KHUTBAH JUMAT
Jangan Panggil Saudaramu ‘Cebong’ atau
‘Kampret’
Khutbah I
اَلْحَمْدُ
للهْ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتْ. أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا
شَرِيْكَ لَهُ، اَلْآِمِر بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّاهِىْ عَنْ جَمِيْعِ
الْمَعَاصِيْ وَالْمُنْكَرَاتِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَمَوْلَانَا
مُحَمَّدٍ ﷺ صَاحِبِ
الْأَنْوَارِ وَالْمُعْجِزَاتْ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِدَنَا وَمَوْلَانَا
مُحَمَّدٍ ﷺ وَعَلَى
آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الطَّيِّبِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ في أَحْوَالِ الْجَلِيَّاتِ
وَالْخَلْوَاتْ. أما بعد
فَيَا
عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْنِىْ نَفْسِيْ وَاِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ
الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى في كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ، بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Hadirin jamaah jumah hafidhâkumullâh,
Dalam kesempatan Jumat kali ini, kami
berwasiat kepada pribadi kami sendiri dan para hadirin sekalian, marilah kita
tingkatkan takwa kita kepada Allah subhânahû wa ta’âlâ seraya menunaikan semua
perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Semoga dengan
ketakwaan kita tersebut, kita semakin dekat kepada Allah, selalu mendapatkan
naungan ridha Allah subhânahû wa ta’âlâ, amin.
Ma’asyiral hâdlirin, jamaah Jumat hafidhâkumullâh,
Pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) yang
tinggal sebentar lagi ini masih diwarnai dengan ekspresi kebencian oleh
antar-pendukung calon pemimpin. Satu pihak memanggil orang yang berlainan
dukungan dengan “kecebong” yang berarti jenis amfibia yang masih dalam bentuk
larva. Sedang pihak lain lagi memanggil lawannya dengan panggilan “kampret”.
Kampret dalam bahasa Jawa mempunyai arti anak kelelawar.
Bagaimana fiqih memandang hal demikian?
Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah
al-Muhadzab menyebutkan panggilan-panggilan kepada orang lain dengan
panggilan yang buruk seperti memanggil dengan nama hewan anjing, keledai, bisa
mengakibatkan pelakunya mendapatkan ta’zir atau hukuman dari pemerintah.
Hal ini menunjukkan, pemanggilan tidak baik kepada orang lain merupakan sikap
yang dilarang agama.
وَمِنَ
الْأَلْفَاظِ الْمُوْجِبَةِ لِلتَّعْزِيْرِ قَوْلُهُ لِغَيْرِهِ يَا فَاسِقُ يَا
كَافِرُ يَا فَاجِرُ يَا شَقِيُّ يَا كَلْبُ يَا حِمَارُ يَا تَيْسُ يَا
رَافِضِيُّ يَا خَبِيْثُ يَا كَذَّابُ يَاخَائِنُ يَا قِرْنَانُ يَا قَوَادُ يَا
دَيُّوْثُ يَا عَلقُ.
Artinya: “Di antara kata-kata yang
mengakibatkan pelakunya mendapatkan hukuman ta’zir adalah ketika ada satu orang
memanggil orang lain dengan panggilan ‘Hai kafir, hai orang yang durhaka, hai
orang yang celaka, hai anjing, hai keledai, hai kambing jantan, hai orang
syi’ah râfidlah, hai orang jelek, hai penipu, hai orang yang berkhianat, hai
orang yang mempunyai dua tanduk, hai orang yang tidak mempunyai gairah sama
keluarganya dan hai segumpal darah.” (An-Nawawi, Syarah al-Majmu’,
[Dârul Fikr], juz 20, halaman 125).
Dengan demikian, jika ada yang memanggil
orang lain dengan panggilan nama hewan seperti anjing, keledai dan kambing
hitam berhak dihukum pemerintah, maka begitu pula jika ada yang memanggil orang
lain dengan sebutan kecebong atau pun kampret, masing-masing adalah nama hewan,
bukan nama manusia sebenarnya. Pelakunya bisa dita’zir.
Ta’zir adalah sebuah hukuman
dari syari’at yang tidak diatur aturan bakunya dalam agama. Tidak seperti had
dan qishas. Keduanya mempunyai aturan-aturan teknis yang
mengatur.
وَرُوِيَ:
أَنَّ عَلِيّاً سُئِلَ عَنْ قَوْلِ الرَّجُلِ لِلرَّجُلِ: يَا فَاسِقُ، يَا
خَبِيْثُ
“Diriwayatkan, sesungguhnya Ali bin Abi
Thalib pernah ditanya tentang perkataan seorang laki-laki yang memanggil
laki-laki lain dengan panggilan ‘hai fasiq, orang yang buruk’.”
فَقَالَ:
هُنَّ فَوَاحِشُ، فِيْهِنَّ تَعزِيْرٌ، وَلَيْسَ فِيْهِنَّ حَدٌّ
“Ali menjawab, ‘Kalimat-kalimat itu adalah
perkataan sangat kotor. Yang menyampaikan kalimat demikian berhak mendapatkan ta’zir,
tidak had’.”
إِذَا
ثَبَتَ هَذَا: فَإِنَّ التَّعزِيْرَ غَيْرُ مُقَدَّرٍ، بَلْ إِنْ رَأَى الْإِمَامُ
أَنْ يَحْبِسَهُ.. حَبِسَهُ. وَإِنْ رَأَى أَنْ يَجْلِدَهُ.. جَلَدَهُ. وَلَا يَبْلُغُ بِهِ أَدْنَى الْحُدُوْدِ؛
"Kalau begitu, ta’zir adalah hukuman
yang tidak diukur oleh syara’. Seumpama pemerintah memandang perlu
memenjarakan, boleh. Seumpama kebijakan pemerintah adalah dengan dicambuk
pelakunya, juga boleh. Yang penting tidak sampai batas minimal had.”
فَإِنْ
كَانَ حُرًّا.. لَمْ يَبْلُغْ بِهِ أَرْبَعِيْنَ جَلْدَةً، بَلْ يَنْقُصُ مِنْهَا
وَلَوْ جَلْدَةً. وَإِنْ كَانَ عَبْدًا.. لَمْ يَبْلُغْ بِهِ عِشْرِيْنَ جَلْدَةً.
وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدْ
Kalau pelakunya merdeka, ia boleh dicambuk
namun tidak sampai 40 cambukan, boleh kurang walaupun hanya kurang satu saja.
Apabila hamba sahaya, tidak boleh sampai 20 cambukan. Demikian dikatakan oleh
Abu Hanifah dan Muhammad bin Idris.” (Yahya bin Abil Khair bin Salim al-Umrani,
Al-Bayân, [Dârul Minhâj, Jedah, 2000), juz 12, halaman 533)
Nama merupakan doa. Rasulullah ﷺ lebih suka memberikan
nama dengan kata yang mengandung harapan-harapan baik. Karena Rasulullah
Muhammad adalah orang baik, nama-nama yang diberikan pun selalu baik. Beliau
tidak pernah membuat nama yang mempunyai akar kata buruk atau sial. Sebagaimana
dahulu Rasul mengganti nama Burrah menjadi Zainab. Burrah adalah lubangan
hidung unta bagian samping. Karena dirasa kurang baik, Rasul pun akhirnya
menggantinya. Banyak kisah-kisah demikian dari Rasulullah.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar, diceritakan bahwa dahulu nama putri
dari Sayyidina Umar adalah ‘Âshiyah yang mempunyai arti wanita durhaka. Oleh
Baginda Nabi kemudian diganti menjadi Jamîlah yang mempunyai arti wanita
cantik. (Lihat: Tarbiyatul Awlâd, juz 1, halaman 78).
Dalam kitab Al-Muwatha’ susunan Imam
Malik diceritakan dari Yahya bin Sa’id. Suatu ketika Umar bin Khattab bertanya
pada seorang laki-laki.
“Siapa namamu?” tanya Sayyidina Umar
“Jamrah,” jawab laki-laki itu. Jamrah
mempunyai arti bara api.
Umar melanjutkan pertanyaan kedua, “Siapa
nama ayahmu?”
“Syihab (artinya nyala api).”
“Dari mana kamu?”
“Dari huruqah (artinya panas).”
“Lha kamu tinggalnya di mana?”
“Di hurratun nâr (artinya
panasnya bara api).”
“Daerah mana itu?”
“Dzi Ladhâ (artinya api yang
menyala-nyala).”
Mendengar jawaban yang bertubi-tubi dari pria
tersebut dengan segala namanya yang berkonotasi pada api dan membara, Sayyidina
Umar kemudian berpesan pada pria itu.
“Kasih tahu wargamu. Mereka semua akan binasa
dan kebakaran!”
Dan benar apa yang dikatakan Umar. Mereka
binasa dan terkena kebakaran. (Lihat: Malik bin Anas, Syarah al-Muwatha’lil
Abdil Karim Khadlir, Bab Mâ yukrahu minal Asmâ’)
Ma’asyiral hâdlirin, jamaah Jumat hafidhâkumullâh,
Panggilan cebong kampret jelas bukan
panggilan pujian. Panggilan tersebut berkonotasi ejekan. Kita dilarang Allah
sebagaiamana dalam Al-Quran untuk tidak saling mengejek kepada orang lain.
Barangkali orang yang kita ejek itu lebih mulia di mata Allah subhanahu wa
ta’ala. Maka kita harus menghindari.
Buktikan kalua kita itu orang baik, hanya
akan melakukan hal yang baik. Jika ada orang menghina kita, itu urusan mereka.
Tugas kita sebagai orang baik hanya dengan membalas dengan kebaikan. Karena
kita hanya mempunyai stok kebaikan dalam tubuh kita.
Kita tidak mempunyai stok perilaku buruk.
Ibarat teko, tidak akan menuangkan isi yang tidak ada di dalamnya. Kalau
dalamnya kopi, akan tertuang darinya kopi. Kalau isinya teh, akan keluar teh.
Apabila kita ingin meniru Rasulullah yang baik, seharusnya kita menunjukkan isi
pribadi kita, otak kita hanya berisi hal baik. Kita tidak perlu memanggil lawan
politik dengan cebong kampret. Ini bukan tuntunan Rasulullah ﷺ.
Rasulullah suka memberi nama kunyah yang
baik-baik, bukan memberika laqab yang buruk. Dalam Al-Qur’an dikatakan:
وَلَا
تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ
الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: “Janganlah kamu saling mencela satu
sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.
Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasiq) setelah beriman.
Dan barangsiapa tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.”
(QS Al Hujurât: 11)
Kalau kita kemarin sudah terlanjur memanggil
cebong kampret, sunnahnya kita menggantinya dengan yang baik.
وَيُسْتَحَبُّ
لِمَنْ سُمِيَ أَوْ لُقِبَ باِسْمٍ قَبِيْحٍ أَنْ يُبَدِّلَهْ
Artinya: “Disunnahkan bagi orang yang dikasih
nama atau diberi panggilan yang buruk, untuk diganti dengan yang lain.” (Muhammad
bin Ahmad Asy-Syâthiri, Syarah al-Yâqût an-Nafîs, [Dârul Hâwi], juz 3,
halaman 387)
Hadirin,
Semoga kita senantiasa diberi pertolongan
oleh Allah untuk bisa berbuat baik kepada sesama, tanpa menyakiti siapapun di
muka bumi ini. Semoga kita bisa meniru akhlak Rasulullah ﷺ, bisa membahagiakan hati Rasulullah ﷺ. Semoga kita kelak mendapatkan syafa’at Rasulullah ﷺ, amin.
بَارَكَ
اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ العَظِيْمِ، وَجَعَلَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَاَ
فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. إِنَّهُ هُوَ الْبَرُّ التَّوَّابُ
الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمِ. أعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشيطن الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، وَالْعَصْرِ، إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلَّا
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ .
Khutbah II
اَلْحَمْدُ
للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ
وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ
لَهُ، وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، الدَّاعِي
إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ
وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا
بَعْدُ، فَيَا اَيُّهَا النَّاسُ، اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ، وَانْتَهُوْا
عَمَّا نَهَى، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ
بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ. وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ
وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ، يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ﷺ وَعَلَى
أَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ الْمُقَرّبِيْنَ، وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ
اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ، أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِيٍ وَعَنْ
بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ
بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا
أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ
اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، اللهُمَّ أَعِزِّ اْلإِسْلَامَ
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ
الْمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ
الْمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَأَعْلِ كَلِمَاتِكَ
إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلَاءَ وَاْلوَبَاءَ
وَالزَّلَازِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتَنْ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ،
عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خَاصَّةً، وَعَنْ سَائِرِ اْلبُلْدَانِ
الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ في الدُّنْيَا
حَسَنَةً وَفي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا
أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ
اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَ اللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُركُمْ بِاْلعَدْلِ
وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ
وَالْمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا
اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ
وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren
Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar