Mencuci Pakaian Keluarga Melatih Sikap
Anti-Diskriminasi
Tepat pukul 03.00 aku terbangun oleh alarm di
ponselku. Aku tidak segera bangun, tetapi sengaja memperlambat karena tidak
banyak yang harus aku siapkan. Nasi dan lauk sudah ada. Tinggal bikin teh
manis. Cem-ceman teh juga sudah ada, tinggal memanasi ulang.
Tak lama setelah teh manis jadi, aku
bangunkan si sulung. Agak sulit memang, mungkin karena terlambat tidur tadi
malam. Akhirnya bangun juga. Hanya berdua kami makan sahur dengan nasi Padang
di rumah. Maklum si bungsu dan istriku sudah mendahului mudik. Mudikku juga ke
mertua. Ayah dan Ibuku sudah meninggal lama.
Sekitar pukul 04.25 “imsak” diserukan dari
masjid. Sepuluh menit kemudian adzan subuh dikumandangkan. Kami terus berjamaah
di masjid.
Turun dari masjid, aku langsung ambil seluruh
pakaian yang kotor. Ada bra, daster, jilbab dan CD milik istriku. Ada pula
handuk, kaos, CD anak-anakku, kemeja, sarung, celana panjang dan
sebagainya.
Meski sudah lama aku biasa mencuci pakaian
seluruh anggota keluarga di rumah, tapi baru kali itu aku sadari bahwa mencuci
pakaian keluarga itu baik karena di situlah sebenarnya kita dilatih untuk tidak
membeda-bedakan atau melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin maupun status.
***
Itulah ringkasan cerita dari salah satu
kegiatan sahur di keluarga kami lima tahun lalu, atau tepatnya pada tanggal 24
Ramadhan 1435 H/22 Juli 2014. Cerita itu kami rekam dalam sebuah buku catatan
harian berjudul “Dari Sahur ke Sahur; Catatan Harian Seorang Suami” (2016).
Secara gender, manusia dibedakan menjadi
laki-laki dan perempuan. Dalam konteks keluarga, para anggotanya dibedakan
menjadi orang tua dan anak-anak. Orang tua itu sendiri dibedakan menjadi ayah
dan ibu, atau suami dan istri.
Terkait dengan perbedaan-perbedaan itu,
mereka memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang bisa saja berbeda baik
secara fiqih maupun sosial. Dengan kata lain perbedaan-perbedaan itu membawa
konsekuensi adanya pembedaan. Pembedaan yang memang sudah semestinya berdasarkan
norma-norma yang berlaku harus diterima secara positif.
Sedangkan pembedaan yang tidak perlu yang
disebut diskriminasi harus diminimalisasi karena sering kali menimbulkan sikap
subordinatif yang tidak menguntungkan bagi pihak lain dan tidak sejalan dengan
prinsip kesetaraan sosial. Kegiatan mencuci pakaian seluruh anggota keluarga
merupakan salah satu cara pembiasaan mengurangi sikap diskrimainatif dalam
kehidupan bermasyarakat.
Dalam mencuci pakaian keluarga, seseorang
bersikap sama terhadap pakaian-pakaian yang dicucinya, baik itu pakaian
laki-laki ataupun perempuan, pakaian suami ataupun istri dan apakah itu milik
orang tua ataukah anak-anak. Singkatnya tidak ada sikap diskriminatif terhadap
seluruh pakaian itu tanpa memandang siapa pemiliknya dan apa statusnya. Hal ini
membentuk sikap anti diskriminasi terhadap sesama yang dimulai dari unit
terkecil masyarakat, yakni keluarga.
Rasulullah shallahu alaihi wa sallam tidak
jarang melakukan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci pakaian, menjahit baju
dan mengesol sandal. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Al-Aswad radhiallahu
anhu sebagai berikut:
سألت
عائشة ما كان النبي صلى الله عليه وسلم يصنع في أهله قالت كان في مهنة أهله فإذا
حضرت الصلاة قام إلى الصلاة
Artinya, “Aku pernah bertanya kepada Aisyah:
Apa yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di rumahnya?
Aisyah berkata: Beliau membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, maka
apabila telah masuk waktu shalat beliau keluar untuk shalat.” (HR. Al-Bukhari)
Kebiasaan Rasulullah membantu menyelesaikan
pekerjaan rumah tangga memilki korelasi dengan perilaku beliau yang tidak
diskriminatif terhadap anggota keluarganya. Salah satu contohnya adalah setiap
kali putri beliau – Fathimah az-Zahrah – datang dari suatu bepergian lalu masuk
ke dalam rumah, Rasulullah menyambut kedatangannya dengan berdiri dan kemudian
mempersilakannya duduk di kursi yang merupakan tempat duduk Rasulullah.
Demikian pula sebaliknya.
Hal tersebut sebagaimana dikutip Abu Daud
Sulaiman bin al-Asyats al-Azdi al-Sijistani dalam kitab Sunan Abi Daud (Beirut:
Dar ibn Hazm, 1997) Catakan I, hal. 144, sebagai berikut:
عن
أم المؤمنين عائشة رضي الله عنها أنها قالت: كانت (فاطمة) إذا دخلت عليه رحب بها
وقام إليها فأخذ بيدها فقبلها و أجلسها في مجلسه، وكان إذا دخل عليها قامت إليه
فأخذت بيده فقبلته وأجلسته في مجلسها
Artinya, “Dari ummil mukminin Aisyah
radhaiallhu anha, sesungguhnya dia mengatakan: ‘Ketika (Fathimah) masuk rumah,
Rasulullah berdiri dan memegang tangan Fathimah lalu menciumnya dan kemudian
mendudukannya di tempat duduk Rasulullah. Dan ketika Rasulullah masuk ke rumah,
Fathimah berdiri dan memegang tangan beliau lalu mencium dan kemudian
mendudukan beliau di tempat duduk Fathimah.”
Dari kisah-kisah di atas dapat dihubungkan
antara kebiasaan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, khususnya mencuci
pakaian keluarga dengan sikap tidak diskriminatif terhadap sesama tanpa
memandang jenis kelamin dan status sosial yang dimulai dari dalam keluarga. Hal
ini dapat dilihat dari bagaimana Rasulullah shallahu alaihi wa sallam sebagai
ayah dan Siti Fathimah radhiallahu anha sabagai putrinya saling menghargai,
mengasihi dan bertukar tempat duduk. Perbedaan jenis kelamin dan status dalam
keluarga tidak (harus) disikapi dengan perlakuan berbeda. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar