Ketika Abu Dahdah Memberi Pinjaman kepada
Allah
Di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 245
Allah subhânahu wa ta’âla berfirman:
مَنْ
ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا
كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Artinya: “Siapakah yang mau memberikan
pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah akan melipatgandakan
pembayaran baginya dengan penggandaan yang banyak. Allah menyempitkan dan
melapangkan rizki. Dan hanya kepada-Nya kalian akan dikembalikan.”
Pada saat ayat ini turun seorang sahabat
bernama Abu Dahdah bersegera datang menghadap Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam. Kepada beliau Abu Dahdah mengatakan, “Tebusanmu bapak dan ibuku wahai
Rasul. Benarkah Allah meminta pinjaman kepada kami padahal Ia tak
membutuhkannya?”
Rasulullah menjawab, “Benar. Dengan pinjaman
itu Allah berkehendak memasukkan kalian ke dalam surga-Nya.”
Kembali Abu Dahdah bertanya, “Bila aku
meminjami-Nya akankah itu menjaminku dan anak perempuanku Dahdah masuk surga
bersamaku?”
“Ya,” Rasul menjawab tegas.
“Bila demikian,” kata Abu Dahdah kemudian,
“ulurkan tangamu kepadaku.”
Maka Rasulullah mengulurkan tangan mulianya
bersalaman dengan tangan Abu Dahdah. Dalam posisi demikian sahabat dari
golongan Anshor itu menyampaikan pernyataan, “Aku memiliki dua kebun kurma.
Yang satu ada di bawah dan satunya lagi ada di atas. Demi Allah, kini aku tak
lagi memiliki keduanya, aku jadikan keduanya sebagai pinjaman untuk Allah
ta’ala.”
Atas pernyataan Abu Dahdah ini Rasulullah
bersabda, “Jadikan yang satu untuk Allah dan biarkan satunya lagi menjadi
penghidupan bagimu dan keluargamu.”
Abu Dahdah menimpali, “Kalau begitu aku
persaksikan kepadamu wahai Rasul, aku jadikan kebun kurma yang terbaik untuk
Allah. Di dalamnya ada enam ratus pohon kurma.”
Mendengar ikrar sahabatnya ini Rasulullah
berkomentar seraya berdoa, “Bila demikian, semoga Allah membalasmu dengan
surga.”
Abu Dahdah pun undur diri. Ia segera menemui
istrinya yang sedang bersama anak-anaknya di kebun kurma yang telah
disedekahkan itu. Kepada sang istri ia ceritakan semuanya.
“Istriku, keluarlah engkau dari kebun ini.
Kebun ini telah aku pnjamkan kepada Allah,” kata Abu Dahdah kemudian.
Mendengar apa yang dikatakan Abu Dahdah sang
istri menimpalinya, “Semoga beruntung jual belimu. Semoga Allah melimpahkan
kebaikan bagimu pada apa yang telah engkau beli.”
Kemudian istri Abu Dahdah mendatangi
anak-anaknya. Ia keluarkan apa-apa yang ada di dalam mulut mereka dan ia
kibaskan apa-apa yang ada pada lengan baju mereka hingga ia sampai di kebun
yang lainnya.
Melihat itu semua Baginda Rasulullah
bersabda, “Begitu banyak pohon kurma besar yang menjulurkan akarnya ke Abu
Dahdah di surga.”
Kisah di atas banyak dituturkan oleh para
ulama tafsir dalam kitab-ktab tafsir mereka, di antaranya oleh Imam Qurtubi
dalam kitabnya Al-Jâmi li Ahkâmil Qur’ân (Kairo: Darul Hadis, 2010, jil. II,
hal. 201 – 202).
Membaca kisah di atas ada banyak pelajaran
yang bisa diambil sebagai teladan. Betapa para sahabat begitu kuat dan besar
keimanannya terhadap setiap apa yang disampaikan oleh Rasulullah. Ketika Rasul
menyampaikan tentang pahala yang berlipat ganda atas sedekah yang diberikan,
para sahabat—dalam hal ini diwakili oleh Abu Dahdah—dengan begitu ringannya
melepas harta kekayaan yang terbaik yang dimiliki demi memilih mendapatkan
anugerah yang lebh besar kelak di akherat.
Juga bisa diambil satu pelajaran betapa
kompaknya pasangan suami istri di masa sahabat dalam mengamalkan setiap ajaran
Rasulullah. Ketika sang suami mengabarkan perihal sedekah terbaik yang telah
dilakukannya sang istri memberikan dukungan terbaiknya. Ia tak protes dengan
apa yang dilakukan suaminya yang telah melepas harta terbaiknya untuk
disedekahkan.
Apa yang dilakukan istri Abu Dahdah pada
anak-anaknya juga merupakan pendidikan luhur yang bisa dicontoh umat Islam.
Sang istri begitu berhati-hati dalam hal kehalalan sebuah makanan. Ketika ia
mengetahui bahwa kebun yang terbaik itu telah disedekahkan, maka dengan segera
ia keluarkan apa yang ada di mulut sang anak. Ia tak ingin kurma yang telah
disedekahkan suaminya itu masuk ke dalam perut anaknya, karena ia dan
keluarganya tak lagi memiliki hak atas kebun itu dan segala isinya.
Bila kita melihat pada diri kita saat ini, di
manakah posisi kita dibanding para sahabat nabi itu? Wallâhu a’lam. []
(Yazid Muttaqin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar