Konsensus Ulama bahwa Allah
Tidak Bertempat di Langit
Ada sebagian kelompok yang mengklaim bahwa para ulama telah ijmak (membuat konsensus) bahwa Allah berada di langit dalam arti secara fisik bertempat di langit. Pernyataan bahwa Allah bertempat secara fisik di langit ini ada yang menyatakannya secara terang-terangan dan ada pula yang dinyatakan dengan samar tetapi maksudnya ke arah tersebut. Klaim tersebut disertai dengan mengutip ayat-ayat atau hadits yang secara literal mengindikasikan Allah di langit.
Telah maklum bahwa keyakinan semacam itu
tidak benar, bahkan menyesatkan sebab menyatakan bahwa Allah bertempat secara
fisik sama saja dengan menyatakan bahwa Dzat Allah adalah jism (materi) yang
menempati ruang tertentu. Hal ini merupakan kemustahilan sebab tak ada jism
yang layak disembah karena seluruh jism pastilah dibuat dan dirancang oleh
pihak lain. Bahasan ini telah dibahas berulang kali di kolom Ilmu Tauhid ini.
Kali ini penulis akan menukil ijmak yang
isinya justru para ulama dari berbagai kalangan sepakat seluruhnya bahwa
dalil-dalil yang sepintas mengindikasikan Allah berada di langit itu tak dapat
dimaknai secara literal tapi wajib ditakwil. Ini adalah bantahan terhadap klaim
ijmak yang menyatakan bahwa Allah berada di langit dalam arti secara fisik
bertempat di langit.
Imam Nawawi menukil pernyataan Qadli Iyadl
(544 H), salah satu ulama ternama yang menjadi rujukan umat Islam, yang
mengatakan:
قَالَ
الْقَاضِي عِيَاضٌ لَا خِلَافَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ قَاطِبَةً فَقِيهُهُمْ
وَمُحَدِّثُهُمْ وَمُتَكَلِّمُهُمْ وَنُظَّارُهُمْ وَمُقَلِّدُهُمْ أَنَّ
الظَّوَاهِرَ الْوَارِدَةَ بِذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى فِي السَّمَاءِ كَقَوْلِهِ
تَعَالَى أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السماء أن يخسف بكم الأرض وَنَحْوِهِ لَيْسَتْ
عَلَى ظَاهِرِهَا بَلْ مُتَأَوَّلَةٌ عِنْدَ جَمِيعِهِمْ
"Qadli Iyadl mengatakan: Tidak ada
perbedaan di antara kaum muslimin secara pasti, baik ahli fikihnya, ahli
haditsnya, ahli kalamnya, pemikirnya, dan pentaqlidnya bahwa makna-makna
literal yang berasal dari ayat-hadits yang menyebutkan bahwa Allah di langit,
seperti firman Allah "Apakah kalian merasa aman bahwa Yang di Langit tidak
akan membuat kalian ditelan bumi?" dan semacamnya tidaklah dimaknai secara
literal (tidak memakai makna dhahir), tapi semuanya ditakwil," (an-Nawawi,
Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, vol. V, hal. 24).
Takwil dalam konteks ini mencakup dua macam
sikap, yakni:
Pertama, takwil ijmali (takwil secara global)
dengan cara menetapkan redaksi ayat dan hadits yang ada tanpa memberikan arti
apa pun yang hanya akan mengarah pada anggapan Allah berupa jism. Jadi misalnya
ada ayat yang menyatakan Allah di langit, maka juga dikatakan bahwa Allah di
langit tetapi bukan dalam makna bertempat secara fisik dalam batasan ruang
tertentu. Lalu apa maknanya? Ulama yang mengambil langkah ini menyatakan bahwa
makna sesungguhnya hanya diketahui oleh Allah saja. Ini adalah langkah
mayoritas ulama salaf yang memilih diam tak berkomentar terhadap ayat atau
hadits yang membicarakan ini tetapi meyakini bahwa Allah bukanlah jism.
Kedua, takwil tafshili (takwil secara
terperinci) dengan cara menetapkan makna yang cocok bagi kesucian Allah sesuai
dengan konteks ayat dan hadits. Jadi misalnya ada ayat yang menyatakan Allah di
langit, maksudnya adalah kekuasaan Allah di langit, kerajaan Allah di langit,
Allah Maha Tinggi kedudukannya, dan sebagainya.
Kesemua ragam takwil ini menolak arti bahwa
Allah punya tempat secara fisik, di mana pun itu, baik di langit mau pun di
bumi apalagi di mana-mana. Bahkan Syekh Ibnu Taymiyah sekali pun yang
seringkali mempropagandakan bahwa Allah di langit dalam suatu pernyataannya
dengan jelas menolak pengertian “di langit” dalam arti bertempat secara fisik
di langit. Berikut ini pernyataannya:
"السلف،
والأئمة، وسائر علماء السنَّة إذا قالوا : " إنه فوق العرش " ، و
" إنه
في السماء فوق كل شيء " : لا يقولون إن هناك شيئاً يحويه ، أو يحصره ، أو
يكون محلاًّ له ، أو ظرفاً ، ووعاءً ، سبحانه وتعالى عن ذلك
“Para Salaf, para Imam dan seluruh ulama
sunnah ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Allah di atas langit” dan
“Sesungguhnya Allah di langit di atas segalanya”, mereka tak bermaksud
mengatakan bahwa ada sesuatu yang meliputi-Nya, mengepung-Nya, menjadi tempat
bagi-Nya, atau menjadi wadah-Nya. Maha suci Allah dari hal itu,” (Ibnu
Taymiyah, Majmu’ al-Fatawa, vol. XVI, hlm. 100).
Syekh Ibnu Taymiyah di atas memilih takwil
ijmali yang hanya mengambil redaksi ayat dan hadits secara global tapi menolak
makna literal sebagai “bertempat secara fisik” seperti halnya seluruh jism di
dunia ini. Inilah akidah Ahlussunnah wal Jamaah yang telah disepakati seluruh
ulama dari berbagai kalangan, seperti dinyatakan oleh Qadli Iyadl di atas.
Wallahu a’lam. []
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU
Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar