Selasa, 21 April 2020

(Ngaji of the Day) Kajian Fiqih Jelang Ramadhan


Kajian Fiqih Jelang Ramadhan

Berpuasa dan mengisi hari-hari bulan Ramadhan dengan serangkaian amal ibadah; tarawih, tadarus, taklim, dan amal ibadah lainya merupakan keinginan setiap orang yang jiwanya dibalut dengan iman dan takwa kepada Allah subhanahu wa ta'ala.

Meski Ramadhan tahun ini sedikit berbeda dengan Ramadhan sebelumnya karena pandemi Covid-19/corona, tetapi antusias umat Islam di Indonesia tampak tidak berkurang, bahkan bisa jadi tambah semangat menjemput bulan penuh ampunan (maghfirah) ini.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, kamu diwajibkan untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Surat Al-Baqarah ayat 183).

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallama bersabda:

قَالَ أَخْبِرْنِي مَا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ مِنَ الصِّيَامِ فَقَالَ صلى الله عليه وسلم : شَهْرَ رَمَضَانَ، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا

Artinya, “Sahabat bertanya, ‘Kabarkan kepada saya puasa apa yang diwajibkan bagi saya?’ Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallama menjawab, ‘Puasa bulan Ramadhan, kecuali bila kamu mau menambah dengan yang tathawwu' (sunnah),’” (HR Al-Bukhari).

Sejarah disyariatkan puasa Ramadhan di mulai sejak tanggal 10 Sya'ban tahun Ke-2 Hijriyah atau pada saat setelah umat Islam diperintahkan untuk memindahkan arah kiblat dari sebelumnya Masjid Al-Aqsa, palestina ke arah Masjidil Haram, Makkah.

Dalam ketentuan fiqih, umat Islam boleh memulai puasanya bisa dengan cara:

1). Menyempurnakan bilangan bulan Sya'ban menjadi 30 hari.

2). Dihitung dengan cara melihat hilal (tanggal) bulan Ramadhan. Jika terjadi mendung, awan, asap, debu dan lain-lain, maka sempurnakanlah bulan Sya'ban menjadi 30 hari (sebagaimana poin 1). Informasi terlihatnya bulan boleh berdasarkan keterangan dari satu atau dua orang laki-laki yang dinilai adil. (Muhammad Az-Zuhri, As-Sirajul Wahhaj, 164).

3). Pemerintah telah menetapkan (itsbat) awal bulan Ramadhan berdasarkan persaksian orang yang melihat bulan.

4). Dugaan yang kuat dengan disertai usaha yang maksimal bagi orang yang merasa sangat kesulitan mengetahui awal bulan Ramadhan. (Syekh Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi’in, 168-169).

Menurut sebagian ulama Syafi’iyah, hasil hisab untuk mengetahui awal bulan boleh dijadikan pedoman untuk menentukan awal bulan.

Pendapat di atas merujuk pada hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallama:

إذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ . رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

Artinya,“Jika kalian melihat bulan (hilal) Ramadan, maka berpuasalah. Jika melihat bulan (hilal) Syawal, maka berbukalah. Tetapi jika terlihat mendung di atas kalian, maka kira-kirakanlah,” (HR Bukhari dan Muslim).

Arti kalimat فَاقْدُرُوا لَهُ yang dimaksud dalam hadits di atas, menurut ulama yang meyakini metode hisab adalah mengira-ngirakan keberadaan hilal dengan metode hisab.

Jika terjadi kesimpangsiuran atau perselisihan antara hasil rukyat dan hisab perihal penetapan awal bulan Ramadhan (sebagaimana juga penetapan awal Syawwal), maka ulama mengarahkan untuk mengikuti penjelasan dan keputusan pemerintah.

Kewajiban Qadha Puasa

Sebelum memasuki bulan Ramadhan 1441 H tahun, orang yang mempunyai utang puasa harus segera menggantinya (qadha) sebelum Ramadhan tahun ini tiba. Jika tidak segera mengganti utang puasa tahun kemaren, padahal ia mampu melaksanakannya hingga sampai masuk bulan Ramadhan tahun sekarang, maka konsekuensinya di samping kewajiban qadha puasanya, ia juga wajib bayar fidyah (tebusan) dengan cara memberi makanan kepada orang fakir/orang miskin sesuai hitungan hari puasa yang ia tinggalkan.

Ukuran fidyah yang harus diberikan kepada fakir miskin adalah 1 mud= 0,6 Kg atau 3/4 liter beras untuk satu hari puasa yang ditinggalkan. Pembayaran fidyah dalam bentuk beras merupakan pendapat mayoritas ulama.

Ada juga ulama yang memperbolehkan bayar fidyah dalam bentuk uang jika hal itu dipandang lebih maslahat dan bermanfaat untuk menutupi kebutuhan fakir miskin yang menerima fidyah. Wallahu 'alamu bi haqiqatil hali. []

Ustadz Abdul Muiz Ali, Pengurus Lembaga Dakwah PBNU dan juga Direktur Central Pendidikan dan Pelatihan Baca Kitab Kuning Jakarta (CP2KJ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar