Logika dan ‘Shauma Ghadin’
dalam Lafal Niat Berpuasa
Lafal sebuah niat untuk beribadah disusun
sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan persoalan baik secara fiqih, bahasa,
maupun logika. Salah satu lafal niat puasa Ramadhan yang sudah umum
dipergunakan dan tidak menimbulkan persoalan adalah sebagaimana di bawah ini:
نَوَيْتُ
صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin 'an adâ'i fardhi syahri
Ramadhâni hâdzihis sanati lillâhi ta'âla.
Artinya: “Aku berniat puasa esok hari untuk
menunaikan fardhu di bulan Ramadhan tahun ini, karena Allah ta'ala.”
Dalam bacaan niat tersebut terdapat kata-kata
shauma ghadin yang artinya puasa esok hari. Digunakannya kata-kata tersebut
logis karena niat puasa diucapkan pada hari sebelumnya, yakni umumnya di malam
hari setelah shalat tarawih. Jadi kalau niat seperti itu diucapkan setelah
berjamaah shalat tarawih, misalnya pada hari Senin pukul delapan malam, maka
yang dimaksud dengan shauma ghadin adalah puasa pada hari Selasa yang dimulai
dari saat Shubuh.
Hal seperti itu tentu saja benar sebab sudah
menjadi kebiasaan sehari-hari bahwa pergantian hari dimulai pada pukul 12 malam
atau yang lebih dikenal dengan istilah pukul 00.00 meskipun menurut kalender
Hijiriah yang berdasarkan pada gerak rembulan perubahan hari dan tanggal
dimulai dari saat tenggelamnya matahari.
Persoalannya adalah ketika niat puasa
diucapkan pada saat selesai makan sahur menjelang waktu Shubuh. Misalnya,
seseorang tidak sempat shalat tarawih pada hari Kamis malam pukul 20.00 tanggal
4 Ramadhan karena suatu alasan. Hal ini menjadikannya lupa tidak mengucapkan
niat bepuasa. Pada saat sahur ia menyadari belum melakukan niat puasa pada
malam hari sebelumnya. Ketika selesai sahur ia mengucapakan niat sebagaimana
bacaan di atas dengan mengucapkan kata-kata shauma ghadin.
Oleh karena kata-kata itu diucapkan menjelang
Shubuh, maka hari itu adalah Jumat tanggal 5 Ramadhan. Kata-kata shauma ghadin
yang diucapkan pada saat itu secara logika berarti puasa untuk hari Sabtu
tanggal 6 Ramadhan. Secara fiqih hal ini mungkin tidak menjadi persoalan, dalam
arti tetap sah, sepanjang yang dimaksud shauma ghadin adalah puasa pada hari
Jumat tanggal 5 Ramadhan. Tetapi secara logika atau manthiq dan bahasa menjadi
persoalan karena tidak sesuai dengan cara berpikir logis dan penggunaan diksi
yang pas.
Solusinya adalah kata-kata shauma
ghadin (puasa esok hari) dalam lafal niat puasa yang diucapkan pada
saat sahur bisa diganti menjadi shaumal yaum, yang artinya puasa hari ini. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nhdlatul Ulama (UNU) Srakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar