Senin, 20 April 2020

(Ngaji of the Day) Konsensus Ulama bahwa Allah Tidak Bertempat di Langit


Konsensus Ulama bahwa Allah Tidak Bertempat di Langit

Ada sebagian kelompok yang mengklaim bahwa para ulama telah ijmak (membuat konsensus) bahwa Allah berada di langit dalam arti secara fisik bertempat di langit. Pernyataan bahwa Allah bertempat secara fisik di langit ini ada yang menyatakannya secara terang-terangan dan ada pula yang dinyatakan dengan samar tetapi maksudnya ke arah tersebut. Klaim tersebut disertai dengan mengutip ayat-ayat atau hadits yang secara literal mengindikasikan Allah di langit.

Telah maklum bahwa keyakinan semacam itu tidak benar, bahkan menyesatkan sebab menyatakan bahwa Allah bertempat secara fisik sama saja dengan menyatakan bahwa Dzat Allah adalah jism (materi) yang menempati ruang tertentu. Hal ini merupakan kemustahilan sebab tak ada jism yang layak disembah karena seluruh jism pastilah dibuat dan dirancang oleh pihak lain. Bahasan ini telah dibahas berulang kali di kolom Ilmu Tauhid ini.

Kali ini penulis akan menukil ijmak yang isinya justru para ulama dari berbagai kalangan sepakat seluruhnya bahwa dalil-dalil yang sepintas mengindikasikan Allah berada di langit itu tak dapat dimaknai secara literal tapi wajib ditakwil. Ini adalah bantahan terhadap klaim ijmak yang menyatakan bahwa Allah berada di langit dalam arti secara fisik bertempat di langit.

Imam Nawawi menukil pernyataan Qadli Iyadl (544 H), salah satu ulama ternama yang menjadi rujukan umat Islam, yang mengatakan:

قَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ لَا خِلَافَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ قَاطِبَةً فَقِيهُهُمْ وَمُحَدِّثُهُمْ وَمُتَكَلِّمُهُمْ وَنُظَّارُهُمْ وَمُقَلِّدُهُمْ أَنَّ الظَّوَاهِرَ الْوَارِدَةَ بِذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى فِي السَّمَاءِ كَقَوْلِهِ تَعَالَى أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السماء أن يخسف بكم الأرض وَنَحْوِهِ لَيْسَتْ عَلَى ظَاهِرِهَا بَلْ مُتَأَوَّلَةٌ عِنْدَ جَمِيعِهِمْ

"Qadli Iyadl mengatakan: Tidak ada perbedaan di antara kaum muslimin secara pasti, baik ahli fikihnya, ahli haditsnya, ahli kalamnya, pemikirnya, dan pentaqlidnya bahwa makna-makna literal yang berasal dari ayat-hadits yang menyebutkan bahwa Allah di langit, seperti firman Allah "Apakah kalian merasa aman bahwa Yang di Langit tidak akan membuat kalian ditelan bumi?" dan semacamnya tidaklah dimaknai secara literal (tidak memakai makna dhahir), tapi semuanya ditakwil," (an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, vol. V, hal. 24).

Takwil dalam konteks ini mencakup dua macam sikap, yakni:

Pertama, takwil ijmali (takwil secara global) dengan cara menetapkan redaksi ayat dan hadits yang ada tanpa memberikan arti apa pun yang hanya akan mengarah pada anggapan Allah berupa jism. Jadi misalnya ada ayat yang menyatakan Allah di langit, maka juga dikatakan bahwa Allah di langit tetapi bukan dalam makna bertempat secara fisik dalam batasan ruang tertentu. Lalu apa maknanya? Ulama yang mengambil langkah ini menyatakan bahwa makna sesungguhnya hanya diketahui oleh Allah saja. Ini adalah langkah mayoritas ulama salaf yang memilih diam tak berkomentar terhadap ayat atau hadits yang membicarakan ini tetapi meyakini bahwa Allah bukanlah jism.

Kedua, takwil tafshili (takwil secara terperinci) dengan cara menetapkan makna yang cocok bagi kesucian Allah sesuai dengan konteks ayat dan hadits. Jadi misalnya ada ayat yang menyatakan Allah di langit, maksudnya adalah kekuasaan Allah di langit, kerajaan Allah di langit, Allah Maha Tinggi kedudukannya, dan sebagainya.

Kesemua ragam takwil ini menolak arti bahwa Allah punya tempat secara fisik, di mana pun itu, baik di langit mau pun di bumi apalagi di mana-mana. Bahkan Syekh Ibnu Taymiyah sekali pun yang seringkali mempropagandakan bahwa Allah di langit dalam suatu pernyataannya dengan jelas menolak pengertian “di langit” dalam arti bertempat secara fisik di langit. Berikut ini pernyataannya:

"السلف، والأئمة، وسائر علماء السنَّة إذا قالوا : " إنه فوق العرش " ، و " إنه في السماء فوق كل شيء " : لا يقولون إن هناك شيئاً يحويه ، أو يحصره ، أو يكون محلاًّ له ، أو ظرفاً ، ووعاءً ، سبحانه وتعالى عن ذلك

“Para Salaf, para Imam dan seluruh ulama sunnah ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Allah di atas langit” dan “Sesungguhnya Allah di langit di atas segalanya”, mereka tak bermaksud mengatakan bahwa ada sesuatu yang meliputi-Nya, mengepung-Nya, menjadi tempat bagi-Nya, atau menjadi wadah-Nya. Maha suci Allah dari hal itu,” (Ibnu Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, vol. XVI, hlm. 100).

Syekh Ibnu Taymiyah di atas memilih takwil ijmali yang hanya mengambil redaksi ayat dan hadits secara global tapi menolak makna literal sebagai “bertempat secara fisik” seperti halnya seluruh jism di dunia ini. Inilah akidah Ahlussunnah wal Jamaah yang telah disepakati seluruh ulama dari berbagai kalangan, seperti dinyatakan oleh Qadli Iyadl di atas. Wallahu a’lam. []

Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember

Tidak ada komentar:

Posting Komentar