Virus Corona, Splinter Agama
Oleh: Azyumardi Azra
Apa hubungan antara virus corona atau popular juga sebagai
Covid-19 dengan agama? Dalam wacana, percakapan atau bahkan perdebatan tentang
virus mematikan yang telah menjadi pandemi global lebih terkait dengan hal
ihwal kesehatan atau sanitasi, bukan dengan agama.
Perbincangan juga lebih terkait dengan dampak ekonomi luar biasa
yang diakibatkan virus corona. Dampak ekonominya mencakup hampir semua sektor
sejak dari ekonomi formal sampai informal; sejak dari sektor digital dan jasa
sampai tradisional.
Tapi menjawab pertanyaan di awal, wabah virus corona sejak wabah
meluas melibatkan langsung dan tidak dengan agama, khususnya agama-agama dengan
banyak penganut secara global seperti Kristianitas, Islam, Hindu atau Budha.
Respon agama terhadap wabah corona terkait dengan sentimen, teologi dan praksis
keagamaan di kalangan umat beragama.
Ada kalangan umat dari agama berbeda yang meyakini teologi dan
menjalankan praksis keagamaan tertentu yang kontra-produktif dengan usaha
membendung penyebaran wabah Covid-19. Mereka ini dapat disebut kelompok
splinter—kalangan umat beragama yang berbeda dengan arus utama (mainstream)
penganut agama masing-masing.
Simaklah kasus-kasus di kalangan umat beragama dari agama berbeda
menyikapi ledakan penyebaran virus corona. Sebagaimana bisa terlihat, pandangan
dan sikap itu tidak selalu selaras dengan upaya mengendalikan wabah
Covid-19. Kita simak dulu kasus umat Islam.
Ketika wabah corona mulai meledak di Wuhan, provinsi Hubei, China Daratan, sejak pada 31 Desember 2019 dengan jumlah korban tewas yang meningkat cepat, ada pandangan splinter umat Islam.
Ketika wabah corona mulai meledak di Wuhan, provinsi Hubei, China Daratan, sejak pada 31 Desember 2019 dengan jumlah korban tewas yang meningkat cepat, ada pandangan splinter umat Islam.
Intinya, virus corona adalah laskar ‘Ababil’ yang dikirim Allah
Swt untuk menghancurkan China yang menindas kaum Muslim Uyghur di Provinsi
Otonom Xin Jiang.
Sekadar diingat kembali, lasykar ‘Ababil’ atau kumpulan burung
dalam jumlah sangat banyak yang menjatuhkan batu ke atas pasukan gajah pimpinan
Abrahah yang ingin menghancurkan Ka’bah di Makkah. Hasilnya, lasykar Ababil
berhasil menghancurkan pasukan Abrahah.
Masalahnya, virus corona tidak pandang agama. Warga Wuhan tidak
hanya penganut Tao atau ateis-komunis, ada catatan resmi tentang Muslim China
Hui yang wafat terkena wabah corona. Populasi Muslim Hui Wuhan saja hampir 2
persen dari total penduduk 11 juta; mereka memiliki empat masjid utama di
Wuhan.
Ketika virus corona menyebar secara global terlihat jelas virus
corona tidak mempedulikan agama. Banyak warga negara berpenduduk mayoritas
Muslim seperti Iran, Indonesia, Malaysia, Mesir, Turki dan seterusnya juga
terkena. Sebelumnya beberapa media.com berorientasi Islam menyebarkan fake news
(berita bohong) Turki sebagai bebas virus corona.
Virus corona juga menyerbu negara berpenduduk mayoritas
Kristianitas semacam Filipina, Italia, Inggris, Amerika Serikat dan banyak
lagi. Tidak terkecuali negara berpenduduk mayoritas Budha semacam Thailand,
atau bermayoritas Hindu seperti India juga diserbu Covid-19.
Masih ada pandangan splinter di kalangan Muslim yang beredar dalam
media sosial; misalnya tentang orang-orang China daratan berbondong-bondong ke
masjid belajar berwudhu dan masuk Islam. Pandangan ini bersumber dari keyakinan
bahwa mereka yang berwudhu bakal selalu bersih dan karena itu imun dari virus corona.
Juga ada cerita bohong tentang dokter Palestina, Manar Saadi
al-Shenawi yang katanya diumumkan otoritas China sebagai telah menemukan
vaksin, Disebutkan vaksin itu manjur 100 persen untuk menyembuhkan mereka yang
terjangkit virus corona.
Kedua cerita di atas terbukti termasuk di antara 242 hoaks tentang
virus corona yang diumumkan Kominfo pekan lalu (17/3/2020). Tidak ada warga
China yang ramai-ramain belajar berwudhu dan masuk Islam; juga tidak benar ada
dokter Palestina yang menemukan vaksin anti Covid-19. Bahkan di dunia
internasional sekalipun belum ditemukan vaksin manjur.
Pandangan splinter lain muncul ketika Majelis Ulama Indonesia
(MUI); ulama al-Azhar Kairo, Mesir; dan hay’ah kibar ulama’ (ulama-ulama besar)
Arab Saudi mengeluarkan fatwa tentang kebolehan mengganti shalat Jumat di
masjid dengan shalat zhuhur di rumah atau tidak shalat berjamaah di masjid.
Kebolehan ini berlaku di daerah wabah bencana corona atau untuk mencegah
terjadinya penyebaran virus Covid-19.
Tetapi ada kalangan Muslim splinter dari pandangan mainstream.
Argumennya: kenapa harus takut pada virus corona? Bagi mereka, yang patut
ditakuti hanyalah Allah Swt saja. Argumen simplistis memakai kacamata kuda dan
literalisme ini didukung pejabat dan tokoh politik tertentu yang tidak punya
ilmu memadai dan pemahaman baik tentang ajaran Islam khususnya maqashid
al-syari’ah dan sejarah Islam. []
REPUBLIKA, 26 Maret 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar