Seberapa Jauh Jarak yang
Membolehkah Dua Jumatan dalam Satu Desa?
Menurut pendapat kuat dalam madzhab Syafi’i,
tidak diperbolehkan mendirikan dua Jumatan atau lebih dalam satu desa tanpa ada
hajat (kebutuhan). Oleh karenanya, bila terdapat dua jum’atan dalam satu desa,
maka yang sah adalah jum’atan yang pertama kali melakukan takbiratul ihram,
sedangkan jum’atan kedua tidak sah. Dan apabila takbiratul ihramnya bersamaan,
maka kedua jum’atan tersebut tidak sah.
Ditemukan di beberapa daerah, jarak rumah
sebagian penduduknya dengan tempat pelaksanaan Jumat terlampau jauh, karena
luasnya daerah tersebut. Hal ini menimbulkan masyaqqah (keberatan) bagi mereka
andaikan mereka dituntut untuk melakukan Jumat di satu tempat. Pertanyaannya
kemudian, bolehkah bagi sebagian penduduk tersebut mendirikan Jumat kedua
karena alasan jarak yang jauh?
Ulama menegaskan bahwa salah satu hajat yang
memperbolehkan berdirinya lebih dari satu Jumat dalam satu daerah adalah
jauhnya jarak menuju tempat Jumatan. Faktor jauhnya tempat adakalanya
disebabkan seseorang berada pada sebuah tempat yang tidak dapat terdengar azan
Jumat di tempat tersebut, atau berada pada tempat yang seandainya ia berangkat
dari tempat tersebut setelah terbit fajar, maka tidak dapat menemui Jumat.
Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur
menegaskan:
والحاصل
من كلام الأئمة أن أسباب جواز تعددها ثلاثة ضيق محل الصلاة بحيث لا يسع المجتمعين
لها غالباً، والقتال بين الفئتين بشرطه، وبعد أطراف البلد بأن كان بمحل لا يسمع
منه النداء، أو بمحل لو خرج منه بعد الفجر لم يدركها، إذ لا يلزمه السعي إليها إلا
بعد الفجر اهـ
“Kesimpulan dari statemen para imam,
sebab-sebab diperbolehkannya berbilangnya Jumat ada tiga. Pertama, sempitnya
tempat shalat, dengan sekira tidak dapat menampung jamaah Jumat menurut
keumumannya. Kedua, pertikaian di antara kedua kubu sesuai dengan syaratnya.
Ketiga, jauhnya sisi desa, dengan sekira berada pada tempat yang tidak
terdengar azan atau di tempat yang seandainya seseorang keluar dari tempat
tersebut setelah fajar, ia tidak akan menemui Jumat, sebab tidak wajib baginya
menuju tempat Jumat, kecuali setelah terbit fajar subuh.” (Sayyid Abdurrahman
bin Muhammad al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, Beirut-Dar al-Fikr, 1995,
halaman 51)
Lantas berapakah batasan jauh tersebut jika
dikonversikan dalam bentuk kilo meter? Dalam keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama
ke-6 di Pekalongan 27 Agustus 1931 M disebutkan batasan jauhnya tempat tinggal
penduduk dengan masjid yang membolehkan bagi mereka untuk mendirikan Jumat
kedua adalah 1 mil syar’i, yaitu jarak 24 menit dengan jalan kaki biasa, atau
jarak 1,666 KM.
Berikut bunyi keputusannya:
“Masyaqah ialah kesukaran berkumpulnya
penduduk yang berkewajiban shalat Jumat dalam suatu tempat karena berjauhan
tempat tinggal mereka dari masjid dengan jarak 1 mil syar’i, yaitu jarak 24
menit dengan jalan kaki biasa atau jarak 1666,667 meter”. (Ahkam al-Fuqaha’
Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Nomor 118, Surabaya,
Khalista, 2011, halaman 113)
Simpulannya, diperbolehkan bagi penduduk yang
rumahnya jauh dengan masjid, minimal sejauh 1,666 km, untuk mendirikan Jumatan
kedua di daerah tersebut. Jika tidak memenuhi standar jauh tersebut, maka tidak
diperkenankan mendirikan Jumat kedua kecuali ada hajat lain selain alasan
jauhnya tempat, seperti daya tampung masjid yang terbatas atau konflik internal
yang menuntut mereka mendirikan Jumatan di tempat lain.
Demikian semoga bisa dipahami dengan baik dan
bermanfaat. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar