Kisah Syaqiq
al-Bakhli, Hartawan yang Memilih Jalan Sufi
Ada tokoh-tokoh sufi
klasik yang kisah tentangnya jarang terekspos. Salah satunya ialah Syaqiq
Al-Balkhi rahimahullahu ta’ala. Beliau anak seorang hartawan yang memutuskan
beralih melakoni perjalanan ruhani menjadi seorang zāhid.
Pada mulanya, dalam
suatu perjalanan niaga ke Turki, Syaqiq sempat singgah masuk ke sebuah rumah
penyembahan berhala. Di dalamnya terdapat banyak sekali berhala dan dilihatnya
juga banyak rahib-rahib yang berkepala gundul dan tidak berjenggot.
Lantas Syaqiq
Al-Balkhi berjumpa dengan salah seorang pelayan berhala, lalu berkata: “Kamu
diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Hidup dan Menghidupimu, Maha Mengetahui dan
Maha Kuasa. Maka menyembahlah kepada-Nya, tidak usah lagi menyembah
berhala-berhala yang tidak memberikan mudarat maupun manfaat kepadamu!”
Kemudian dengan
diplomatis pelayan itu menjawab enteng, “Jika benar apa yang kamu katakan,
bahwa Tuhan Maha Kuasa memberi rezeki kepadamu di negerimu sendiri, kenapa Tuan
dengan susah payah datang kemari untuk berniaga?”
Syaqiq melongo. Tercengang.
Kena skak. Maka terketuklah hati Syaqiq dan untuk selanjutnya menempuh
kehidupan zuhud.
Sementara satu kisah
lainnya tentang Syaqiq Al-Balkhi, terjadi saat permulaan menempuh perjalanan
zuhud. Ia menuju ke suatu daerah. Di sana ia melihat seorang budak sedang asyik
bersenang-senang ria di tengah kehidupan perekonomian yang dilanda paceklik dan
krisis secara merata—termasuk tuan si budak sendiri.
Kepada si budak itu
Syaqib bertanya, “Apa yang kamu kerjakan? Bukankah kamu tahu orang-orang sedang
menderita karena paceklik?”
Budak itu menjawab
polos, “Saya tidak mengalami paceklik, Tuan, karena majikanku memiliki
perkampungan subur yang hasilnya sanggup mencukupi keperluan kami.” Di fase
setelah mendengar rentetan kalimat si budak inilah, Syaqiq mendengar ketukan
hati dan bisikan dalam dirinya, “Jika budak tersebut tidak memikirkan rezeki
karena majikannya memiliki perkampungan yang subur—toh, padahal si majikan
sendiri adalah masih tergolong makhluk yang melarat—maka bagaimana bisa disebut
‘patut’ saat seorang Muslim memikirkan rezekinya dengan berkalang keraguan,
sedangkan ia punya Tuhan yang Maha Kaya dan Dermawan?”
Dari dua potong kisah
di atas, apa yang bisa kita ambil ‘sari-madunya’, selain dari nilai-nilai luhur
yang sudah tersurat dalam kisah—yang saya yakin Anda semua masing-masing bisa
mencerapnya sendiri?
Nilai yang tersirat
di antaranya bahwa Syaqiq terlalu fokus ke luar dirinya, tapi jarang menengok
ke dalam diri sendiri. Kebanyakan “ekstrospeksi”, kurang “retrospeksi”
(mengenang kembali, atau wal tandhur nafsun ma qaddamat lighad) dan minim
“introspeksi” (muhasabah).
Juga kenyataan
implisit yang dirancang oleh Allah, tentang Syaqiq yang tidak akan menjadi
seorang zāhid dan tidak akan dikenang sebagai sufi terpandang bila ia tidak
bertemu dengan pelayan-berhala dan hamba sahaya dalam kisah. Suatu hal yang
perlu ditelusuri kenapa sering kali Allah memperjalankan dan mempertemukan
tokoh masyhur di masa kini dengan orang-orang yang seolah kurang penting,
seakan-akan figuran, picisan, un-popular, dan bukan tokoh masyhur yang kebak
make up, political-camuflage dan pencitraan artifisial. Namun Allah menjadikan
ia atau mereka (tokoh cerita yang kita anggap “tak penting” itu) sebagai pemicu
kejadian besar penting dan menentukan setelahnya. Sebuah titik balik kehidupan
yang tidak main-main hikmahnya.
Sama halnya kisah
Nabi Ya’qub dan pertemuannya dengan gelandangan gembel yang sempat ditolaknya
di pintu rumah—sehingga seketika itu menuai teguran keras dari Allah. Hanya
saja, soal demikian ini, kok ya unik ya, kalau hobinya Allah memang sering
menyembunyikan sesuatu yang berharga di balik hal yang kita sangka (baca:
tuduh) tidak berharga. Tampaknya Allah gemar bermain petak-umpet, jumpritan,
dan sembunyi harta. Seperti pada mutiara yang tersembunyi di balik kotornya
cangkang kerang.
Siapa tahu, nanti
kita dapat judul skripsi dari seorang penjual cuanki? Siapa tahu, dulu Thomas
Alfa Edison menemukan ide cahaya yang dikandangi menjadi bola lampu, itu hanya
dari mimpi? Siapa tahu, nanti, penemu mesin waktu itu mendapat cuplikan ide
dari seorang gelandangan di pinggir kali? Siapa tahu…
Hal yang perlu kita
stabilo, ialah, inspirasi bisa datang dari mana saja, dan dari apa saja.
Inspirasi, sinonim kata “ilham”, “cenayang”, “bocoran soal-jawaban”, “aspirasi”,
“bisikan Kang Jibril”, dan sefamilinya, dapat muncul dari sesuatu yang
seakan-akan tampak sepele, remeh, dan tidak terduga sama sekali oleh
mata-pandang kita, oleh kaca-mata intelektual-kapitalis kita, bahwa ia
sebenarnya adalah gudang inspirasi. Maka dari sini, mulailah kita memperpeka
diri—semati-matinya! Wallahu a’lam.
Kata-kata Bijak
Syekh Hatim
Al-‘Asham, mengungkapkan bahwa gurunya, Syaqiq Al-Balkhi, pernah berujar:
“Laksanakanlah lima perkara ini: (1) Beribadahlah kepada Allah sebanyak apa
yang kamu perlukan dari-Nya. (2) Carilah bekal di dunia sebanyak usiamu di
dunia. (3) Berdosalah kepada Allah sejauh kamu mampu memikul siksa-Nya. (4)
Himpunlah harta di dunia sebanyak kesanggupanmu membawanya di kuburmu. (5) Dan
beramallah (berbuatlah) demi surga, seukur kedudukan surga mana yang kamu
kehendaki.” []
Kisah Syaqiq
Al-Balkhi ini dinukil oleh penulis dalam kitab Nashaihul ‘Ibad buah karya Syekh
Syihabuddin Ahmad Ibnu Hajar Al-‘Asqalany dan disyarahi oleh Syekh Muhammad
Nawawi Ibnu Umar al-Jawi (al-Bantani).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar