Wabah
Covid-19 dan Kriminalitas
Oleh: Azyumardi Azra
Wabah korona terus meningkat di tanah air. Sejumlah kajian kelompok ahli berbeda dari universitas semacam UI atau UGM memprediksi puncak pandemi korona di Indonesia akhir Mei atau awal Juni. Dalam skenario yang disertai prediksi-prediksi berbeda, jumlah mereka positif korona bisa puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu. Begitu juga jumlah mereka yang tewas karena Covid-19 juga bisa puluhan ribu.
Kenapa
satu prediksi dengan lainnya bisa berbeda? Perbedaan-perbedaan itu selain
karena perbedaan metodologi dan pendekatan studi, juga terkait dengan masalah
apakah kebijakan pemerintah dalam usaha melawan Covid-19 berhasil atau tidak.
Kebijakan
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diadopsi Presiden Jokowi dan
dilaksanakan pemerintah daerah mulai di Provinsi DKI Jakarta sejak 10 April;
disusul di beberapa kabupaten/kota dalam Provinsi-provinsi Jawa Barat, Banten,
Riau, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan.
PSBB
menjadi kebijakan Presiden Jokowi setelah langkah sebelumnya penjarakan sosial
(social distancing)
yang kemudian ditambahi dengan penjarakan fisik (physical distancing) tidak efektif. Selain
itu, daerah tertentu seperti Provinsi Papua memberlakukan semacam ‘penguncian
ketat’ (lockdown)
atau kota Tegal menerapkan semacam ‘karantina wilayah’.
Berbacai
cara itu karena pertimbangan ekonomi dan anggaran dari pemerintah pusat
akhirnya diganti dengan PSBB. Dengan kebijakan ini, tanggungjawab anggaran,
logistik, sumber daya kesehatan banyak terpikul di bahu pemerintah daerah bukan
pada pemerintah pusat.
Efektifkah
PSBB? Nampaknya tidak juga. Sumber ketidakefektifan itu sebagian besar
bersumber dari masih simpang siurnya kebijakan dalam pemerintahan Jokowi.
Berhari-hari Presiden Jokowi menghimbau warga kota tidak mudik, sedangkan
Menteri Kordinator dan Maritim LBP menolak permintaan Pemda menghentikan bus
AKAP yang membawa pemudik.
Baru 21 April Jokowi mengeluarkan ketetapan pelarangan mudik. Sekitar 30 persen warga kota sudah mudik. Menurut survei SMRC, sekitar 31 persen (kira-kira 25 juta orang) mudik dalam menjelang Idul Fitri.
Selain
itu, tiada ketegasan pemerintah dalam penegakan hukum. Para warga tetap
berbondong-bondong di stasiun KA atau di jalanan; atau ketika pembagian sembako
oleh pejabat pemerintah pusat dan daerah tertentu.
Di tengah
perkembangan tidak kondusif yang membuat wabah korona kian merajalela, berbagai
gangguan keamanan meningkat dalam masyarakat. Polri mengumumkan (20/4/20)
peningkatan kriminalitas dalam dua pekan terakhir (pekan 15 dan pekan 16 tahun
2020) sebanyak 11,80 persen.
Peningkatan
kriminalitas terkait dengan dua faktor. Pertama, pembebasan lebih 38 ribu
narapidana untuk asimilasi, Pembebasan itu untuk mencegah penyebaran wabah
korona di dalam penjara yang over-capacity.
Pembebasan
napi diikuti peningkatan berita dan laporan tentang residivis yang baru
dibebaskan kembali melakukan aksi kejahatan. Sebagian mereka tambah nekad
ketika berhadapan dengan petugas Polri.
Kedua,
meningkatnya jumlah orang miskin dan penganggur. Kebijakan PSBB dan lainnya
mengakibatkan semakin banyak orang tidak bekerja sementara mereka dan keluarga
perlu makan. Bisa diduga sebagian mereka tergoda menempuh jalan pintas dengan
melakukan aksi kriminal.
Mengamati
perkembangan ini, benar sekali pernyataan Wapres ke 10 dan 13 Jusuf Kalla. Di
depan siswa Sespim Polri Angkatan 60 (20/4/20), JK menyatakan masalah wabah
virus korona yang belum terselesaikan mengakibatkan masalah atau krisis
kesehatan yang diikuti krisis ekonomi dapat menjadi masalah keamanan.
Jusuf
Kalla menyatakan: “Kalau [krisis 1998] ditunggangi kepentingan politik;
[sekarang] ini murni kriminal karena orang susah. Harus tegas menghadapi
mereka. Tapi jangan dengan kekerasan [pula]”
Lebih JK
menilai, saat ini Indonesia belum menyelesaikan persebaran Covid-19 yang
penyebab utama kondisi sulit yang dialami masyarakat sekarang. Terutama dalam
hal kelesuan ekonomi yang berdampak besar. “Penyelesaian justru pada akibat
Covid-19 misalnya dengan membag-bagi sembako. Padahal penyebabnya yang harus
lebih dahulu diselesaikan”.
Mempertimbangkan
refleksi JK, masyarakat umumnya tak bisa lain kecuali memperkuat solidaritas
dan kohesi sosial. Oleh karena itu, mereka yang masih punya rezeki agar
membantu warga yang terkapar di lingkungannya. Jika tidak, bukan tak mungkin
kita menghadapi revolusi sosial dengan bahaya dan dampak negatif dakhsyat. []
REPUBLIKA,
23 April 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar