Kiblat
Keberagamaan Dunia
Oleh: A
Helmy Faishal Zaini
Tidak
bisa dimungkiri, keberadaan Nahdlatul Ulama sebagai salah satu ormas Islam yang
menjunjung moderatisme sangat penting bagi upaya harmonisasi serta kelangsungan
kehidupan yang damai dan toleran.
Tak
kurang pendapat itu muncul dari Ibrahim Hudhud, mantan Rektor Universitas
Al-Azhar, Kairo. Nahdlatul Ulama (NU) berperan penting dalam menjaga persatuan
negara dan bangsa serta toleransi antar-umat beragama, antar-mazhab,
antar-etnik dan suku yang begitu bineka di Indonesia.
Sejatinya,
rel NU—meminjam bahasa KH Ahmad Shiddiq (1986)—adalah melanjutkan perjuangan
para pendiri NU, mulai dari Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, KH Wahab
Hasbullah, KH Bisri Syansuri, dan sederet pendiri lainnya. Juga para kiai atau
ulama pesantren generasi awal—dan para pemimpin pendahulu—guna memelihara dan
mempertahankan Islam ala Ahlissunnah
wal-Jamaah maupun untuk mengemban tanggung jawab kultural untuk menyangga
tradisi.
Selain
itu juga untuk menjaga keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) berdasarkan Pancasila yang oleh KH Ahmad Shiddiq sendiri pada Muktamar
Ke-27 tahun 1984 dirumuskan sebagai ”hasil final perjuangan umat Islam”.
Seluruh tingkat kepengurusan NU, dari pusat sampai anak ranting, sehela dan
sepenarikan napas dalam menjaga dan memelihara pengamalan ajaran Islam
Ahlisunnah wal-Jamaah dan terus mencermati perkembangan dan tegaknya NKRI.
Dalam
catatan saya, setidaknya pada dua dekade terakhir, penetrasi gerakan
keberagamaan yang anti-liyan cenderung mengafirkan, menuding, dan menyalahkan
pihak yang berseberangan memang menjamur. Sikap demikian—dalam hemat
saya—menjadi alarm bagi kita bahwa ada semacam problema serius yang menjadi
pekerjaan rumah kita bersama. Sikap anti-liyan yang cenderung memandang orang
lain yang berbeda pandangan sebagai ancaman dan bahkan musuh yang harus
ditumpas, diberangus, dan dimusnahkan adalah akar persoalan yang harus
bersama-sama kita carikan formula untuk mengatasinya.
Akar
masalah sesungguhnya barangkali berangkat dari rasa ketidaksiapan dalam
menerima perbedaan yang pada gilirannya melahirkan apa yang disebut sebagai
kebencian. Saya menyebut yang demikian ini sebagai ”biografi kebencian”.
Kebencian jadi penyakit sosial yang menggerogoti batang tubuh bangsa kita yang
bineka. Jika tidak segera kita atasi, tentu saja penyakit ”biografi kebencian”
itu akan semakin menjalar, menyerang, dan melumpuhkan tubuh kebangsaan kita.
Pada
tataran ini, apa yang dikatakan Emmanuel Levinas (1986) sangat relevan untuk
dikemukakan. Bahwa, sesungguhnya benih kebencian muncul ketika seseorang merasa
terusik dengan kehadiran orang lain, juga ketika kenyamanan dan kebebasan
seseorang dipertanyakan oleh orang lain. Di sinilah barangkali pekerjaan rumah
terbesar kita.
Sebagai
umat beragama, mula-mula yang patut untuk diajukan dan diinterogasikan pada
tiap-tiap pribadi kita: benarkah kita sudah yakin dengan keyakinan kita? Jika
jawabannya iya, tentu kita tidak akan pernah merasa terganggu dengan mereka
yang mengusik keyakinan kita. Persoalannya menjadi rumit tatkala kita—sebagai
umat beragama yang tentu saja memiliki keyakinan—tak benar-benar yakin dengan
keyakinan kita. Dalam bahasa Radhar Panca Dahana (2015), ”Tauhid yang Ilusif”,
yakni memeluk ideologi keyakinan yang manipulatif, menipu, dan fatamorgana.
Kita tidak benar-benar yakin dengan keyakinan kita. Akibatnya, tentu saja kita
mudah ”masuk angin”. Mudah sakit hati, tersinggung, marah, dan tidak siap
ketika berhadapan dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda
dengan kita.
Menariknya,
di NU para mursyid thariqah dan
kalangan nahdliyin pada umumnya cukup sigap menghadapi ”biografi kebencian”
yang saya maksudkan di atas. Kesigapan ini kami intensifkan melalui gerakan
deradikalisasi paham keagamaan. Kesiagaan kalangan nahdliyin tentu akan terus
ditingkatkan sesuai tantangan dan eskalasi gangguan yang dihadapi.
Strategi kebudayaan
Memelihara
atau mengembangkan ajaran Ahlissunnah wal-Jamaah penting dilakukan karena paham
Islam yang dikembangkan ulama-ulama Nusantara terdahulu sudah terbukti, dan
selalu teruji, mampu menyangga kebinekaan masyarakat Indonesia yang jadi basis
sosial bangsa dan negara Indonesia. Teologi Ahlissunnah wal-Jamaah menjadi
strategi kebudayaan sehingga NU jadi salah satu kekuatan non-koperasi dalam
gerakan kebangkitan nasional di awal abad ke-20, dalam gerakan merebut dan
mempertahankan kemerdekaan dan dalam memupuk kesetiaan kepada negara Indonesia
serta dalam menghadapi gerakan yang mengubah haluan negara kebangsaan
Pancasila.
Dengan
mengacu ke khitah Nahdliyah—meminjam Kiai Said Aqil Siroj (2011)—yang
menegaskan NU sebagai gerakan dakwah dan sosial keagamaan, di masa mendatang
akan meneguhkan NU sebagai ”syuhud
tsaqafah” atau gerakan kebudayaan. Dengan strategi tersebut,
kelanjutan perjuangan pengabdian NU terhadap bangsa dan negara ini di masa
mendatang akan terus ditingkatkan untuk mendorong peneguhan persatuan bangsa
dan penguatan kedaulatan negara di tengah benturan kepentingan antar-bangsa.
Peran NU
diletakkan sebagai kekuatan ketiga di luar lembaga-lembaga politik dan
lembaga-lembaga penyelenggara negara. Kekuatan NU bertumpu pada tiga tataran,
yakni (1) paham Ahlussunnah wal-Jamaah (di dalamnya antara lain ada fikrah nahdiyah yang
melahirkan Islam moderat), (2) nilai- nilai/tradisi, dan (3) lembaga- lembaga
budaya, mulai dari pesantren, jaringan thariqah,
hingga jaringan struktur sebagai infrastruktur organisasi yang tersebar di
seluruh pelosok Nusantara. Jaringan kekuatan tersebut sejauh ini efektif
memainkan peran sebagai penyangga bangsa di luar lembaga-lembaga politik dan
penyelenggara negara, yang belakangan ini mengalami kemerosotan legitimasi
karena lemah dalam menjalankan fungsi pokoknya.
Penting
untuk dikemukakan bahwa sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang
berorientasi keislaman dan kerakyatan, sekaligus sebagai wujud dari ajaran
Ahlissunnah wal-Jamaah, meminjam apa yang diwasiatkan KH Ahmad Shiddiq (1986),
NU akan terus-menerus memperjuangkan kepentingan rakyat, dengan cara tarbiyatur ruhiyah (mendidik
dan menyirami rohani) serta tazkiyatun
nafs (menyucikan jiwa). Upaya ini memang bernuansa esoteris,
tetapi dari yang esoteris itulah bangunan peradaban akan bisa kokoh. Dari yang
esoteris itulah karakter akan tegak berdiri. Dari yang esoteris itu pula mental
akan terbangun dengan baik. Dari sanalah sesungguhnya revolusi mental itu
dimulai.
Pengalaman sejarah
NU
memiliki pengalaman sejarah yang panjang, termasuk dalam menghadapi berbagai
peristiwa besar. Pengalaman sejarah itu yang ingin dipelajari orang lain,
termasuk dari luar negeri. Banyak ahli tarekat yang ingin belajar pada
pengalaman Indonesia, demikian juga para aktivis dan politisi dunia, termasuk
dari Afghanistan, Yaman, dan Jordania berusaha mencoba bertukar pengalaman
dengan kita bagaimana sebuah agama dan organisasi keulamaan bisa menjadi
perekat bagi keutuhan bangsa. Pengalaman berbangsa dan bernegara itu yang ingin
dibagi bersama bangsa lain, terutama dalam menegaskan hubungan agama dengan
negara, dan menerapkan ideologi negara Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.
Indonesia
memang multietnis, multi-agama dan ideologi, tetapi kerukunan sosial bisa
terjaga. Hal itu tidak lain karena kita memiliki ikatan spiritual yang
mendalam, serta memiliki ikatan ideologi yang kokoh ”kalimatun sawa’” bernama
Pancasila.
Secara
kontras bisa dibandingkan dengan Timur Tengah. Mereka relatif homogen secara
agama, bahkan etnis, tetapi mereka sulit bersatu bahkan selalu dalam
ketegangan. Hal itu tidak lain karena spiritualitas mereka keropos sehingga
rapuh.
Tak ada
sikap tawasuth (moderat), tawazun (proporsional
berimbang), dan tasamuh (toleran).
Karena itu, mereka ingin belajar pada kita, dan kita siap berdialog dan
bertukar pengalaman dengan mereka, sekaligus penting untuk dikemukakan bahwa
Indonesia siap menjadi kiblat keberislaman dan keberagamaan yang toleran, penuh
kepedulian, tepa salira alias tenggang rasa.
Selamat
Harlah Ke-93, NU. []
KOMPAS,
31 Januari 2019
A Helmy Faishal Zaini | Sekjen
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama