NU dan Pemilu Pertama
di Indonesia Tahun 1955
NU yang semula
berdiri sebagai jam'iyah diniyah akhirnya memilih menjadi partai politik.
Sebelum itu, meminjam analisa Martin van Bruinessen (NU tradisi, relasi-relasi
kuasa, pencarian wacana baru, LKiS Jogja, 2009), untuk memahami orientasi
politik NU secara lebih jelas dan secara global, hendaknya terlebih dahulu kita
membaca bagaimana NU berjalan dalam sebuah periodisasi. Paling tidak sampai
sebelum pemilu 1955.
Pada 1926-1942, tentu
saja pada masa Indonesia masih dalam cengkraman kolonial Belanda. Pada
masa-masa inilah NU abstain dari dunia politik. Semua gerakan NU waktu itu,
murni untuk mengembangkan, melestarikan, dan mempertahankan ajaran Islam
Ahlussunnah wal jama’ah, melalui pengajian-pengajian umum, pengajaran agama,
dan juga diskusi-diskusi di beberapa pesantren. Pada masa ini pula para
pemimpin NU menggagas berdirinya MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) sebagai
wadah perkumpulan seluruh organisasi umat Islam.
Periode kedua
1942-1945, yakni pada masa pendudukan Jepang. Pada masa inilah NU sudah mulai
terlibat dalam dunia politik. Para pemimpin NU banyak dilibatkan oleh Jepang
dalam mengurus Shumubu, kantor urusan agama (cikal bakal berdirinya Departemen
Agama). Beberapa pemuda NU juga aktif di barisan Hizbullah dan Sabilillah,
sayap militer organisasi Islam, yang murni mencita-citakan adanya kemerdekaan
untuk bangsa Indonesia. Sayap militer ini berbeda dengan PETA yang dirancang
untuk membantu Jepang dalam perang pasifik. Bahkan para tokoh-tokoh NU adalah
komandan dan pimpinan tertinggi dalam Hizbullah dan Sabilillah.
Periode ketiga
1945-1949, yakni masa perang kemerdekaan. Pada masa ini NU terlibat secara
aktif dan radikal dalam politik.
Melawan tentara
sekutu dengan sayap militernya yang sudah lama terbentuk. para santri dan
pemuda NU bergabung dengan Hizbullah dan Sabilillah, memakai jimat dan senjata
apa adanya untuk melawan Belanda. Pada masa ini pula NU mengeluarkan “Resolusi
Jihad” sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan yang akan mencengkeram
Indonesia. NU juga mengkritik keputusan pemerintah yang menandatangani
perjanjian Linggarjati dan Renville dengan Belanda (yang sangat merugikan
Indonesia). Sikap ini jauh berbeda dengan sikapnya saat Indonesia masih dalam
penjajahan Belanda dimana NU sama sekali tidak menyentuh persoalan politik.
Kemudian NU bergabung
dengan organisasi-organisasi Islam lainnya membentuk Masyumi. Namun NU banyak
mengalami kekecewaan di dalam Masyumi yang akhirnya membentuk partai sendiri.
Pilihan yang sulit untuk menjadi partai sebab harus berpisah dengan partai yang
didirikan dan dibesarkan NU sendiri.
Menurut KH Saifuddin
Zuhri dalam Secercah Dakwah (1983) NU memutuskan berpisah dengan partai yang
turut didirikannya itu karena ketidakcocokan mengenai sturktur organisasi dan
praktik demokrasi yang, menurut keyakinan NU, sangat merugikan perjuangan Islam
dan umum. Lalu NU menjelma menjadi partai politik dari tahun itu hingga 1984.
Kiai Saifuddin Zuhri
memberikan catatan bahwa NU keluar dari Masyumi adalah pilihan paling terakhir
setelah berunding berulang-ulang, mengirimkan delegasi berkali-kali. Namun
tanpa hasil. Hal ini jalan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dilakukan
partai lain waktu itu ketika melakukan pisah jalan.
Sebagian pengamat
sering menyalahartikan perpisahan itu. Mereka menilai NU merusak persatuan umat
Islam. Itu merupakan penilaian yang salah. Gen NU dalah gen berjamaah, bersatu.
Karena itulah, selepas keluar, NU membentuk Liga Muslim Indonesia bersama PSII,
Perti dan Darud Dakwah wal Irsyad Makassar.
Bersatu dengan
seluruh elemen umat Islam adalah cita-cita NU. Terpaksa keluar dari sebuah
perkumpulan mana kala hal prinsipil tidak terpenuhi.
“Bagi umat Islam,
menyatukan diri dalam satu partai ataukah berdiri sendiri-sendiri bukanlah
masalah, karena itu tidak mutlak. Umat Islam selamanya satu, dan sanggup
memperlihatkan kesatuannya lebih kompak dan homogen jika keadaan memanggil. Hal
itu telah dibuktikan dalam sejarah berulang-ulang,” tulis Kiai Saifuddin di buku
yang sama.
Kehendak NU bersatu
dengan elemen umat Islam telah dibuktikan sebelumnya dengan membidani Majelis
Islam A'la Indonesa (MIAI) pada masa penjajahan Belanda 1937. Dengan duduk
bersama perwakilan elemen umat Islam, NU berharap perdebatan furuiyah yang
marak terjadi pada tahun-tahun itu terhenti. NU menilai, perdebatan semacam itu
hanya merugikan umat Islam sendiri, terutama kaum awam.
Dari MIAI ini, pada
zaman penjajahan jepang, kemudian menjelma jadi Masyumi. NU tetap berada di
dalamnya.
Bersama Perti, sebuah
organisasi yang didirikan di Sumatera Barat pada 1930, jauh sebelumnya, di
tahun 1940-an, NU memiliki hubungan erat, paling tidak di antara tokohnya. Hal
itu tiada lain karena sesama berhaluan Ahlussunah wal Jamaah.
Menurut KH Saifuddin
Zuhri dalam Secercah Dakwah (1983) NU memutuskan berpisah dengan partai yang
turut didirikannya itu karena ketidakcocokan mengenai sturktur organisasi dan
praktik demokrasi yang, menurut keyakinan NU, sangat merugikan perjuangan Islam
dan umum. Lalu NU menjelma menjadi partai politik dari tahun itu hingga 1984.
Kiai Saifuddin Zuhri
memberikan catatan bahwa NU keluar dari Masyumi adalah pilihan paling terakhir
setelah berunding berulang-ulang, mengirimkan delegasi berkali-kali. Namun
tanpa hasil. Hal ini jalan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dilakukan
partai lain waktu itu ketika melakukan pisah jalan.
Kembali lagi pada
pemilu 1955, NU memperoleh hasil yang memuaskan. NU berada di urutan ketiga.
Urutan pertama adalah Partai Nasionalis Indonesia (PNI) mendapatkan suara
8.434.653 (22,32 persen) dengan perolehan 57 kursi. Kedua Partai Masyumi
mendapatkan suara 7.903.886 (20,92 persen) dengan perolehan 57 kursi. Ketiga,
Partai Nahdlatul Ulama (NU) mendapatkan suara 6.955.141 (18,41 persen) dengan perolehan
45 kursi. Keempat, Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapatkan suara 6.179.914
(16,36 persen) dengan perolehan 39 kursi. []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar