Kamis, 31 Januari 2019

(Do'a of the Day) 22 Jumadil Awwal 1440H


Bismillah irRahman irRaheem

In the Name of Allah, The Most Gracious, The Most Kind

Allaahummaghfirlii danbii wa adzhib ghaidha qalbii wa ajirnii minasy syaithaani.

Ya Allah, ampunilah dosaku, hilangkanlah marah di dalam hatiku, dan peliharalah aku dari godaan syetan.

Dari Kitab Al-Adzkar - Imam An-Nawawi, Bagian 16, Bab 5.

(Ngaji of the Day) Empat Cara Mengetahui Hadits Palsu


MUSTHALAH HADITS
Empat Cara Mengetahui Hadits Palsu

Hadits maudhu’ ialah perkataan bohong dan mengada-ada yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Informasi ini disampaikan dengan mengatasnamakan Nabi biasanya untuk tujuan popularitas, mengajak orang berbuat baik, ingin dekat dengan penguasa, dan tujuan lainnya.

Apapun motifnya, menyampaikan hadits palsu, apalagi membuatnya, tidak dibolehkan dalam Islam karena Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, kelak posisinya di neraka,” (HR Ibnu Majah). Dalam riwayat lain disebutkan,  “Siapa yang menyampaikan informasi tentangku padahal dia mengetahui informasi itu bohong, maka dia termasuk pembohong,” (HR Muslim).

Mahmud Thahan dalam Taysiru Musthalahil Hadits menjelaskan dua cara pemalsu hadits beroperasi. Kedua cara tersebut adalah:

إما أن ينشء الوضاع الكلام من عنده، ثم يضع له إسنادا ويرويه وإما أن يأخذ كلاما لبعض الحكماء أو غيرهم ويضع له إسنادا

Artinya, “Adakalanya pemalsu hadits membuat redaksi hadits sendiri, kemudian memalsukan sanad dan meriwayatkannya. Terkadang dengan cara mengambil kata-kata bijak dari orang lain, kemudian membuat sanadnya.”

Menurut Mahmud Thahan ada empat cara yang bisa digunakan untuk mengetahui hadits itu shahih atau bukan. Keempat cara tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, pengakuan dari pemalsu hadits itu sendiri. Misalnya, Abu ‘Ismah Nuh bin Abu Maryam pernah mengaku bahwa ia permah memalsukan hadits terkait keutamaan berapa surat dalam Al-Qur’an. Hadits palsu ini ia sandarkan kepada sahabat Ibnu Abbas RA.

Kedua, menelusuri tahun kelahiran orang yang meriwayatkan hadits dengan tahun wafat gurunya yang disebutkan dalam silsilah sanad. Kalau perawi hadits itu lahir setelah wafat gurunya, maka hadits tersebut bisa dikategorikan hadits palsu karena tidak mungkin keduanya bertemu.

Ketiga, melihat ideologi perawi hadits. Sebagian perawi hadits ada yang fanatik dengan aliran teologi yang dianutnya. Misalnya, perawi hadits Rafidhah yang sangat fanatik dengan ideologinya, maka hadits-hadits yang disampaikannya terkait keutamaan ahlul bait perlu ditelusuri kebenarannya.

Keempat, memahami kandungan matan hadits dan rasa bahasanya. Biasanya hadits palsu secara tata bahasa tidak bagus dan terkadang maknanya bertentangan dengan Al-Qur’an.

Demikianlah empat cara yang biasa digunakan dalam menulusuri keabsahan sebuah hadits. Apabila menemukan sebuah hadits yang tidak ditemukan dalam kitab hadits yang otoritatif, keempat cara tersebut bisa digunakan untuk membuktikan apakah hadits itu benar-benar dari Rasulullah atau tidak. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Helmy Faishal Zaini: Kiblat Keberagamaan Dunia


Kiblat Keberagamaan Dunia
Oleh: A Helmy Faishal Zaini

Tidak bisa dimungkiri, keberadaan Nahdlatul Ulama sebagai salah satu ormas Islam yang menjunjung moderatisme sangat penting bagi upaya harmonisasi serta kelangsungan kehidupan yang damai dan toleran.

Tak kurang pendapat itu muncul dari Ibrahim Hudhud, mantan Rektor Universitas Al-Azhar, Kairo. Nahdlatul Ulama (NU) berperan penting dalam menjaga persatuan negara dan bangsa serta toleransi antar-umat beragama, antar-mazhab, antar-etnik dan suku yang begitu bineka di Indonesia.

Sejatinya, rel NU—meminjam bahasa KH Ahmad Shiddiq (1986)—adalah melanjutkan perjuangan para  pendiri NU, mulai dari Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, dan sederet pendiri lainnya. Juga para kiai atau ulama pesantren generasi awal—dan para pemimpin pendahulu—guna memelihara dan mempertahankan Islam ala Ahlissunnah wal-Jamaah maupun untuk mengemban tanggung jawab kultural untuk menyangga tradisi.

Selain itu juga untuk menjaga keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila yang oleh KH Ahmad Shiddiq sendiri pada Muktamar Ke-27 tahun 1984  dirumuskan sebagai ”hasil final perjuangan umat Islam”. Seluruh tingkat kepengurusan NU, dari pusat sampai anak ranting, sehela dan sepenarikan napas dalam menjaga dan memelihara pengamalan ajaran Islam Ahlisunnah wal-Jamaah dan terus mencermati perkembangan dan tegaknya NKRI.

Dalam catatan saya, setidaknya pada dua dekade terakhir, penetrasi gerakan keberagamaan yang anti-liyan cenderung mengafirkan, menuding, dan menyalahkan pihak yang berseberangan memang menjamur. Sikap demikian—dalam hemat saya—menjadi alarm bagi kita bahwa ada semacam problema serius yang menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Sikap anti-liyan yang cenderung memandang orang lain yang berbeda pandangan sebagai ancaman dan bahkan musuh yang harus ditumpas, diberangus, dan dimusnahkan adalah akar persoalan yang harus bersama-sama kita carikan formula untuk mengatasinya.

Akar masalah sesungguhnya barangkali berangkat dari rasa ketidaksiapan dalam menerima perbedaan yang pada gilirannya melahirkan apa yang disebut sebagai kebencian. Saya menyebut yang demikian ini sebagai ”biografi kebencian”. Kebencian jadi penyakit sosial yang menggerogoti batang tubuh bangsa kita yang bineka. Jika tidak segera kita atasi, tentu saja penyakit ”biografi kebencian” itu akan semakin menjalar, menyerang, dan melumpuhkan tubuh kebangsaan kita.

Pada tataran ini, apa yang dikatakan Emmanuel Levinas (1986) sangat relevan untuk dikemukakan. Bahwa, sesungguhnya benih kebencian muncul ketika seseorang merasa terusik dengan kehadiran orang lain, juga ketika kenyamanan dan kebebasan seseorang dipertanyakan oleh orang lain. Di sinilah barangkali pekerjaan rumah terbesar kita.

Sebagai umat beragama, mula-mula yang patut untuk diajukan dan diinterogasikan pada tiap-tiap pribadi kita: benarkah kita sudah yakin dengan keyakinan kita? Jika jawabannya iya, tentu kita tidak akan pernah merasa terganggu dengan mereka yang mengusik keyakinan kita. Persoalannya menjadi rumit tatkala kita—sebagai umat beragama yang tentu saja memiliki keyakinan—tak benar-benar yakin dengan keyakinan kita. Dalam bahasa Radhar Panca Dahana (2015), ”Tauhid yang Ilusif”, yakni memeluk ideologi keyakinan yang manipulatif, menipu, dan fatamorgana. Kita tidak benar-benar yakin dengan keyakinan kita. Akibatnya, tentu saja kita mudah ”masuk angin”. Mudah sakit hati, tersinggung, marah, dan tidak siap ketika berhadapan dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda dengan kita.

Menariknya, di NU para mursyid thariqah dan kalangan nahdliyin pada umumnya cukup sigap menghadapi ”biografi kebencian” yang saya maksudkan di atas. Kesigapan ini kami intensifkan melalui gerakan deradikalisasi paham keagamaan. Kesiagaan kalangan nahdliyin tentu akan terus ditingkatkan sesuai tantangan dan eskalasi gangguan yang dihadapi.

Strategi kebudayaan

Memelihara atau mengembangkan ajaran Ahlissunnah wal-Jamaah penting dilakukan karena paham Islam yang dikembangkan ulama-ulama Nusantara terdahulu sudah terbukti, dan selalu teruji, mampu menyangga kebinekaan masyarakat Indonesia yang jadi basis sosial bangsa dan negara Indonesia. Teologi Ahlissunnah wal-Jamaah menjadi strategi kebudayaan sehingga NU jadi salah satu kekuatan non-koperasi dalam gerakan kebangkitan nasional di awal abad ke-20, dalam gerakan merebut dan mempertahankan kemerdekaan dan dalam memupuk kesetiaan kepada negara Indonesia serta dalam menghadapi gerakan yang mengubah haluan negara kebangsaan Pancasila.

Dengan mengacu ke khitah Nahdliyah—meminjam Kiai Said Aqil Siroj (2011)—yang menegaskan NU sebagai gerakan dakwah dan sosial keagamaan, di masa mendatang akan meneguhkan NU sebagai  ”syuhud tsaqafah” atau gerakan kebudayaan. Dengan strategi tersebut, kelanjutan perjuangan pengabdian NU terhadap bangsa dan negara ini di masa mendatang akan terus ditingkatkan untuk mendorong peneguhan persatuan bangsa dan penguatan kedaulatan negara di tengah benturan kepentingan antar-bangsa.

Peran NU diletakkan sebagai kekuatan ketiga di luar lembaga-lembaga politik dan lembaga-lembaga penyelenggara negara. Kekuatan NU bertumpu pada tiga tataran, yakni (1) paham Ahlussunnah wal-Jamaah (di dalamnya antara lain ada fikrah nahdiyah yang melahirkan Islam moderat), (2) nilai- nilai/tradisi, dan (3) lembaga- lembaga budaya, mulai dari pesantren, jaringan thariqah, hingga jaringan struktur sebagai infrastruktur organisasi yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Jaringan kekuatan tersebut sejauh ini efektif memainkan peran sebagai penyangga bangsa di luar lembaga-lembaga politik dan penyelenggara negara, yang belakangan ini mengalami kemerosotan legitimasi karena lemah dalam menjalankan fungsi pokoknya.

Penting untuk dikemukakan bahwa sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang berorientasi keislaman dan kerakyatan, sekaligus sebagai wujud dari ajaran Ahlissunnah wal-Jamaah, meminjam apa yang diwasiatkan KH Ahmad Shiddiq (1986), NU akan terus-menerus memperjuangkan kepentingan rakyat, dengan cara tarbiyatur ruhiyah (mendidik dan menyirami rohani) serta tazkiyatun nafs (menyucikan jiwa). Upaya ini memang bernuansa esoteris, tetapi dari yang esoteris itulah bangunan peradaban akan bisa kokoh. Dari yang esoteris itulah karakter akan tegak berdiri. Dari yang esoteris itu pula mental akan terbangun dengan baik. Dari sanalah sesungguhnya revolusi mental itu dimulai.

Pengalaman sejarah

NU memiliki pengalaman sejarah yang panjang, termasuk dalam menghadapi berbagai peristiwa besar. Pengalaman sejarah itu yang ingin dipelajari orang lain, termasuk dari luar negeri. Banyak ahli tarekat yang ingin belajar pada pengalaman Indonesia, demikian juga para aktivis dan politisi dunia, termasuk dari Afghanistan, Yaman, dan Jordania berusaha mencoba bertukar pengalaman dengan kita bagaimana sebuah agama dan organisasi keulamaan bisa menjadi perekat bagi keutuhan bangsa. Pengalaman berbangsa dan bernegara itu yang ingin dibagi bersama bangsa lain, terutama dalam menegaskan hubungan agama dengan negara, dan menerapkan ideologi negara Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Indonesia memang multietnis, multi-agama dan ideologi, tetapi kerukunan sosial bisa terjaga. Hal itu tidak lain karena kita memiliki ikatan spiritual yang mendalam, serta memiliki ikatan ideologi yang kokoh ”kalimatun sawa’” bernama Pancasila.

Secara kontras bisa dibandingkan dengan Timur Tengah. Mereka relatif homogen secara agama, bahkan etnis, tetapi mereka sulit bersatu bahkan selalu dalam ketegangan. Hal itu tidak lain karena spiritualitas mereka keropos sehingga rapuh.

Tak ada sikap tawasuth (moderat), tawazun (proporsional berimbang), dan tasamuh (toleran). Karena itu, mereka ingin belajar pada kita, dan kita siap berdialog dan bertukar pengalaman dengan mereka, sekaligus penting untuk dikemukakan bahwa Indonesia siap menjadi kiblat keberislaman dan keberagamaan yang toleran, penuh kepedulian, tepa salira alias tenggang rasa.

Selamat Harlah Ke-93, NU. []

KOMPAS, 31 Januari 2019
A Helmy Faishal Zaini | Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

(Hikmah of the Day) Sayyidah Nafisah, Ulama Perempuan Guru Imam Syafi’i


Sayyidah Nafisah, Ulama Perempuan Guru Imam Syafi’i

Ini kisah tentang perempuan suci, cicit dari Nabi Muhammad Saw. Ia juga seorang ilmuwan terkemuka di masanya, sehingga Imam Syafi’i pun berguru padanya. Sayyidah Nafisah (145 H -208 H), itulah namanya. Makamnya di Kairo, Mesir, sampai sekarang masih dipenuhi para peziarah.

Di luar masjid Sayyidah Nafisah, dijual buku yang mengupas biografi perempuan yang disebut-sebut sebagai sumber pengetahuan keislaman yang berharga (Nafisah al-‘Ilm), pemberani, sekaligus ‘abidah zahidah (tekun menjalani ritual dan asketis). Bahkan, sebagian orang mengatagorikannya sebagai wali perempuan dengan sejumlah keramat.

Sejak kecil, Sayyidah Nafisah sudah hafal Al-Qur’an dan setiap selesai membaca Al-Qur’an beliau selalu berdoa, “Ya Allah, mudahkanlah aku untuk berziarah ke makam Nabi Ibrahim”. Ia memahami bahwa Nabi Ibrahim adalah bapak moneteisme sejati, sekalligus bapak Nabi Muhammad lewat jalur Nabi Ismail yang notabene keturunan Nabi Ibrahim. Sedangkan Sayyidah Nafisah sendiri adalah keturunan dari Nabi Muhammad.

Dengan mengunjungi makam Nabi Ibrahim, boleh jadi ia berharap menarik benang merah perjuangan para leluhurnya. Ketika Allah mengabulkan doanya dan ia bisa berziarah ke makam kakek moyangnya, Nabi Ibrahim, terjadilah peristiwa spiritual (yang sebaiknya tidak perlu diceritakan di sini).

Ketika ia berusia 44 tahun, ia tiba di Kairo pada 26 Ramadhan 193 H. Kabar kedatangan perempuan yang luar biasa ini telah menyebar luas. Ia pun disambut oleh pebduduk Kairo yang merasa bersyukur didatangi oleh Sayyidah Nafisah. Ratusan orang tiap hari datang hendak menemuinya. Dari mulai berkonsultasi, meminta doa ataupun mendengar nasihat dan ilmu darinya.

Bahkan, dikabarkan banyak yang sampai kamping bermalam di luar kediamannya, menunggu kesempatan untuk bisa bertemu. Lambat laun, Sayyidah Nafisah merasa waktunya tersita melayani umat. Ia memutuskan untuk meninggalkan Kairo dan kembali ke Madinah agar bisa berdekatan dengan makam kakeknya, Nabi Muhammad Saw.

Tapi, penduduk Kairo keberatan dan memelas agar Sayyidah Nafisah membatalkan keputusannya untuk mudik ke Madinah. Gubernur Mesir turun tangan. Ia melobi Sayyidah Nafisah untuk bertahan di Kairo. Gubernur menyediakan tempat yang lebih besar baginya, sehingga kediamannya bisa
menampung umat lebih banyak. Gubernur juga menyarankan agar ia menerima umat hanya pada hari Rabu dan Sabtu saja. Di luar waktu itu, ia bisa kembali berkhalwat beribadah menyendiri.

Gubernur menunggu beberapa saat. Sementara Sayyidah Nafisah terlihat diam, menunggu petunjuk Allah. Akhirnya, setelah mendapat izinNya, ia pun menerima tawaran Gubernur dan memutuskan tinggal di Kairo sampai ajal menjemputnya.

Sebelum tiba di Mesir, Imam al-Syafi’i sudah lama mendengar ketokohan perempuan ulama ini dan mendengar pula bahwa banyak ulama yang datang ke rumahnya untuk
mendengarkan pengajian dan ceramahnya. Al-Syafi’i datang ke kota ini lima tahun sesudah Sayidah Nafisah.

Beberapa waktu kemudian, al-Syafi’i meminta bertemu dengannya di rumahnya. Sayidah Nafisah menyambutnya dengan seluruh kehangatan dan kegembiraan. Perjumpaan itu dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan yang sering. Masing-masing saling mengagumi tingkat kesarjanaan dan intelektualitasnya.

Bila al-Syafi’i berangkat untuk mengajar di masjidnya di Fustat, ia mampir ke rumahnya. Begitu juga ketika pulang kembali ke rumahnya. Dikabarkan bahwa al-Syafi’i adalah ulama yang paling sering bersama Sayyidah Nafisah dan mengaji kepadanya, justru dalam status Imam al-Syafi’i sebagai tokoh besar dalam bidang usul al-fiqh dan fiqh.

Kita tahu bahwa sebelum datang ke Mesir, Imam al-Syafi’i sudah terlebih dahulu terkenal dan harum namanya di Baghdad. Fatwa-fatwa Imam al-Syafi’i di Baghdad dikenal sebagai ‘qaul qadim’, sedangkan fatwa beliau di Kairo dikategorikan sebagai ‘qaul jadid’. Pada Ramadhan, al-Syafi’i juga sering shalat Tarawih bersama Sayyidah Nafisah di masjid ulama perempuan ini.

Begitulah kedekatan kedua orang hebat ini. Manakala Imam al-Syafi’i sakit, ia mengutus sahabatnya untuk meminta Sayidah Nafisah mendoakan bagi kesembuhannya. Begitu sahabatnya kembali, sang Imam tampak sudah sembuh. Ketika dalam beberapa waktu kemudian al-Syafi’i sakit parah, sahabat tersebut dimintanya kembali menemui Sayyidah Nafisah untuk keperluan yang sama, meminta didoakan.

Kali ini, Sayyidah Nafisah hanya mengatakan, “Matta’ahu Allah bi al-Nazhr Ila Wajhih al-Karim” (Semoga Allah memberinya kegembiraan ketika berjumpa denganNya). Mendengar ucapan sahabat sekaligus gurunya itu, al-Syafi’i segera paham bahwa waktunya sudah akan tiba.

Al-Imam kemudian berwasiat kepada murid utamanya, al-Buwaithi, meminta agar Sayyidah Nafisah menyalati jenazahnya jika kelak dirinya wafat. Ketika al-Syafi’i kemudian wafat, jenazahnya dibawa ke rumah sang ulama perempuan tersebut untuk dishalatkan.

Menurut KH. Husein Muhammad, di antara nasihat Sayyidah Nafisah kepada para muridnya adalah:

1. Jika kalian ingin berkecukupan, tidak menjadi miskin, bacalah QS. al-Waqi’ah [56].

2. Jika kalian ingin tetap dalam keimanan Islam, bacalah QS. al-Mulk [67].

3. Jika kalian ingin tidak kehausan pada hari dikumpulkan di akhirat, bacalah QS. al-Fatihah [1].

4. Jika kalian ingin minum air telaga Nabi di akhirat, maka bacalah QS. al-Kautsar [108].

Sayyidah Nafisah adalah fakta sejarah bahwa seorang perempuan bisa menjadi seorang ulama tersohor, bahkan menjadi guru bagi seorang Imam Syafi’i. Kita merindukan munculnya Sayyidah Nafisah berikutnya di dunia Islam. []

Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama, Australia dan New Zealand