Tetap Berpahala di Tengah
Wabah Corona
“Jumat besok masjid ini Jumatan lagi! Rugi saya kehilangan pahala begitu banyaknya.” Kalimat itu disampaikan sebagai instruksi dari ketua takmir sebuah masjid kepada anggota takmir yang lain dalam sebuah rapat.
Sebagian pengurus sempat terperangah
mendengar kalimat itu. Mengingat pada dua minggu sebelumnya, juga dalam sebuah
rapat takmir masjid, sang ketua juga yang begitu keukeuh untuk tidak
dilaksanakannya sahalat Jumat, dengan alasan menaati imbauan para ulama yang
berada di MUI dan NU di tingkat kabupaten/kota serta anjuran pemerintah dalam
upaya mencegah dan memutus mata rantai penyebaran virus Corona. Sang ketua
tetap tak mau menyelenggarakan shalat Jumat meski sebagian pengurus mengusulkan
untuk tetap menyelenggaran dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
“Sulit mengatur ratusan orang untuk menaati protokol kesehatan itu.” Demikian
ia beralasan.
Kini setelah dua kali masjidnya tak
menyelenggarakan shalat Jumat sang ketua menginstruksikan untuk kembali
menyelenggarakan shalat Jumat. “Rugi kehilangan banyak pahala,” alasannya.
Ketua takmir masjid itu tidak sendirian.
Sejak beredarnya surat edaran dari MUI dan NU di daerah banyak masyarakat
Muslim yang gelisah. Surat edaran dari kedua organisasi masyarakat itu pada
umumnya mengimbau agar takmir masjid tidak menyelenggarakan shalat Jumat selama
belum aman dari wabah Corona. Kalaupun tetap melaksanakan shalat Jumat dan
jamaah shalat maktubah maka diimbau untuk menerapkan protokol kesehatan yang
ditetapkan oleh pemerintah.
Pada awalnya banyak masjid yang libur tak
meneyelanggarakan shalat Jumat. Namun setelah dua tiga kali Jumat masyarakat
menjadi resah. Animo mereka untuk kembali melaksanakan shalat Jumat menguat,
dan tak sedikit takmir masjid yang tidak kuasa untuk tidak memenuhi permintaan
mereka.
Keresahan masyarakat Muslim semakin bertambah
manakala menjelang datangnya bulan suci Ramadhan kembali beredar surat edaran
dari Kementerian Agama Nomor 6 Tahun 2020 dan dari PBNU Nomor
3953/C.I.034/04/2020. Pada intinya pada kedua surat edaran itu masyarakat
Muslim diimbau untuk melaksanakan shalat tarawih di rumah masing-masing, bukan
di masjid atau mushalla. Kegiatan keagamaan lainnya seperti kuliah subuh,
kajian keagamaan, buka bersama, dan kegiatan lain yang melibatkan banyak orang
juga diimbau untuk tidak dilaksanakan.
Tak pelak, masyarakat banyak yang merasa
keberatan dengan imbauan kedua surat edaran tersebut. Apa nikmatnya Ramadhan
tanpa shalat tarawih? Apa artinya Ramdhan tanpa tadarus Al-Qur’an bersama di
masjid dan kegiatan keagamaan lainnya? Ramadhan itu bulan meraup
sebanyak-banyak pahala, kok malah dibatasi ibadahnya! Demikian mereka
menyayangkan. Kesempatan untuk mendapatkan sebanyak-banyak pahala dan nilai
kebaikan di sisi Allah akan terlewatkan begitu saja.
Kiranya apa yang diresahkan dan diberatkan
masyarakat Muslim sebagaimana di atas dapat dimaklumi. Seorang Muslim dan
mukmin yang terbiasa melakukan amalan ketaatan dan telah merasakan nikmatnya,
tentunya akan sangat merasa kehilangan semuanya. Kesempatan meraup
sebanyak-banyak rahmat Allah di bulan Ramadhan akan terlewatkan begitu saja,
padahal tahun depan belum tentu ada jaminan bertemu dengan Ramadhan lagi.
Meski demikian, semestinya bagi seorang
Muslim dan mukmin yang selama ini telah membiasakan melakukan amalan-amalan
ketaatan seperti di atas tak perlu terlalu merisaukan akan kehilangan meraup
sebanyak-banyak pahala dan rahmat dari Allah. Karena ganjaran Allah itu akan
tetap ia dapatkan dan nikmati meskipun tanpa melakukan amalan tersebut
sebagaimana biasanya.
Bila kita pelajari lebih jauh, ada banyak
penjelasan dari Rasulullah dan para ulama yang menyatakan, bahwa seorang yang
telah membiasakan melakukan suatu amal ketaatan tertentu akan tetap mendapat
pahalanya meskipun ia tidak melakukannya, karena adanya alasan yang
menghalanginya, bukan karena kesengajaan.
Imam Bukhari di dalam kitab Shahih-nya
menulis sebuah sabda Rasulullah:
إِذَا
مَرِضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا
صَحِيحًا
Artinya: “Bila seorang hamba sakit atau
bepergian maka ditulis baginya seperti apa-apa yang selalu ia lakukan dalam
keadaan menetap dan sehat” (HR al-Bukhari).
Sementara Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab
Fathul Bȃri juga menuliskan sebuah hadits dari Sayidatina Aisyah yang
diriwayatkan oleh Imam Nasai:
مَا
مِنِ امْرِئٍ تَكُونُ لَهُ صَلَاةٌ مِنَ اللَّيْلِ يَغْلِبُهُ عَلَيْهَا نَوْمٌ
أَوْ وَجَعٌ إِلَّا كُتِبَ لَهُ أَجْرُ صَلَاتِهِ وَكَانَ نَوْمُهُ عَلَيْهِ
صَدَقَة
Artinya: “Tidaklah seseorang yang memiliki
(kebiasaan) shalat malam dikalahkan oleh tidur atau sakit kecuali ditulis
baginya pahala shalat malamnya, sedangkan tidurnya itu adalah sedekah baginya.”
Dari kedua hadits di atas bisa di ambil satu
pemahaman bahwa orang yang ketika dalam keadaan sehat memiliki kebiasaan
mengamalkan sebuah amalan tertentu, kemudian satu ketika ia tidak dapat
melakukan kebiasaannya itu disebabkan sedang menderita sakit, melakukan
perjalanan, atau karena terserang kantuk berat, maka ketika ia tidak
mengamalkan kebiasaannya itu ia tetap diberi pahala oleh Allah seperti ia
mengamalkannya.
Ini dikarenakan, seandainya tidak ada uzur
yang menghalanginya untuk melakukan amalan yang telah dibiasakan, maka tentunya
ia akan tetap mengamalkannya. Pemahaman dan kesimpulan ini juga disampaikan
oleh Ibnu Hajar dalam kitab yang sama yang menyatakan bahwa hal ini berlaku
bagi orang yang selalu melakukan ketaatan, kemudian ia terhalangi untuk
melakukannya, sedangkan niatnya bila tidak ada penghalang maka akan
melanggengkan melakukan ketaatan tersebut (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bȃrȋ
Syarh Shahȋhil Bukhȃri, [Beirut: Darul Fikr, 2007], juz VI, hal. 185).
Senada dengan Ibnu Hajar, Ibnu Bathal dalam
Syarah Shahȋh Bukhȃri-nya juga menuturkan, “Telah datang dari Rasulullah bahwa
orang yang membiasakan melakukan suatu ketaatan kemudian ia terhalangi oleh
sakit atau lainnya untuk melakukan kebiasaan itu, maka ditulis baginya apa-apa
yang selalu ia lakukan dalam keadaan sehat. Demikian pula orang yang tertidur
sehingga tidak mengamalkan hizibnya maka ditulis baginya pahala mengamalkan
hizib tersebut” (Ibnu Bathal Al-Qurthubi, Syarh Shahȋhil Bukhȃri, [Riyad: Maktabah
Ar-Rusyd, tt.], juz V, hal. 45).
Sementara dalam kitab ‘Umdatul Qȃri Badrudin
Al-Aini menyatakan:
أَن
من حَبسه الْعذر وَغَيره عَن الْجِهَاد وَغَيره من أَعمال الْبر مَعَ نِيَّة فِيهِ
فَلهُ أجر الْمُجَاهِد وَالْعَامِل
Artinya: “Orang yang tertahan oleh uzur dan
lainnya untuk melakukan jihad dan amalan-amalan baik lainnya disertai adanya
niat untuk melakukan amalan itu, maka baginya pahala orang yang berjihad dan
orang yang melakukan amalan baik” (Badrudin Al-Aini, ‘Umdatul Qȃri, [Beirut:
Darul Fikr, tt.], juz 14, hal. 130).
Berbagai penjelasan ulama di atas kiranya
dapat menjadi rujukan bagi umat Islam yang kini sedang dilanda wabah Corona.
Adanya imbauan dari pemerintah dan sejumlah ormas keagamaan Islam untuk tidak
melaksanakan berbagai ritual keagamaan di masjid, mushalla dan tempat-tempat
lainnya, serta menggantinya dengan melakukan di rumah, mestinya tak perlu
membuat seorang Muslim berkecil hati dan merasa kehilangan banyak pahala dari
berbagai ketaatan yang selama ini dilakukan.
Tidak dilakukannya berbagai amalan baik
sebagaimana biasanya bukan karena kesengajaan, namun karena adanya berbagai
alasan; adanya wabah penyakit, ikhtiar untuk mencegah dan memutus penularan
penyakit tersebut, dan juga menaati anjuran pemerintah dan para ulama. Itu semua
adalah uzur yang dengannya insyaallah Allah akan tetap memberikan pahala kepada
siapa saja yang selama ini biasa melakukan amalan baik namun kini tak bisa
melakukannya.
Mereka yang selama ini melakukan shalat lima
waktu berjamaah di masjid dan mushalla, shalat berjamaah dengan shaf yang
rapat, bersalaman setelah selesai shalat berjamaah dan ketika bertemu rekan,
selalu hadir melaksanakan shalat Jumat, rutin mengikuti kajian-kajian
keagamaan, selalu hadir di majelis maulid, manaqib, tahlil, yasinan, dan lain
sebagainya, akan tetap meraup pahala meskipun saat ini tak dapat melakukannya.
Ini dikarenakan, seandainya tidak ada wabah Corona yang menghalangi semua itu,
maka tentulah para pelaku amalan baik itu akan melanjutkan amalan-amalan
baiknya.
Bahkan bisa jadi, pahalanya akan lebih banyak
lagi. Mengapa demikian? Tidak dilakukannya amalan-amalan itu selama wabah
Corona adalah dalam rangka menaati imbauan umara dan ulama, juga dalam rangka
menjaga keselamatan jiwa sendiri dan orang lain. Bukankah semua itu juga amalan
yang diperintah oleh Allah dan Rasulullah? Maka, tidak dilakukannya
amalan-amalan itu selama adanya wabah dapat diartikan sebagai meninggalkan
perintah untuk melakukan perintah yang lain. Bukankah ini juga amal baik yang
berpahala?
Kalau kita kembali kepada apa yang ditulis
oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani di atas, di mana orang yang meninggalkan suatu amal
ketaatan karena ketiduran, maka tidurnya adalah sedekah dari Allah untuk orang
tersebut, maka kiranya tak ada salahnya bila kita berbaik sangka bahwa kondisi
seperti ini adalah sedekah Allah bagi kita untuk tetap mendapatkan pahala
dengan cara yang lebih mudah. Wallȃhu a’lam. []
Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok
Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif dalam kepengurusan PCNU Kota Tegal
dan menjadi penghulu di lingkungan Kementerian Agama Kota Tegal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar