Waskita Santri dalam
Sebuah Kitab
Judul
: Kitab Santri: Antologi Pengalaman dan Pendidikan Moral di Pesantren
Penyunting
: Ahmad Tohe
Penerbit
: Halaqah Literasi, PSP Jawa Timur
Cetakan
: I, Mei 2018
Tebal
: xviii + 327 halaman
Peresensi
: Fathoni Ahmad
Penempaan hidup
komprehensif yang dihadapi dan dilakukan oleh santri di pondok pesantren turut
membentuk karakter, akhlak, kelimuan, bahkan kebudayaan dan peradaban yang
mengakar luas dan menyatu dengan pilar-pilar kehidupan masyarakat. Hal ini
tidak terlepas dari peran keagamaan dan peran sosial para kiai, sosok panutan
dan samudera ilmu sumber para santri berproses penuh ketekunan di pondok pesantren
sehingga berdampak luas dalam diri kehidupan para santri.
Tradisi keilmuan
seorang kiai yang diserap oleh santri tidak hanya untuk mengisi aspek eksoteris
saja, tetapi aspek esoteris atau batin di mana santri diajarkan untuk peka dan
tajam dalam melihat dan memahami realitas kehidupan di tengah masyarakat.
Inilah yang disebut kewakitaan. Kewaskitaan nyata terlihat dalam diri seorang
santri bernama Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tidak sedikit orang yang menilai,
Gus Dur merupakan sosok yang mampu weruh sadurunge winarah (mengetahui
sebelum sesuatu terjadi).
Proses belajar
tersebut merupakan tempaan lahir dan batin yang didapat santri dari para guru
dan kiainya di pesantren. Bahkan, lewat tempaan yang beradab, santri mampu
menciptakan dan mengembangkan peradaban lewat keahlian-keahlian di berbagai
bidang. Mindset masyarakat yang menilai santri hanya paham ilmu agama
terbantahkan dengan kiprah luas di segala lini kehidupan pada era milenial saat
ini.
Kewaskitaan ini perlu
diperluas melalui literasi sehingga memunculkan inspirasi bagi generasi masa
depan melalui pengalaman dan cerita-cerita berharga saat nyantri dulu. Buku Kitab
Santri: Antologi Pengalaman dan Pendidikan Moral di Pesantren yang
penyusunannya diinisiasi Pusat Studi Pesantren (PSP) Jawa Timur merupakan salah
satu upaya menebar kewaskitaan melalui pojok-pojok kehidupan pesantren. Ada
sekitar 57 santri dalam buku ini yang melakukan ‘jihad’ literasi untuk
membangun budaya, peradaban, kearifan (wisdom) lewat kisah kehidupan
sehari di pesantren.
Buku ini semacam
penggalian mutiara-mutiara terpendam di berbagai ruang dan pojok-pojok
pesantren, memotret pengalaman pribadi, membaca santri yang telah berkiprah
luas di tengah masyarakat, bahkan kontekstualisasi kehidupan santri ketika
dihadapkan oleh pesatnya era teknologi digital. Budaya literasi di pesantren
menjadi modal dan bekal penting santri menghadapi perkembangan zaman.
Sebab itu, santri
tidak pernah gagap ketika ‘tsunami’ informasi memabanjiri jagat dunia maya.
Santri tidak mudah termakan hoaks (berita palsu) karena budaya literasi yang
kokoh telah terbangun. Benteng santri dalam menghadapi derasnya arus informasi
juga terjaga dengan lekatnya budaya tabayun yang didapat di pesantren.
Mereka tidak begitu saja terpengaruh polemik, lalu melakukan justifikasi buta
terhadap sebuah kontroversi yang muncul.
Ngaji dengan sistem sorogan
turut menciptakan budaya tabayun ini. Dalam sistem tersebut, selain
mengonfirmasi keterangan-keterangan atau catatan-catatan (ngapsahi)
kiainya saat membahas sebuah kitab dengan cara membaca ulang, santri juga
mempunyai ruang diskusi dan bertanya kepada kiai soal tema yang dibahas. Bahkan
santri melakukan kontekstualisasi mengenai persoalan kehidupan sehari-hari
terkait tema yang sedang dibahas.
Pengalaman di
Pesantren Sarang
Pemandangan yang
sangat arif dan waskita mengenai kehidupan para santri penulis rasakan sendiri
ketika sowan ke ndalem sesepuh NU, KH Maimoen Zubair di Pondok
Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah awal tahun 2017 lalu. Sambil
menunggu ulama yang dikenal wara’ ini, penulis mencoba menyusuri
beberapa pojok pesantren. Di dalam salah satu pesantren tua di Jawa ini,
terlihat santri sedang mengisi waktu dengan berbagai cara.
Pemandangan yang
cukup unik dan menggelitik saat itu ketika penulis melihat beberapa santri
sedang muthola’ah kitab kuning di depan kamarnya di lantai dua layaknya
sebuah balkon rumah. Saking khusyunya, mereka sampai tertidur dengan
posisi terduduk, ada juga yang dalam posisi berbaring. Mereka tertidur bukan di
lantai, tetapi di sebuah kayu yang menjadi pembatas kamar. Mereka tidak
khawatir terjatuh seperti ada kekuatan batin yang mengaitkan mereka untuk tetap
pada ‘tempat’ tidurnya itu.
Penulis sebelumnya
tetap khidmat menunggu Mbah Maimoen karena terlebih dahulu harus mengimami
shalat dzuhur berjamaah bersama santri Sarang. Usia Mbah Maimoen yang telah
mencapai 90 tahun itu masih tegar setiap hari memimpin shalat berjamaah di
pesantrennya.
Kemurnian para santri
dalam mengabdi dan menimba ilmu kepada Mbah Maimoen tak pernah surut. Bagi
mereka, suatu kebahagiaan dan keberkahan tak ternilai bisa menggandeng kiai
sepuh setiap hari menuju masjid tempat shalat.
Sementara santri
lainnya nampak membetulkan arah sandal Mbah Maimoen agar beliau tidak terlalu
sulit memakai sandal ketika keluar masjid. Di sejumlah pesantren, perilaku
santri membetulkan sandal agar siap pakai memang bukan hal baru. Bahkan para
santri sering melakukan tradisi tersebut ketika kiainya didatangi para
tamu.
Ketika Mbah Maimoen
keluar masjid selesai mengimami shalat, salah seorang santri bahkan secepat
kilat datang di hadapan Mbah Maimoen untuk memakaikan sandal di kakinya. Dari
pemandangan tersebut, nampak jelas pesantren tidak hanya berisi samudera ilmu,
tetapi juga penuh dengan gunungan akhlak mulia yang tertanam begitu dalam pada
diri para santri.
Tak lama setelah itu,
penulis dan rombongan diterima Mbah Maimoen di ruang tamu. Selain rombongan
dari Jakarta, ada juga tamu yang datang dari Tuban. Sebelum Mbah Maimoen
berujar, para tamu tidak ada yang berani mendahului untuk membuka dan memulai
pembicaraan.
Penulis saat itu
memang mempunyai niat menggali khazanah keilmuan Islam Nusantara dan wawasan
kebangsaan dari Mbah Maimoen Zubari yang juga salah seorang santri
Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari tersebut. Niat tersebut tidak lain untuk
memperkokoh sanad dan geneologi keilmuan langsung dari Mbah Maimoen.
Setelah sekian menit
dalam keheningan, Mbah Maimoen masih terang dalam berujar dan penuh dengan
humor dalam sejumlah kalimat dan penuturannya. Para tamu yang tadinya agak
sedikit kikuk seketika langsung mencair melihat senyum dan tawa Mbah Maimoen
yang khas.
Dalam persoalan
menimba ilmu, Mbah Maimoen menyatakan bahwa ilmu itu harus didatangi oleh
manusia, karena ia tidak mendatangi. Sebab itu, santri yang belajar di
pesantren atau siapa pun yang berniat mencari dan memperdalam ilmu merupakan
hal yang mulia. Apalagi sekaligus menelusuri sanadnya sehingga ilmu itu nyambung
hingga ke pucuk sumber yang shahih, yaitu Nabi Muhammad.
“Al-ilmu yu'ta wa
la ya'tii. Ilmu itu didatangi bukan mendatangi dirimu,” tutur Mbah Maimoen
Zubair dengan penuh kehikmatan menerangkan kepada para tamu. Kiai kelahiran
Rembang, 28 Oktober 1928 silam itu mengumpamakan air di dalam sumur yang harus
ditimba. “Sebagaimana kita menginginkan air di dalam sumur, kita harus
menimbanya,” ujar Mbah Maimoen.
Tak hanya terkait
esensi ilmu yang harus ditimba manusia secara terus menerus, tetapi juga
berbagai persoalan bangsa maupun penjelasan sejarah meluncur deras dari
mulutnya sehingga para tamu nampak makin khidmat dalam menyimak paparan-paparan
Mbah Maimoen.
Terkait dengan
persoalan kebangsaan dan politik yang terus mengalami turbulensi, Mbah Maimoen
berpesan agar tidak semua orang ikut larut dalam permasalahan sehingga
melupakan tugas terdekatnya sebagai manusia. Hal ini akan berdampak pada
ketidakseimbangan hidup dan kehidupan itu sendiri.
Mbah Maimoen juga
berpesan kepada santri dan seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya untuk
menjaga tali silaturahim, utamanya kepada guru-guru dan kiai-kiai sepuh dalam
menyikapi setiap persoalan bangsa maupun konflik yang sering terjadi di tubuh
organisasi.
Marwah kiai dan
pesantren merupakan ruh di tubuh organisasi seperti NU. Sehingga setiap
persoalan yang datang di tubuh NU, hendaknya diselesaikan dengan musyawarah dan
disowankan terlebih dahulu kepada para kiai sepuh yang tentu pandangannya lebih
luas, arif, waskita.
Alakullihal, pengalaman di
Pesantren Sarang tersebut penulis sampaikan untuk melengkapi riwayat-riwayat
para santri dalam buku Kitab Santri yang berisi kisah-kisah penuh waskita dan
kebijaksanaan. Dari buku ini, santri didorong untuk terus mengembangkan budaya
literasi untuk kehidupan yang lebih baik. Karena santri mempunyai pondasi
kelimuan kokoh yang harus disebarkan menjadi sebuah inspirasi. Wallahu’alam
bisshowab.[]

Tidak ada komentar:
Posting Komentar