Asal-usul Susunan Lafal
Niat Puasa Ramadhan
Ulama bersepakat bahwa niat terletak di dalam
hati dan tidak wajib dilafalkan. Namun melafalkannya dianjurkan atau
disunnahkan sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i dan dinukil oleh Imam
Nawawi dalam al-Majmu’:
ومحل
النية القلب ولا يشترط نطق اللسان بلا خلاف، ولا يكفي عن نية القلب ولكن يستحب التلفظ
مع القلب
“Semua sepakat bahwa tempat niat itu adalah
hati dan tidak disyaratkan pengucapannya secara lisan. Tak cukup niat hati,
namun disunnahkan untuk melafalkan (dengan lidah) bersamaan dengan niat di
hati.” (Imam Nawawi, al-Majmu’, Riyadh, Dârul ‘Âlamil Kutub, juz 6, halaman
248)
Dalam kitab I’anatut Thalibin pada bab Puasa
juga telah dijelaskan bahwa niat itu harus di hati, sedangkan mengucapkannya
adalah sunnah atau dianjurkan:
النيات
با لقلب ولا يشترط التلفظ بها بل يندب...
“Niat itu dengan hati, dan tidak disyaratkan
mengucapkannya, karena mengucapkan niat itu disunnahkan/dianjurkan.” (Sayid
Bakri, I’anatut Thalibin, Surabaya, Hidayah, halaman 221)
Kadang di masyarakat masih terjadi perbedaan
pendapat antara mereka yang sudah membiasakan diri talaffudh (melafalkan) niat
dan mereka yang menghindari praktik tersebut. Perbedaan paham adalah hal yang
lumrah dan terjadi sejak lama. Hanya saja, masing-masing harus tahu porsi
masing-masing.
Bagi masyarakat yang terbiasa melafalkan
niat, jangan sampai menjadikan lafal niat itu seakan-akan bagian dari rukun,
padahal tidak ada ulama yang mewajibkannya. Jangan menilai bahwa tidak sah
ibadah yang tidak melafalkan niat.
Fakta kondisi masyarakat di lapangan kadang
unik. Ada sebagian di antara mereka yang belum mengerjakan ibadah tertentu
dengan alasan belum bisa/belum hafal lafal niatnya. Atau bahkan ada sebagian
jamaah meragukan keabsahan shalat imam masjid hanya karena mereka tidak
mendengar imam melafalkan niat shalat lewat mikrofon kecil yang menempel di
dada imam. Yang demikian agak berlebihan, karena niat hanya disyaratkan di
dalam hati.
Demikian juga bagi mereka yang memakruhkan
pun harus bersikap proporsional. Sebab, bagaimanapun melafalkan niat tidak
mengurangi sedikitpun nilai yang ada di dalam hati. Talaffudh niat juga
bermanfaat setidaknya bagi mereka yang kadang dihinggapi keraguan apakah sudah
berniat atau belum—mereka baru mantap ketika niat dalam hati disertai dengan
melafalkannya secara lisan. Itulah mengapa sering kita dengar pelafalan niat
puasa, misalnya tiap selepas tarawih, oleh umat Islam di Tanah Air.
Lantas, bagaimana asal usul susunan lafal
niat puasa yang akrab kita dengarkan sekarang?
Dalam mazhab Syafi’i, niat tak hanya
menyengaja melakukan sesuatu (qashdul fi’li), tapi juga mesti disertai
kejelasan jenis ibadah secara spesifik (ta”yîn), serta ketegasan status
kefardhuannya (fardliyyah) bila ibadah itu memang fardhu. Praktik niat puasa adalah
pada malam hari hingga terbit fajar, dan disunnahkan melafalkannya.
Untuk itu ulama Syafi’iyah menawarkan susunan
redaksi niat yang sesuai dengan tata cara berniat tersebut. Disusunlah sebuah
lafal niat yang kemudian sering kita dengar hingga kini di masjid-masjid atau
madrasah-madrasah di Indonesia yang mayoritas pendudukanya bermazhab Syafi’i.
Imam An-Nawawi, misalnya, menuliskan bahwa:
صِفَةُ
النِّيَّةِ الْكَامِلَةِ الْمُجْزِئَةِ بِلَا خِلَافٍ أَنْ يَقْصِدَ بِقَلْبِهِ
صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
“Bentuk niat yang sempurna adalah dengan
sengaja hati bermaksud berpuasa esok hari untuk menunaikan ibadah fardhu di
bulan Ramadhan tahun ini, karena Allah ta'ala”. (Imam Nawawi, al-Majmu’,
Riyadh, Dârul ‘Âlamil Kutub, juz 6, halaman 253)
Dari sini hadirlah redaksi lafal niat puasa
yang sering diucapkan:
نَوَيْتُ
صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ لله تَعَالىَ
“Aku sengaja berpuasa esok hari untuk
menunaikan ibadah fardhu di bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta'ala”.
Tradisi melafalkan niat puasa Ramadhan itu
tidak lepas dari pedoman niat dalam pandangan mazhab Imam Syafi’i sebagaimana
penjelasan singkat di atas. Mengapa dilaksanakan secara bersama-sama dan usai
shalat tarawih?
Hal ini tak lepas dari kearifan para ulama Nusantara untuk bersikap hati-hati dari
lupa melaksanakan salah satu rukun puasa tersebut. Manusia adalah tempatnya
lupa, sementara keabsahan puasa Ramadhan pertama-tama dinilai dari niatnya.
Tentu yang demikian tanpa mengabaikan keyakinan bahwa walaupun tidak diucapkan
setelah shalat tarawih atau bahkan tidak diucapkan sama sekali—yang penting
dari sejak malam dan sebelum subuh hati kita sudah berniat untuk berpuasa—puasa
sudah sah.
Semoga Allah menerima amal ibadah puasa kita,
dan semoga Allah menganugerahkan ketakwaan kepada kita semua. Aamin. Wallahu
A’lam. []
Aang Fatihul Islam, Ketua PC LDNU Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar