Jumat, 17 April 2020

(Hikmah of the Day) Mencuci Pakaian Keluarga Melatih Sikap Anti-Diskriminasi


Mencuci Pakaian Keluarga Melatih Sikap Anti-Diskriminasi

Tepat pukul 03.00 aku terbangun oleh alarm di ponselku. Aku tidak segera bangun, tetapi sengaja memperlambat karena tidak banyak yang harus aku siapkan. Nasi dan lauk sudah ada. Tinggal bikin teh manis. Cem-ceman teh juga sudah ada, tinggal memanasi ulang. 

Tak lama setelah teh manis jadi, aku bangunkan si sulung. Agak sulit memang, mungkin karena terlambat tidur tadi malam. Akhirnya bangun juga. Hanya berdua kami makan sahur dengan nasi Padang di rumah. Maklum si bungsu dan istriku sudah mendahului mudik. Mudikku juga ke mertua. Ayah dan Ibuku sudah meninggal lama. 

Sekitar pukul 04.25 “imsak” diserukan dari masjid. Sepuluh menit kemudian adzan subuh dikumandangkan. Kami terus berjamaah di masjid. 

Turun dari masjid, aku langsung ambil seluruh pakaian yang kotor. Ada bra, daster, jilbab dan CD milik istriku. Ada pula handuk, kaos, CD anak-anakku, kemeja, sarung, celana panjang dan sebagainya. 

Meski sudah lama aku biasa mencuci pakaian seluruh anggota keluarga di rumah, tapi baru kali itu aku sadari bahwa mencuci pakaian keluarga itu baik karena di situlah sebenarnya kita dilatih untuk tidak membeda-bedakan atau melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin maupun status. 

*** 

Itulah ringkasan cerita dari salah satu kegiatan sahur di keluarga kami lima tahun lalu, atau tepatnya pada tanggal 24 Ramadhan 1435 H/22 Juli 2014. Cerita itu kami rekam dalam sebuah buku catatan harian berjudul “Dari Sahur ke Sahur; Catatan Harian Seorang Suami” (2016).

Secara gender, manusia dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan. Dalam konteks keluarga, para anggotanya dibedakan menjadi orang tua dan anak-anak. Orang tua itu sendiri dibedakan menjadi ayah dan ibu, atau suami dan istri. 

Terkait dengan perbedaan-perbedaan itu, mereka memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang bisa saja berbeda baik secara fiqih maupun sosial. Dengan kata lain perbedaan-perbedaan itu membawa konsekuensi adanya pembedaan. Pembedaan yang memang sudah semestinya berdasarkan norma-norma yang berlaku harus diterima secara positif. 

Sedangkan pembedaan yang tidak perlu yang disebut diskriminasi harus diminimalisasi karena sering kali menimbulkan sikap subordinatif yang tidak menguntungkan bagi pihak lain dan tidak sejalan dengan prinsip kesetaraan sosial. Kegiatan mencuci pakaian seluruh anggota keluarga merupakan salah satu cara pembiasaan mengurangi sikap diskrimainatif dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam mencuci pakaian keluarga, seseorang bersikap sama terhadap pakaian-pakaian yang dicucinya, baik itu pakaian laki-laki ataupun perempuan, pakaian suami ataupun istri dan apakah itu milik orang tua ataukah anak-anak. Singkatnya tidak ada sikap diskriminatif terhadap seluruh pakaian itu tanpa memandang siapa pemiliknya dan apa statusnya. Hal ini membentuk sikap anti diskriminasi terhadap sesama yang dimulai dari unit terkecil masyarakat, yakni keluarga. 

Rasulullah shallahu alaihi wa sallam tidak jarang melakukan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci pakaian, menjahit baju dan mengesol sandal. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Al-Aswad radhiallahu anhu sebagai berikut: 

سألت عائشة ما كان النبي صلى الله عليه وسلم يصنع في أهله قالت كان في مهنة أهله فإذا حضرت الصلاة قام إلى الصلاة

Artinya, “Aku pernah bertanya kepada Aisyah: Apa yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di rumahnya? Aisyah berkata: Beliau membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, maka apabila telah masuk waktu shalat beliau keluar untuk shalat.” (HR. Al-Bukhari)

Kebiasaan Rasulullah membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga memilki korelasi dengan perilaku beliau yang tidak diskriminatif terhadap anggota keluarganya. Salah satu contohnya adalah setiap kali putri beliau – Fathimah az-Zahrah – datang dari suatu bepergian lalu masuk ke dalam rumah, Rasulullah menyambut kedatangannya dengan berdiri dan kemudian mempersilakannya duduk di kursi yang merupakan tempat duduk Rasulullah. Demikian pula sebaliknya. 

Hal tersebut sebagaimana dikutip Abu Daud Sulaiman bin al-Asyats al-Azdi al-Sijistani dalam kitab Sunan Abi Daud (Beirut: Dar ibn Hazm, 1997) Catakan I, hal. 144, sebagai berikut:

عن أم المؤمنين عائشة رضي الله عنها أنها قالت: كانت (فاطمة) إذا دخلت عليه رحب بها وقام إليها فأخذ بيدها فقبلها و أجلسها في مجلسه، وكان إذا دخل عليها قامت إليه فأخذت بيده فقبلته وأجلسته في مجلسها

Artinya, “Dari ummil mukminin Aisyah radhaiallhu anha, sesungguhnya dia mengatakan: ‘Ketika (Fathimah) masuk rumah, Rasulullah berdiri dan memegang tangan Fathimah lalu menciumnya dan kemudian mendudukannya di tempat duduk Rasulullah. Dan ketika Rasulullah masuk ke rumah, Fathimah berdiri dan memegang tangan beliau lalu mencium dan kemudian mendudukan beliau di tempat duduk Fathimah.” 

Dari kisah-kisah di atas dapat dihubungkan antara kebiasaan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, khususnya mencuci pakaian keluarga dengan sikap tidak diskriminatif terhadap sesama tanpa memandang jenis kelamin dan status sosial yang dimulai dari dalam keluarga. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana Rasulullah shallahu alaihi wa sallam sebagai ayah dan Siti Fathimah radhiallahu anha sabagai putrinya saling menghargai, mengasihi dan bertukar tempat duduk. Perbedaan jenis kelamin dan status dalam keluarga tidak (harus) disikapi dengan perlakuan berbeda. []

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar