Dalil-dalil Cinta Tanah Air
dari Al-Qur’an dan Hadits
Nasionalisme berasal dari kata nation (B.
Inggris) yang berarti bangsa. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata bangsa
memiliki beberapa arti: (1) kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat,
bahasa, dan sejarahnya serta berperintahan sendiri; (2) golongan manusia,
binatang atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal usul yang sama dan sifat khas
yang sama atau bersamaan, dan (3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena
kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan biasanya menempati wilayah
tertentu di muka bumi (Lukman Ali. Dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta, Balai Pustaka, 1994, hal. 98).
Istilah nasionalisme yang telah diserap ke
dalam bahasa Indonesia memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai
bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang
secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan
mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa. Nasionalisme
dalam arti sempit dapat diartikan sebagai cinta tanah air. Selanjutnya, dalam
tulisan ini yang dimaksud dengan nasionalisme yaitu nasionalisme dalam arti
sempit.
Al-Jurjani dalam kitabnya al-Ta’rifat mendefinisikan
tanah air dengan al-wathan al-ashli.
اَلْوَطَنُ
الْأَصْلِيُّ هُوَ مَوْلِدُ الرَّجُلِ وَالْبَلَدُ الَّذِي هُوَ فِيهِ
Artinya; al-wathan al-ashli yaitu tempat
kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya. (Ali Al-Jurjani,
al-Ta’rifat, Beirut, Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1405 H, halaman 327)
Dalil-dalil Cinta Tanah Air
Mencintai tanah air adalah hal yang sifatnya
alami pada diri manusia. Karena sifatnya yang alamiah melekat pada diri
manusia, maka hal tersebut tidak dilarang oleh agama Islam, sepanjang tidak
bertentangan dengan ajaran/nilai-nilai Islam.
Meskipun cinta tanah air bersifat alamiah,
bukan berarti Islam tidak mengaturnya. Islam sebagai agama yang sempurna bagi
kehidupan manusia mengatur fitrah manusia dalam mencintai tanah airnya, agar
menjadi manusia yang dapat berperan secara maksimal dalam membangun kehidupan
berbangsa dan bernegara, serta memiliki keseimbangan hidup di dunia dan
akhirat.
Berkenaan dengan vonis bahwa cinta tanah air
tidak ada dalilnya, maka guna menjawab vonis tersebut, perlu kiranya kita
mencermati paparan ini. Berikut adalah dalil-dalil tentang bolehnya cinta tanah
air:
1.
Dalil Cinta Tanah Air Dari Al-Qur’an
Salah satu ayat Al-Qur’an yang menjadi dalil
cinta tanah air menurut penuturan para ahli tafsir adalah Qur’an surat
Al-Qashash ayat 85:
إِنَّ
الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ
Artinya: “Sesungguhnya (Allah) yang
mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an benar-benar akan
mengembalikan kamu ke tempat kembali.” (QS. Al Qashash: 85)
Para mufassir dalam menafsirkan kata "معاد" terbagi menjadi beberapa pendapat.
Ada yang menafsirkan kata "معاد"
dengan Makkah, akhirat, kematian, dan hari kiamat. Namun menurut Imam Fakhr
Al-Din Al-Razi dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib, mengatakan bahwa pendapat yang
lebih mendekati yaitu pendapat yang menafsirkan dengan Makkah.
Syekh Ismail Haqqi Al-Hanafi Al-Khalwathi
(wafat 1127 H) dalam tafsirnya Ruhul Bayan mengatakan:
وفي
تَفسيرِ الآيةِ إشَارَةٌ إلَى أنَّ حُبَّ الوَطَنِ مِنَ الإيمانِ، وكَانَ رَسُولُ
اللهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ كَثِيرًا: اَلْوَطَنَ الوَطَنَ، فَحَقَّقَ
اللهُ سبحانه سُؤْلَهُ ....... قَالَ عُمَرُ رضى الله عنه لَوْلاَ حُبُّ الوَطَنِ
لَخَرُبَ بَلَدُ السُّوءِ فَبِحُبِّ الأَوْطَانِ عُمِّرَتْ البُلْدَانُ.
Artinya: “Di dalam tafsirnya ayat (QS.
Al-Qashash:85) terdapat suatu petunjuk atau isyarat bahwa “cinta tanah air
sebagian dari iman”. Rasulullah SAW (dalam perjalanan hijrahnya menuju Madinah)
banyak sekali menyebut kata; “tanah air, tanah air”, kemudian Allah SWT
mewujudkan permohonannya (dengan kembali ke Makkah)….. Sahabat Umar RA berkata;
“Jika bukan karena cinta tanah air, niscaya akan rusak negeri yang jelek
(gersang), maka sebab cinta tanah air lah, dibangunlah negeri-negeri”. (Ismail
Haqqi al-Hanafi, Ruhul Bayan, Beirut, Dar Al-Fikr, Juz 6, hal. 441-442)
Selanjutnya, ayat yang menjadi dalil cinta
tanah air menurut ulama yaitu Al-Qur'an surat An-Nisa’ ayat 66.
وَلَوْ
أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِم أَنِ اقْتُلُوْا أَنْفُسَكم أَوِ أخرُجُوا مِن
دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوْه إِلَّا قليلٌ منهم
Artinya: “Dan sesungguhnya jika seandainya
Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik): ‘Bunuhlah diri kamu atau
keluarlah dari kampung halaman kamu!’ niscaya mereka tidak akan melakukannya,
kecuali sebagian kecil dari mereka..." (QS. An-Nisa': 66).
Syekh Wahbah Al-Zuhaily dalam tafsirnya al-Munir
fil Aqidah wal Syari’ah wal Manhaj menyebutkan:
وفي
قوله: (أَوِ اخْرُجُوْا مِنْ دِيَارِكُمْ) إِيْمَاءٌ إِلىَ حُبِّ الوَطَنِ
وتَعَلُّقِ النَّاسِ بِهِ، وَجَعَلَه قَرِيْنَ قَتْلِ النَّفْسِ، وَصُعُوْبَةِ
الهِجْرَةِ مِنَ الأوْطَانِ.
Artinya: “Di dalam firman-Nya (وِ اخْرُجُوْا مِنْ دِيَارِكُمْ) terdapat isyarat
akan cinta tanah air dan ketergantungan orang dengannya, dan Allah menjadikan
keluar dari kampung halaman sebanding dengan bunuh diri, dan sulitnya hijrah
dari tanah air.” (Wahbah Al-Zuhaily, al-Munir fil Aqidah wal Syari’ah
wal Manhaj, Damaskus, Dar Al-Fikr Al-Mu’ashir, 1418 H, Juz 5, hal. 144)
Pada kitabnya yang lain, Tafsir al-Wasith,
Syekh Wahbah Al-Zuhaily mengatakan:
وفي
قَولِهِ تَعَالى: (أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيارِكُمْ) إِشَارَةٌ صَرِيْحَةٌ إلَى
تَعَلُقِ النُفُوْسِ البَشَرِيَّةِ بِبِلادِها، وَإِلَى أَنَّ حُبَّ الوَطَنِ
مُتَمَكِّنٌ فِي النُفُوْسِ وَمُتَعَلِقَةٌ بِهِ، لِأَنَّ اللهَ سُبْحانَهُ جَعَلَ
الخُرُوْجَ مِنَ الدِّيَارِ وَالأَوْطانِ مُعَادِلاً وَمُقارِنًا قَتْلَ
النَّفْسِ، فَكِلَا الأَمْرَيْنِ عَزِيْزٌ، وَلَا يُفَرِّطُ أغْلَبُ النَّاسِ
بِذَرَّةٍ مِنْ تُرابِ الوَطَنِ مَهْمَا تَعَرَّضُوْا لِلْمَشَاقِّ والمَتَاعِبِ
والمُضَايَقاتِ.
Artinya: Di dalam firman Allah “keluarlah
dari kampung halaman kamu” terdapat isyarat yang jelas akan ketergantungan hati
manusia dengan negaranya, dan (isyarat) bahwa cinta tanah air adalah hal yang
melekat di hati dan berhubungan dengannya. Karena Allah SWT menjadikan keluar
dari kampung halaman dan tanah air, setara dan sebanding dengan bunuh diri.
Kedua hal tersebut sama beratnya. Kebanyakan orang tidak akan membiarkan
sedikitpun tanah dari negaranya manakala mereka dihadapkan pada penderitaan,
ancaman, dan gangguan.” (Wahbah Al-Zuhaily, Tafsir al-Wasith,
Damaskus, Dar Al-Fikr, 1422 H, Juz 1, hal. 342)
Ayat Al-Qur’an selanjutnya yang menjadi dalil
cinta tanah air, menurut ahli tafsir kontemporer, Syekh Muhammad Mahmud
Al-Hijazi yaitu pada QS. At-Taubah ayat 122.
وَما
كانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذا
رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya: Dan tidak sepatutnya orang-orang
mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap
golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama
mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah: 122)
Syekh Muhammad Mahmud al-Hijazi dalam Tafsir
al-Wadlih menjelaskan ayat di atas sebagai berikut:
وتُشِيرُ
الآيةُ إلى أنَّ تَعَلُّمَ العلمِ أَمْرٌ واجِبٌ على الأمَّةِ جَميعًا وُجُوبًا لا
يَقِلُّ عَن وُجوبِ الجِهادِ والدِّفاعُ عَنِ الوَطَنِ وَاجِبٌ مُقَدَّسٌ، فَإِنَّ
الوَطَنَ يَحْتاجُ إلى مَنْ يُناضِلُ عَنْهُ بِالسَّيفِ وَإِلَى مَنْ يُنَاضِلُ
عَنْهُ بِالْحُجَّةِ وَالبُرْهَانِ، بَلْ إِنَّ تَقْوِيَةَ الرُّوحِ
المَعْنَوِيَّةِ، وغَرْسَ الوَطَنِيَّةِ وَحُبِّ التَّضْحِيَةِ، وَخَلْقَ جِيْلٍ
يَرَى أَنَّ حُبَّ الوَطَنِ مِنَ الإِيمَانِ، وَأَنَّ الدِّفَاعَ عَنْهُ وَاجِبٌ
مُقَدَّسٌ. هَذَا أَسَاسُ بِنَاءِ الأُمَّةِ، ودَعَامَةُ اسْتِقْلَالِهَا.
Artinya: “Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa
belajar ilmu adalah suatu kewajiban bagi umat secara keseluruhan, kewajiban
yang tidak mengurangi kewajiban jihad, dan mempertahankan tanah air juga
merupakan kewajiban yang suci. Karena tanah air membutuhkan orang yang berjuang
dengan pedang (senjata), dan juga orang yang berjuang dengan argumentasi dan
dalil. Bahwasannya memperkokoh moralitas jiwa, menanamkan nasionalisme dan
gemar berkorban, mencetak generasi yang berwawasan ‘cinta tanah air sebagian
dari iman’, serta mempertahankannya (tanah air) adalah kewajiban yang suci.
Inilah pondasi bangunan umat dan pilar kemerdekaan mereka.” (Muhammad Mahmud
al-Hijazi, Tafsir al-Wadlih, Beirut, Dar Al-Jil Al-Jadid, 1413 H,
Juz 2, hal. 30)
Ayat-ayat di atas sebagaimana telah jelaskan
oleh para mufassir dalam kitab tafsirnya masing-masing merupakan dalil cinta
tanah air di dalam Al-Qur’an Al-Karim.
2.
Dalil Cinta Tanah Air dari Hadits
Berikut ini adalah hadits-hadits yang menjadi
dalil cinta tanah air menurut penjelasan para ulama ahli hadits, yang dikupas
tuntas secara gamblang:
عَنْ
أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ
مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ وَإِنْ
كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا ....... وَفِي الْحَدِيثِ
دَلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّة حُبِّ الوَطَنِ
والحَنِينِ إِلَيْهِ .
Artinya: “Diriwayatkan dari sahabat Anas;
bahwa Nabi SAW ketika kembali dari bepergian, dan melihat dinding-dinding
madinah beliau mempercepat laju untanya. Apabila beliau menunggangi unta maka
beliau menggerakkanya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah.
(HR. Bukhari, Ibnu Hibban, dan Tirmidzi).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany (wafat 852
H) dalam kitabnya Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari (Beirut, Dar Al-Ma’rifah,
1379 H, Juz 3, hal. 621), menegaskan bahwa dalam hadits tersebut terdapat dalil
(petunjuk): pertama, dalil atas keutamaan kota Madinah; kedua, dalil
disyariatkannya cinta tanah air dan rindu padanya.
Sependapat dengan Al-Hafidz Ibnu Hajar, Badr
Al-Din Al-Aini (wafat 855 H) dalam kitabnya ‘Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari
menyatakan:
وَفِيه:
دَلَالَة عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّةِ حُبِّ الوَطَنِ
وَاْلحِنَّةِ إِلَيْهِ
Artinya; “Di dalamnya (hadits) terdapat dalil
(petunjuk) atas keutamaan Madinah, dan (petunjuk) atas disyari’atkannya cinta
tanah air dan rindu padanya.” (Badr Al-Din Al-Aini, Umdatul Qari Syarh
Shahih Bukhari, Beirut, Dar Ihya’i Al-Turats Al-Arabi, Juz 10, hal. 135)
Imam Jalaluddin Al-Suyuthi (wafat 911 H)
dalam kitabnya Al-Tausyih Syarh Jami Al-Shahih menyebutkan:
حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، قَالَ:
أَخْبَرَنِي حُمَيْدٌ، أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ:
«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ
سَفَرٍ، فَأَبْصَرَ دَرَجَاتِ المَدِينَةِ، أَوْضَعَ نَاقَتَهُ، وَإِنْ كَانَتْ
دَابَّةً حَرَّكَهَا»، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: زَادَ الحَارِثُ بْنُ
عُمَيْرٍ، عَنْ حُمَيْدٍ: حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا. حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ،
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: جُدُرَاتِ،
تَابَعَهُ الحَارِثُ بْنُ عُمَيْرٍ. (درجات): بفتح المهملة
والراء والجيم، جمع "درجة"، وهي طرقها المرتفعة، وللمستملي:
"دوحات" بسكون الواو، وحاء مهملة جمع دوحة، وهي الشجرة العظيمة. (أوضع):
أسرع السير. (مِنْ حُبِّها) أي: المدينةِ، فِيْهِ مَشْرُوعِيَّةُ حُبِّ الوَطَنِ
والحَنينِ إليه.
Artinya: “Bercerita kepadaku Sa’id ibn Abi
Maryam, bercerita padaku Muhammad bin Ja’far, ia berkata: mengkabarkan padaku
Humaid, bahwasannya ia mendengan Anas RA berkata: Nabi SAW ketika kembali dari
bepergian, dan melihat tanjakan-tanjakan Madinah beliau mempercepat laju
untanya. Apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkanya. Berkata
Abu Abdillah: Harits bin Umair, dari Humaid: beliau menggerakkannya (untuk
mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah. Bercerita kepadaku Qutaibah,
bercerita padaku Ismail dari Humaid dari Anas, ia berkata: dinding-dinding.
Harits bin Umair mengikutinya.” (Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Tausyih Syarh Jami
Al-Shahih, Riyad, Maktabah Al-Rusyd, 1998, Juz 3, hal. 1360)
Sependapat dengan Ibn Hajar Al-Asqalany, Imam
Suyuthi di dalam menjelaskan hadits sahabat Anas di atas, memberikan komentar:
di dalamnya (hadits tersebut) terdapat unsur disyari’atkannya cinta tanah air
dan merindukannya.
Ungkapan yang sama juga disampaikan oleh
Syekh Abu Al Ula Muhammad Abd Al-Rahman Al-Mubarakfuri (wafat 1353 H), dalam
kitabnya Tuhfatul Ahwadzi Syarh at-Tirmidzi (Beirut, Dar Al-Kutub
Al-Ilmiyyah, Juz 9, hal. 283) berikut:
وَفِي
الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّةِ حُبِّ
الْوَطَنِ وَالْحَنِينِ إِلَيْهِ .
Hadits berikutnya yang menjadi dalil cinta
tanah air yaitu hadits riwayat Ibn Ishaq, sebagimana disampaikan Abu Al-Qosim
Syihabuddin Abdurrahman bin Ismail yang masyhur dengan Abu Syamah (wafat 665 H)
dalam kitabnya Syarhul Hadits al-Muqtafa fi Mab’atsil Nabi al-Mushtafa berikut:
قَالَ
السُّهَيْلِي: " وَفِي حَدِيْثِ وَرَقَةَ أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللهِ - صلى الله
عليه وسلم - لَتُكَذَّبَنَّهْ، فَلَمْ يَقُلْ لَهُ النَّبِيُّ - صلى الله
عليه وسلم - شَيْئاً، ثُمَّ قَالَ: وَلَتُؤْذَيَنَّهْ، فَلَمْ يَقُلْ النَّبِيُّ -
صلى الله عليه وسلم - شَيْئاً، ثُمَّ قَالَ: وَلَتُخْرَجَنَّهْ، فَقَالَ: َأوَ
مُخْرِجِيَّ هُمْ؟ فَفِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى حُبِّ اْلوَطَنِ وَشِدَّةِ
مُفَارَقَتِهِ عَلَى النَّفْسِ.
“Al-Suhaily berkata: Dan di dalam hadits
(tentang) Waraqah, bahwasanya ia berakata kepada Rasulullah SAW; sungguh engkau
akan didustakan, Nabi tidak berkata sedikitpun. Lalu ia berkata lagi; dan
sungguh engkau akan disakiti, Nabi pun tidak berkata apapun. Lalu ia berkata;
sungguh engkau akan diusir. Kemudian Nabi menjawab: “Apa mereka akan
mengusirku?”. Al-Suhaily menyatakan di sinilah terdapat dalil atas cinta tanah
air dan beratnya memisahkannya dari hati.” (Abu Syamah, Syarhul Hadits
al-Muqtafa fi Mab’atsil Nabi al-Mushtafa, Maktabah al-Umrin Al-Ilmiyah,
1999, hal. 163)
Abdurrahim bin Husain Al-Iraqi (wafat 806 H)
di dalam kitabnya Tatsrib fi Syarh Taqribil Asanid wa Tartibil Masanid,
pada hadits yang sama, juga mengutip pendapatnya Al-Suhaily:
فَقَالَ
السُّهَيْلِيُّ فِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى حُبِّ الْوَطَنِ وَشِدَّةِ مُفَارَقَتِهِ
عَلَى النَّفْسِ.
Artinya: “Al-Suhaily berkata: di sinilah
terdapat dalil atas cinta tanah air dan beratnya memisahkannya dari hati.”
(Abdurrahim Al-Iraqi, Tatsrib fi Syarh Taqribil Asanid wa Tartibil Masanid,
Beirut, Dar Ihya’i Al-Turats Al-Arabi, Juz 4, hal. 196)
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa cinta
tanah air memiliki dalil yang bersumber dari Qur’an dan Hadits, sebagaimana
ditegaskan oleh para ulama seperti; Al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalany, Imam
Jalaluddin al-Suyuthi, Abdurrahim al-Iraqi, Syekh Ismail Haqqi al-Hanafi dan
yang lainnya. Sehingga vonis cinta tanah air tidak dalilnya, jelas tidak benar
dan tidak berdasar. []
Supriyono, Dosen STAIN Kudus, Wakil
Sekretaris PC GP Ansor Bidang Litbang Kabupaten Kudus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar