleh: Azyumardi Azra

Wabah korona terus meningkat di tanah air. Sejumlah kajian kelompok ahli berbeda dari universitas semacam UI atau UGM memprediksi puncak pandemi korona di Indonesia akhir Mei atau awal Juni. Dalam skenario yang disertai prediksi-prediksi berbeda, jumlah mereka positif korona bisa puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu. Begitu juga jumlah mereka yang tewas karena Covid-19 juga bisa puluhan ribu.

Kenapa satu prediksi dengan lainnya bisa berbeda? Perbedaan-perbedaan itu selain karena perbedaan metodologi dan pendekatan studi, juga terkait dengan masalah apakah kebijakan pemerintah dalam usaha melawan Covid-19 berhasil atau tidak.

Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diadopsi Presiden Jokowi dan dilaksanakan pemerintah daerah mulai di Provinsi DKI Jakarta sejak 10 April; disusul di beberapa kabupaten/kota dalam Provinsi-provinsi Jawa Barat, Banten, Riau, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan.

PSBB menjadi kebijakan Presiden Jokowi setelah langkah sebelumnya penjarakan sosial (social distancing) yang kemudian ditambahi dengan penjarakan fisik (physical distancing) tidak efektif. Selain itu, daerah tertentu seperti Provinsi Papua memberlakukan semacam ‘penguncian ketat’  (lockdown) atau kota Tegal menerapkan semacam ‘karantina wilayah’.

Berbacai cara itu karena pertimbangan ekonomi dan anggaran dari pemerintah pusat akhirnya diganti dengan PSBB. Dengan kebijakan ini, tanggungjawab anggaran, logistik, sumber daya kesehatan banyak terpikul di bahu pemerintah daerah bukan pada pemerintah pusat.

Efektifkah PSBB? Nampaknya tidak juga. Sumber ketidakefektifan itu sebagian besar bersumber dari masih simpang siurnya kebijakan dalam pemerintahan Jokowi. Berhari-hari Presiden Jokowi menghimbau warga kota tidak mudik, sedangkan Menteri Kordinator dan Maritim LBP menolak permintaan Pemda menghentikan bus AKAP yang membawa pemudik.

Baru 21 April Jokowi mengeluarkan ketetapan pelarangan mudik. Sekitar 30 persen warga kota sudah mudik. Menurut survei SMRC, sekitar 31 persen (kira-kira 25 juta orang) mudik dalam menjelang Idul Fitri.

Selain itu, tiada ketegasan pemerintah dalam penegakan hukum. Para warga tetap berbondong-bondong di stasiun KA atau di jalanan; atau ketika pembagian sembako oleh pejabat pemerintah pusat dan daerah tertentu.

Di tengah perkembangan tidak kondusif yang membuat wabah korona kian merajalela, berbagai gangguan keamanan meningkat dalam masyarakat. Polri mengumumkan (20/4/20) peningkatan kriminalitas dalam dua pekan terakhir (pekan 15 dan pekan 16 tahun 2020) sebanyak 11,80 persen.

Peningkatan kriminalitas terkait dengan dua faktor. Pertama, pembebasan lebih 38 ribu narapidana untuk asimilasi, Pembebasan itu untuk mencegah penyebaran wabah korona di dalam penjara yang over-capacity.

Pembebasan napi diikuti peningkatan berita dan laporan tentang residivis yang baru dibebaskan kembali melakukan aksi kejahatan. Sebagian mereka tambah nekad ketika berhadapan dengan petugas Polri.

Kedua, meningkatnya jumlah orang miskin dan penganggur. Kebijakan PSBB dan lainnya mengakibatkan semakin banyak orang tidak bekerja sementara mereka dan keluarga perlu makan. Bisa diduga sebagian mereka tergoda menempuh jalan pintas dengan melakukan aksi kriminal.

Mengamati perkembangan ini, benar sekali pernyataan Wapres ke 10 dan 13 Jusuf Kalla. Di depan siswa Sespim Polri Angkatan 60 (20/4/20), JK menyatakan masalah wabah virus korona yang belum terselesaikan mengakibatkan masalah atau krisis kesehatan yang diikuti krisis ekonomi dapat menjadi masalah keamanan.

Jusuf Kalla menyatakan: “Kalau [krisis 1998] ditunggangi kepentingan politik; [sekarang] ini murni kriminal karena orang susah. Harus tegas menghadapi mereka. Tapi jangan dengan kekerasan [pula]”
Lebih JK menilai, saat ini Indonesia belum menyelesaikan persebaran Covid-19 yang penyebab utama kondisi sulit yang dialami masyarakat sekarang. Terutama dalam hal kelesuan ekonomi yang berdampak besar. “Penyelesaian justru pada akibat Covid-19 misalnya dengan membag-bagi sembako. Padahal penyebabnya yang harus lebih dahulu diselesaikan”.

Mempertimbangkan refleksi JK, masyarakat umumnya tak bisa lain kecuali memperkuat solidaritas dan kohesi sosial. Oleh karena itu, mereka yang masih punya rezeki agar membantu warga yang terkapar di lingkungannya. Jika tidak, bukan tak mungkin kita menghadapi revolusi sosial dengan bahaya dan dampak negatif dakhsyat. []

REPUBLIKA, 23 April 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar