Menggugat Perppu? Ayolah…
Oleh: Moh. Mahfud MD
SEBUTANNYA Perppu Korona. Resminya bernama Perppu No 1 Tahun
2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk
Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19). Perppu ini sekarang digugat di MK
dan forum legislasi di DPR.
Kaget? Tidaklah. Sejak dulu hampir setiap ada perppu, selalu ada
yang menentang. ’’Biasa, kaleee,’’ kata anak zaman sekarang. Oleh sebab itu,
’’Ayo, gugat saja.’’ Tak ada yang harus ditakutkan dan tak ada yang perlu dirisaukan.
Karena ada yang meributkan, jadi banyak yang ingin tahu ihwal perppu tersebut.
Apa isinya? Apanya yang ditentang? Bagaimana menyikapinya?
Selamatkan Rakyat
Perppu ini dibuat untuk menyelamatkan rakyat dari keterpurukan
sosial dan ekonomi karena serangan virus korona. Rakyat harus diselamatkan
dengan pengobatan. Harus diberi bantuan sembako atau uang karena ekonomi macet,
harus diam di rumah, tidak bisa bekerja, bahkan banyak yang kehilangan
pekerjaan.
Untuk menolong rakyat karena ancaman-ancaman itu, pemerintah
memerlukan dana. Misalnya, untuk pengobatan di rumah sakit, membeli obat dan
alat-alat kesehatan, untuk bansos dalam bentuk sembako maupun uang tunai, untuk
penangguhan pembayaran cicilan atau bunga pinjaman di bank bagi yang tak lagi bisa
membayar, stimulus ekonomi, pengurangan pajak, dan lain-lain.
Semua itu disebut kebijakan jaringan pengaman sosial (social
safety net) dan stimulus ekonomi untuk melawan Covid-19. Tentu, itu memerlukan
banyak uang. Besarnya lebih dari Rp 405 triliun. Uang sebanyak itu tidak ada di
dalam APBN karena waktu UU APBN dibuat belum ada yang namanya korona.
Solusinya, dibuatlah perppu tersebut.
Isi perppu, ya mengadakan uang itu. Untuk menyelamatkan rakyat.
Termasuk dari memperbesar utang dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya
defisit anggaran lebih dari 3 persen dari PDB. Di dalam pasal 22 UUD 1945,
memang ada hak bagi pemerintah untuk membuat perppu jika ada kegentingan yang
memaksa.
Kegentingan Macam Apa?
Para penentang Perppu 1/2020 mengatakan, antara lain, tidak ada
kegentingan yang memaksa sehingga perppu harus dikeluarkan. Ya, silakan. Nanti
kita uji di DPR maupun di MK. Menurut presiden, dengan mengganasnya Covid-19,
sudah terjadi kegentingan yang memaksa. Menurut hukum, kegentingan yang memaksa
itu ditentukan berdasar hak subjektif presiden.
Hak subjektif presiden itu kemudian harus didukung dengan tiga
alasan seperti yang ditentukan dalam Putusan MK No 138/PUU-VII/2009. Yaitu, ada
kebutuhan mendesak yang harus diselesaikan berdasar UU, UU yang dimaksud tidak
ada atau ada tetapi tidak memadai sehingga terjadi kekosongan hukum, dan
kekosongan hukum tersebut tidak dapat dibuatkan UU dengan prosedur normal.
Presiden menganggap ada kegentingan yang memaksa karena bencana
nonalam korona. Untuk menyelesaikannya, tidak ada UU yang memadai. Sebab, UU
APBN 2020 tidak menyediakan dana penanggungan bencana sebesar yang dibutuhkan.
Untuk membuat UU melalui prosedur biasa, juga tidak mungkin karena waktu yang sangat
mendesak. Maka dibuatlah perppu.
Postur Anggaran dan Kekebalan Hukum
Hal lain yang dipersoalkan adalah adanya ketentuan di dalam pasal
12 ayat (2) Perppu 1/2020 yang mengatribusikan pengaturan postur anggaran dalam
rangka refocussing dan realocation anggaran kepada perpres. Katanya, postur
anggaran tidak boleh diatur dengan perpres. Padahal, di dalam UU APBN yang
biasa pun, fokus dan alokasi anggaran memang selalu diatur dengan perpres.
Kalau mau melihat UU APBN 2020, misalnya, lihatlah pasal 8 ayat (4) UU No 20
Tahun 2019 tentang APBN. Isinya sama dengan pasal 12 ayat (2) perppu,
mengatribusikan postur anggaran kepada perpres.
Lebih dari itu, yang tampaknya dianggap gawat adalah adanya
ketentuan pada pasal 27 perppu bahwa pejabat-pejabat tertentu yang mengambil
keputusan dalam implementasi anggaran sesuai dengan perppu tidak dapat dituntut
secara hukum ke pengadilan. Itu dianggap memberikan ’’kekebalan hukum’’ bagi
para pejabat untuk bisa melakukan korupsi.
Tetapi, tudingan itu tidaklah tepat karena dua alasan. Pertama, di
dalam pasal itu dikatakan bahwa yang tidak bisa dituntut adalah para pejabat
yang melakukan tugasnya dengan iktikad baik dan berdasar peraturan
perundangan-undangan. Kedua, sebelum ini sudah banyak UU lain yang dibuat DPR
yang juga mengatur seperti itu, bahkan di dalam KUHP. Mari kita bedah
serba-sedikit.
Secara prinsip, siapa pun tidak bisa dituntut secara hukum, tidak
bisa diajukan ke pengadilan untuk dipidana, jika melakukan sesuatu dengan
iktikad baik. Orang hanya bisa dijatuhi hukuman pidana jika melakukan tindakan
yang dilarang oleh hukum pidana sepanjang memenuhi dua unsur. Yakni, mens rea
(adanya niat jahat atau iktikad tidak baik) dan actus reus (perbuatannya yang
melanggar). Lah, kalau tidak ada mens rea (iktikad buruk), bagaimana orang mau
dihukum?
Lagi pula, nyatanya, sebelum ini DPR sudah banyak membuat dan
membenarkan adanya ketentuan yang dianggap memberi ’’kekebalan hukum’’ itu.
Saya bisa menyebutnya, minimal delapan UU. Yaitu, KUHP (pasal 50 dan 51), UU
Pengampunan Pajak (pasal 22), UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem
Keuangan (pasal 48), UU Bank Indonesia (pasal 45), UU Ketentuan Umum Perpajakan
[pasal 36A (ayat 5)], UU Ombudsman (pasal 10), UU Advokat (pasal 16), dan UU
MD3 [pasal 224 (ayat 1)]. Isinya semua sama dengan isi pasal 27 perppu yang
digugat ini: ’’memberi kekebalan hukum bagi pejabat yang melaksanakan tugasnya
dengan iktikad baik’’.
Khusus untuk UU MD3 [pasal 224 ayat (1)], DPR malah memberikan
’’kekebalan hukum’’ kepada dirinya sendiri sehingga anggota-anggotanya tidak
bisa dituntut di pengadilan karena tugas dan jabatannya. Sama saja, kan? Lebih
dari itu, melalui putusan No 26/PUU-XI/2013, MK membenarkan pemberian
’’kekebalan hukum’’ kepada advokat saat bertugas. Yang penting mens rea (sikap
batinnya) tidak mengandung iktikad tidak baik.
Penentangan politik di DPR dan judicial review ke MK merupakan
bukti bahwa demokrasi dengan bawaan checks and balances yang kita anut ternyata
berjalan. Kalau saya sih, bergairah melihat penentangan terhadap Perppu
Covid-19, baik yang melalui political review dan legislative review di DPR
maupun yang melalui judicial review di MK. Jika semua berniat baik dan bersikap
jujur, hasil akhirnya akan baik juga. []
JAWA POS, 23 April 2020
Moh. Mahfud MD | Menko Polhukam RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar