Jumat, 11 Januari 2019

(Hikmah of the Day) Ketika Abu Dahdah Memberi Pinjaman kepada Allah


Ketika Abu Dahdah Memberi Pinjaman kepada Allah

Di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 245 Allah subhânahu wa ta’âla berfirman:

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Artinya: “Siapakah yang mau memberikan pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah akan melipatgandakan pembayaran baginya dengan penggandaan yang banyak. Allah menyempitkan dan melapangkan rizki. Dan hanya kepada-Nya kalian akan dikembalikan.”

Pada saat ayat ini turun seorang sahabat bernama Abu Dahdah bersegera datang menghadap Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Kepada beliau Abu Dahdah mengatakan, “Tebusanmu bapak dan ibuku wahai Rasul. Benarkah Allah meminta pinjaman kepada kami padahal Ia tak membutuhkannya?”

Rasulullah menjawab, “Benar. Dengan pinjaman itu Allah berkehendak memasukkan kalian ke dalam surga-Nya.”

Kembali Abu Dahdah bertanya, “Bila aku meminjami-Nya akankah itu menjaminku dan anak perempuanku Dahdah masuk surga bersamaku?”

“Ya,” Rasul menjawab tegas.

“Bila demikian,” kata Abu Dahdah kemudian, “ulurkan tangamu kepadaku.”

Maka Rasulullah mengulurkan tangan mulianya bersalaman dengan tangan Abu Dahdah. Dalam posisi demikian sahabat dari golongan Anshor itu menyampaikan pernyataan, “Aku memiliki dua kebun kurma. Yang satu ada di bawah dan satunya lagi ada di atas. Demi Allah, kini aku tak lagi memiliki keduanya, aku jadikan keduanya sebagai pinjaman untuk Allah ta’ala.”

Atas pernyataan Abu Dahdah ini Rasulullah bersabda, “Jadikan yang satu untuk Allah dan biarkan satunya lagi menjadi penghidupan bagimu dan keluargamu.”

Abu Dahdah menimpali, “Kalau begitu aku persaksikan kepadamu wahai Rasul, aku jadikan kebun kurma yang terbaik untuk Allah. Di dalamnya ada enam ratus pohon kurma.”

Mendengar ikrar sahabatnya ini Rasulullah berkomentar seraya berdoa, “Bila demikian, semoga Allah membalasmu dengan surga.”

Abu Dahdah pun undur diri. Ia segera menemui istrinya yang sedang bersama anak-anaknya di kebun kurma yang telah disedekahkan itu. Kepada sang istri ia ceritakan semuanya.

“Istriku, keluarlah engkau dari kebun ini. Kebun ini telah aku pnjamkan kepada Allah,” kata Abu Dahdah kemudian.

Mendengar apa yang dikatakan Abu Dahdah sang istri menimpalinya, “Semoga beruntung jual belimu. Semoga Allah melimpahkan kebaikan bagimu pada apa yang telah engkau beli.”

Kemudian istri Abu Dahdah mendatangi anak-anaknya. Ia keluarkan apa-apa yang ada di dalam mulut mereka dan ia kibaskan apa-apa yang ada pada lengan baju mereka hingga ia sampai di kebun yang lainnya.

Melihat itu semua Baginda Rasulullah bersabda, “Begitu banyak pohon kurma besar yang menjulurkan akarnya ke Abu Dahdah di surga.”

Kisah di atas banyak dituturkan oleh para ulama tafsir dalam kitab-ktab tafsir mereka, di antaranya oleh Imam Qurtubi dalam kitabnya Al-Jâmi li Ahkâmil Qur’ân (Kairo: Darul Hadis, 2010, jil. II, hal. 201 – 202).

Membaca kisah di atas ada banyak pelajaran yang bisa diambil sebagai teladan. Betapa para sahabat begitu kuat dan besar keimanannya terhadap setiap apa yang disampaikan oleh Rasulullah. Ketika Rasul menyampaikan tentang pahala yang berlipat ganda atas sedekah yang diberikan, para sahabat—dalam hal ini diwakili oleh Abu Dahdah—dengan begitu ringannya melepas harta kekayaan yang terbaik yang dimiliki demi memilih mendapatkan anugerah yang lebh besar kelak di akherat.

Juga bisa diambil satu pelajaran betapa kompaknya pasangan suami istri di masa sahabat dalam mengamalkan setiap ajaran Rasulullah. Ketika sang suami mengabarkan perihal sedekah terbaik yang telah dilakukannya sang istri memberikan dukungan terbaiknya. Ia tak protes dengan apa yang dilakukan suaminya yang telah melepas harta terbaiknya untuk disedekahkan.

Apa yang dilakukan istri Abu Dahdah pada anak-anaknya juga merupakan pendidikan luhur yang bisa dicontoh umat Islam. Sang istri begitu berhati-hati dalam hal kehalalan sebuah makanan. Ketika ia mengetahui bahwa kebun yang terbaik itu telah disedekahkan, maka dengan segera ia keluarkan apa yang ada di mulut sang anak. Ia tak ingin kurma yang telah disedekahkan suaminya itu masuk ke dalam perut anaknya, karena ia dan keluarganya tak lagi memiliki hak atas kebun itu dan segala isinya.

Bila kita melihat pada diri kita saat ini, di manakah posisi kita dibanding para sahabat nabi itu? Wallâhu a’lam. []

(Yazid Muttaqin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar