Spiritualitas
Korona
Oleh:
Yudi Latif
Seseorang
berjalan di ambang kelam krisis, mengharap Sang Guru memberi cahaya penuntun.
”Berilah aku cahaya yang memungkinkanku melangkah aman menuju kegelapan.” Guru
itu berkata, ”Pergilah menuju kegelapan dan letakkan tanganmu pada tangan
Tuhan. Hal itu lebih baik bagimu ketimbang berharap cahaya biasa, lebih aman
daripada jalan yang dikenal.”
Begitulah
wejangan Raja George VI kepada bangsa Inggris saat mengarungi kegelapan panjang
melewati depresi ekonomi dunia tahun 1930-an. Sebuah krisis terjadi ketika
normalitas terdisrupsi, formula-formula umum yang dikenal tak memberi jalan
keluar. Pada momen seperti itu diperlukan keinsafan dan kepasrahan. Ada resep
lain yang tak sepenuhnya kita kenali, ada jalan hidup lain yang lupa kita
lalui; ada kerendahan hati untuk berserah diri kepada sumber segala cahaya.
Wabah
korona mendisrupsi rutinitas hidup, cara alam mengingatkan manusia bahwa semua
diri terkoneksi dengan sesuatu yang lebih besar dan lebih tinggi. Di bawah
ancaman korona, semua diri tular-menular; semua bangsa papar-memapar; semua
kekuatan tembus-menembus. Virus korona bisa menggerayangi segala agama dengan
segala klaim kebenaran; semua ras tanpa diskriminasi; segala jabatan tanpa hak
istimewa; segala adidaya tanpa hak veto.
Korona
mendorong kita kembali ke jalan spiritualitas yang diabaikan, dengan menyinari
relung hati keimanan insani. Bahasa Indonesia memiliki sebutan pas untuk kata
iman itu, yakni ”percaya”. Berasal dari kata ”bercahaya”. Tersirat pengertian
bahwa orang beriman hatinya harus memancarkan cahaya; bahwa cermin hati yang
kotor tak bisa memantulkan nur Ilahi dan tak bisa jadi wahana becermin diri.
Untuk
membersihkan hati yang kotor, diperlukan jalan spiritualitas. Dari bahasa
Latin, spiritus, yang artinya ”menyala” (menyalakan cahaya hati) atau
”bernapas” (menyegarkan rongga jiwa). Dalam kosmologi Nusantara, cahaya jiwa
itu dinyalakan melalui konektivitas yang dipancarkan ke tiga arah (triadik).
Dalam kosmologi Batak Toba dan ”I La Galigo” Bugis-Makassar, relasi triadik itu
diarahkan untuk membangun relasi harmonis dengan ”Dunia Atas” (Tuhan), ”Dunia
Tengah” (manusia), dan ”Dunia Bawah” (alam).
Dalam
kosmologi Tritangtu
(tiga kepastian) Sunda, relasi triadik itu dikembangkan dalam kerangka Aji Luhung (asah keluhuran
ketuhanan), Aji Komara
(asah aura antarmanusia), dan Aji
Wiwaha (asah perawatan alam semesta). Dalam kosmologi Hindu, relasi
triadik itu bernama Tri Hita
Karana (tiga penyebab kebahagiaan), yakni keharmonisan hubungan
”manusia dengan Tuhan-nya”, ”manusia dengan alam sekitar”, serta ”manusia
dengan sesamanya”.
Dalam
kosmologi Khonghucu, relasi triadik itu bernama Thian (Yang Transenden), ti (alam semesta), dan ren (kemanusiaan). Dalam
kosmologi Islam, relasi triadik itu diarahkan untuk menguatkan ikatan kasih
”manusia dengan Allah” (hablun
min-Allah), dengan ”sesama manusia” (hablun min al-annas), dan dengan ”alam
semesta” (hablun min
al-ardhi wa al-samaawaati/hablun min al-alam).
Dalam
Pancasila, relasi triadik dikembangkan dengan semangat ketuhanan yang
berkebudayaan, yang memancarkan relasi ketuhanan yang lapang dan toleran (sila
pertama); Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang memancarkan relasi kasih
bermartabat dalam hubungan sesama manusia (sila kedua); dan Persatuan
Indonesia, yang memancarkan semangat kohesivitas dalam perbedaan, dengan
mengembangkan semangat kasih dalam relasi dengan ruang hidup (Tanah Air) dan
pergaulan hidup kebangsaan (sila ketiga).
Poros
tengah yang jadi simpul pertemuan ketiga relasi itu ialah manunggaling
kawula-gusti (menyatunya mikrokosmos dan makrokosmos); yang memijarkan cahaya
kasih. Di bawah terang kasih, interaksi manusia dituntun oleh ”kaidah emas”.
Dalam kalimat negatif, kaidah itu menggariskan; ”Janganlah berbuat sesuatu
kepada orang lain yang engkau sendiri tak ingin diperlakukan seperti itu.”
Dalam kalimat positif: ”Cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu
sendiri.”
Dalam
istilah Indonesia tulen, kaidah emas itu tersimpul dalam semangat gotong
royong. Yakni, meminjam ungkapan Soekarno, semangat ”pembanting tulang bersama,
pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat
kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua”.
Dalam
kearifan Sunda, semangat gotong royong tersimpul dalam petitih; ”silih asih,
silih asah, silih asuh”. Dalam kearifan Melayu tersimpul dalam peribahasa,
”asam di gunung, garam di laut, bersatu dalam belanga”. Dalam kearifan
masyarakat Maluku dan Papua tersimpul dalam istilah basudara (bersaudara,
berasal dari kata ”se-udara”)—bahwa apa pun perbedaan di antara kita, sejauh
masih menghirup udara yang sama, kita semua kerabat.
Dalam
kearifan Jawa, hal itu tersimpul dalam peribahasa hamemayu hayuning bawana (mempercantik
keindahan dunia, bukan merusak keindahan dunia). Dalam ajaran Hindu tersimpul
dalam semangat tat twam asi
(aku adalah engkau, engkau adalah aku). Dalam ajaran Buddha tersimpul dalam doa
”semoga semua makhluk berbahagia”. Dalam ajaran Kristiani tersimpul dalam
semangat ”kasih”. Dalam ajaran Islam tersimpul dalam semangat rahmatan lilalamin (kasih sayang
bagi seru sekalian alam).
Demikianlah,
wabah korona mengingatkan kita agar senantiasa eling dan waspada. Bahwa semua
manusia adalah ahli waris jagat yang sama dengan hulu mata air spiritualitas
yang sama. Kebahagiaan hidup bersama akan terengkuh manakala kita bisa
menyalakan cahaya iman dan pengetahuan sebagai pelita jiwa, dengan membangun
relasi harmonis dengan Sang Pencipta, sesama manusia, alam semesta. Semua
relasi itu bisa dihidupi manakala di pusat jiwa kita terpancar cahaya cinta. []
KOMPAS, 9
April 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar