Kajian Fiqih Jelang
Ramadhan
Berpuasa dan mengisi hari-hari bulan Ramadhan dengan serangkaian amal ibadah; tarawih, tadarus, taklim, dan amal ibadah lainya merupakan keinginan setiap orang yang jiwanya dibalut dengan iman dan takwa kepada Allah subhanahu wa ta'ala.
Meski Ramadhan tahun ini sedikit berbeda
dengan Ramadhan sebelumnya karena pandemi Covid-19/corona, tetapi antusias umat
Islam di Indonesia tampak tidak berkurang, bahkan bisa jadi tambah semangat
menjemput bulan penuh ampunan (maghfirah) ini.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, kamu
diwajibkan untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu
agar kamu bertakwa,” (Surat Al-Baqarah ayat 183).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallama
bersabda:
قَالَ
أَخْبِرْنِي مَا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ مِنَ الصِّيَامِ فَقَالَ صلى الله عليه وسلم
: شَهْرَ رَمَضَانَ، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا
Artinya, “Sahabat bertanya, ‘Kabarkan kepada
saya puasa apa yang diwajibkan bagi saya?’ Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallama menjawab, ‘Puasa bulan Ramadhan, kecuali bila kamu mau menambah dengan
yang tathawwu' (sunnah),’” (HR Al-Bukhari).
Sejarah disyariatkan puasa Ramadhan di mulai
sejak tanggal 10 Sya'ban tahun Ke-2 Hijriyah atau pada saat setelah umat Islam
diperintahkan untuk memindahkan arah kiblat dari sebelumnya Masjid Al-Aqsa,
palestina ke arah Masjidil Haram, Makkah.
Dalam ketentuan fiqih, umat Islam boleh
memulai puasanya bisa dengan cara:
1). Menyempurnakan bilangan bulan Sya'ban
menjadi 30 hari.
2). Dihitung dengan cara melihat hilal
(tanggal) bulan Ramadhan. Jika terjadi mendung, awan, asap, debu dan lain-lain,
maka sempurnakanlah bulan Sya'ban menjadi 30 hari (sebagaimana poin 1).
Informasi terlihatnya bulan boleh berdasarkan keterangan dari satu atau dua
orang laki-laki yang dinilai adil. (Muhammad Az-Zuhri, As-Sirajul Wahhaj, 164).
3). Pemerintah telah menetapkan (itsbat) awal
bulan Ramadhan berdasarkan persaksian orang yang melihat bulan.
4). Dugaan yang kuat dengan disertai usaha
yang maksimal bagi orang yang merasa sangat kesulitan mengetahui awal bulan
Ramadhan. (Syekh Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in,
168-169).
Menurut sebagian ulama Syafi’iyah, hasil
hisab untuk mengetahui awal bulan boleh dijadikan pedoman untuk menentukan awal
bulan.
Pendapat di atas merujuk pada hadits
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallama:
إذَا
رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ . رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
Artinya,“Jika kalian melihat bulan (hilal)
Ramadan, maka berpuasalah. Jika melihat bulan (hilal) Syawal, maka berbukalah.
Tetapi jika terlihat mendung di atas kalian, maka kira-kirakanlah,” (HR Bukhari
dan Muslim).
Arti kalimat فَاقْدُرُوا
لَهُ yang dimaksud dalam hadits di atas, menurut ulama yang meyakini
metode hisab adalah mengira-ngirakan keberadaan hilal dengan metode hisab.
Jika terjadi kesimpangsiuran atau
perselisihan antara hasil rukyat dan hisab perihal penetapan awal bulan
Ramadhan (sebagaimana juga penetapan awal Syawwal), maka ulama mengarahkan
untuk mengikuti penjelasan dan keputusan pemerintah.
Kewajiban Qadha Puasa
Sebelum memasuki bulan Ramadhan 1441 H tahun,
orang yang mempunyai utang puasa harus segera menggantinya (qadha) sebelum
Ramadhan tahun ini tiba. Jika tidak segera mengganti utang puasa tahun kemaren,
padahal ia mampu melaksanakannya hingga sampai masuk bulan Ramadhan tahun
sekarang, maka konsekuensinya di samping kewajiban qadha puasanya, ia juga
wajib bayar fidyah (tebusan) dengan cara memberi makanan kepada orang
fakir/orang miskin sesuai hitungan hari puasa yang ia tinggalkan.
Ukuran fidyah yang harus diberikan kepada
fakir miskin adalah 1 mud= 0,6 Kg atau 3/4 liter beras untuk satu hari puasa
yang ditinggalkan. Pembayaran fidyah dalam bentuk beras merupakan pendapat
mayoritas ulama.
Ada juga ulama yang memperbolehkan bayar
fidyah dalam bentuk uang jika hal itu dipandang lebih maslahat dan bermanfaat
untuk menutupi kebutuhan fakir miskin yang menerima fidyah. Wallahu 'alamu bi
haqiqatil hali. []
Ustadz Abdul Muiz Ali, Pengurus Lembaga
Dakwah PBNU dan juga Direktur Central Pendidikan dan Pelatihan Baca Kitab
Kuning Jakarta (CP2KJ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar