Jejak Anak-anak Syekh Ruyani Pandeglang di
Kairo Awal Abad 20
Di Pandeglang Banten, tepatnya di Desa Kadu
Pinang, terdapat dua makam ulama besar kawasan itu yang dikenal dengan “Keramat
Kadu Pinang”, yaitu Syekh Muhammad Sohib dan putranya, Syekh Muhammad Ruyani.
Syekh Muhammad Sohib Pandeglang ini
diperkirakan hidup sezaman dengan Syekh Nawawi Banten dan Syekh Abdul Karim
Banten, yaitu pada abad ke-19 M, sekaligus sejawat keduanya. Data ini
setidaknya dapat ditelusuri dari manaqib KH. Tubagus Falak Bogor (Mama Pagentongan),
yang mana ketika beliau belajar di Makkah pada akhir abad ke-19 M, beliau
dititipkan oleh gurunya, yaitu Syekh Sohib Kadu Pinang Pandeglang, kepada
kawannya yang juga asal Banten dan mengajar di Makkah, yaitu Syekh Abdul Karim
Banten.
Terdapat beberapa nama ulama Banten yang
bermukim di Makkah dan menjadi pengajar di Masjidil Haram, di antaranya adalah
Syekh Nawawi Banten, Syekh Syadzili b. Wasi’ Banten (murid Syekh Nawawi), Syekh
Abdul Hanan Banten (menantu Syekh Nawawi), Syekh Abdul Haq Banten (cucu Syekh
Nawawi Banten), Syekh Abdul Karim Banten, Syekh As’ad Thawil, dan lain-lain.
Dua nama terakhir, yaitu Syekh Abdul Karim Banten dan Syekh As’ad Thawil,
pulang ke tanah air dan menjadi sentral gerakan sosial-keagamaan di Banten pada
akhir abad ke-19 M. Keduanya pula yang menjadi pemantik gerakan perlawanan
petani di Cilegon terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1886.
Terdapat seorang nama cendikiawan asal Banten
lainnya yang bermukim di Hijaz namun memilih jalur karir birokrat, bukan ulama,
yaitu Raden Abu Bakar Djajadiningrat, putra dari Raden Ahmad Djajadiningrat
yang merupakan Bupati Pandeglang pada zamannya. Raden Abu Bakar Djajadiningrat
bekerja sebagai pegawai dan penerjemah pada kantor Konsulat Belanda di Jeddah
sejak tahun 1884 hingga 1914. Djajadiningrat pula yang menjadi pembimbing dan
informan setia bagi Snouck Hurgronje, orientalis kawakan dari Leiden yang kelak
menjadi penasehat pemerintahan Hindia Belanda pada persilangan abad ke-19-20 M,
ketika Hurgronje pertamakali datang ke Hijaz dan berkehendak melakukan
penelitian di Makkah.
Kembali ke sosok Syekh Shohib Kadu Pinang
Pandeglang. Beliau ini mempunyai anak, yang juga menjadi salah satu ulama
sentral Banten, yaitu Syekh Muhamad Ruyani. Sayangnya, tak banyak data dan informasi
lanjutan tentang kedua tokoh ulama besar ini.
Menariknya, dalam beberapa arsip yang
dihimpun oleh penulis, terdapat dua buah nama yang mengindikasikan jika kedua
nama tersebut adalah anak dari Syekh Muhammad Ruyani Kadu Pinang Pandeglang,
yaitu Syekh Sholih Ruyani al-Bantani dan Syekh Burhanuddin Ruyani al-Bantani.
Keduanya hidup dan berkarir di Kairo pada paruh pertama abad ke-20 M. Penulis
mendapatkan dua buah arsip yang berbeda yang memuat informasi awal tentang
keduanya.
Pertama, nama Syekh Sholih Ruyani al-Bantani.
Penulis mendapatkan informasi nama tersebut dari kitab “Kifâyah al-Mubtadi’în
ilâ ‘Ibâdah Rabb al-‘Âlamîn”, sebuah kitab karangan Syekh Mukhtar Bogor (Syekh
Mukhtâr b. ‘Athârîd al-Bughûrî atau Raden Mukhtar b. Raden Natanagara), seorang
bangsawan Sunda yang mengajar di Masjidil Haram hingga wafatnya pada tahun 1930
M. Kitab karangan Syekh Mukhtar Bogor tersebut ditulis dalam bahasa Sunda
aksara Pegon, diselesaikan penulisannya di Makkah lalu diterbitkan di Kairo
pada tahun 1920 M oleh Maktabah Musthafâ al-Bâbî al-Halabî.
Nah, terdapat keterangan nama korektor
(pentashih) kitab tersebut pada halaman belakang, yaitu Syekh Muhammad Shâlih
b. Syekh Muhammad Ruyânî Bantân. Kuat dugaan jika nama tersebut merujuk pada
sosok Syekh Sholih Ruyani Pandeglang, yang merupakan anak dari Syekh Ruyani
Kadu Pinang.
Informasi di atas sekaligus membuka
kemungkinan fakta sejarah lainnya, yaitu adanya hubungan yang erat antara Syekh
Mukhtar Bogor di Makkah, KH. Tubagus Falak di Pagentongan (Bogor), dan cucu
dari guru Mama Pagentongan, yaitu Syekh Sholih Ruyani Banten di Kairo.
Informasi kedua yang penulis dapatkan memuat
nama Syekh Burhanuddin Ruyani Banten. Penulis mendapatkan informasi nama
tersebut dari Majalah Berita Nahdlatoel Oelama (BNO) edisi tahun ke-10 bilangan
ke-6 (tahun 1941). Di sana terdapat sebuah kolom berita duka cita atas wafatnya
seorang bernama “Boerhanoedin Roe’jani di Cairo”. Tertulis dalam kolom berita
tersebut:
“Dari Cairo diterima kabar. Toean
Boerhanoedin Roe’jani, Pembantu Kepala Rowak Djawa di Kairo meninggal pada
tanggal 9 Mei dalam oesia 45 tahoen.
Boerhanoedin Roe’jani almarhoem lahir di
Bantam (Banten), anak seorang oelama jang terkenal, Kiai Hadji Moehammad
Roe’jani di Pandeglang. Boerhanoedin Roe’jani almarhoem itoe menoentoet ilmoe
pada sekolah tingga Al-Azhar di Cairo. Di kalangan student ia seorang jang
terkenal”.
Menimbang informasi kedua tokoh di atas,
yaitu Sholih Ruyani dan Burhanuddin Ruyani, yang terdapat dalam dua sumber
arsip, dapat disimpulkan jika dua cendikiawan asal Pandeglang tersebut
merupakan aktivis gerakan intelektual Bumi Putera yang berkarir di Kairo.
Sholih Ruyani adalah seorang korektor (pentashih) kitab pada penerbit Maktabah
Musthafâ al-Bâbî al-Halabî yang pada masa itu adalah salah satu penerbit swasta
terbesar di Timur Tengah. Sementara Burhanuddin Ruyani adalah wakil kepala
Ruwaq Jawa (Pemondokan Pelajar Nusantara) di al-Azhar Kairo sekaligus aktivis
intelektual yang sangat terkenal di Kairo pada zamannya.
Dua nama cendikiawan asal Pandeglang di Kairo
ini, yang kuat terindikasi memiliki hubungan anak-ayah dengan Syekh Ruyani b.
Syekh Sohib Kadu Pinang Pandeglang, tentu memberikan tambahan informasi dan
data yang penting bagi rekonstruksi sejarah gerakan sosio-intelektual Islam
(di) Nusantara, khususnya untuk wilayah Banten. []
(A. Ginanjar Sya’ban)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar