Nalar
Politik
Oleh:
Azyumardi Azra
Mengamati
perkembangan politik yang kian dekat ke hari pencoblosan 17 April 2019,
terlihat perkembangan tidak kondusif bagi proses demokrasi. Jika tidak
diantisipasi, bukan tidak mungkin Pemilu 2019, khususnya pemilihan presiden,
bakal terganggu integritas elektoralnya dan sekaligus legitimasi hasilnya
(Kompas, 5/1/2019).
Paling
mencolok adalah penyesatan nalar sehat publik melalui penyebaran hoaks,
disinformasi, manipulasi data dan fakta. Misalnya terlihat dalam kasus hoaks
tentang ”adanya tujuh kontainer berisi sekitar 70 juta kartu suara yang telah
dicoblos untuk pasangan capres-cawapres 01” (2/1/2019).
Langkah
cepat Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengecek langsung ke lapangan di Pelabuhan
Tanjung Priok perlu diapresiasi. Hasilnya, segera bisa dipastikan, kabar itu
tak lain adalah hoaks yang diedarkan pihak tertentu untuk menciptakan kehebohan
politik, dan sekaligus sebagai upaya delegitimasi Pilpres 2019.
Bayangkan
kegaduhan politik yang dapat terjadi jika hoaks seperti ini menyebar satu atau
dua hari sebelum atau sesudah pencoblosan 17 April nanti. Betapa sempitnya
waktu bagi KPU dan kepolisian untuk menjernihkan masalah; sementara pada waktu
yang sama kerusakan dan kegaduhan politik boleh jadi telah menyebar ke
mana-mana.
Mengingat
kemungkinan ini, hampir bisa dipastikan, fenomena tidak menguntungkan ini bakal
berlanjut—bahkan intensitasnya boleh jadi meningkat pada momen-momen ”kritis”
yang rawan bagi munculnya kegaduhan; menjelang pemungutan suara, pada waktu
penghitungan suara, dan penetapan pemenang pilpres.
Mengantisipasi
perkembangan itu dan untuk memastikan Pemilu 2019 tidak kehilangan legitimasi,
perlu penyegaran kembali nalar politik (political reasoning) untuk menumbuhkan
logika politik dan cara pandang sehat. Hanya dengan nalar politik sehat, proses
politik dapat menghasilkan kepemimpinan yang legitimate.
Politik
yang tidak menggunakan atau memanipulasi nalar (unreason politics atau politics
of unreason) tidaklah baru. Sejak lama—termasuk dalam sistem dan proses
demokrasi—berbagai cara tak bernalar yang manipulatif dan menyesatkan untuk
mencapai tujuan dan kepentingan politik tertentu telah menjadi praktik kalangan
kekuatan politik.
Periwayatan
politics of unreason secara cukup sempurna pernah diberikan sastrawan dan
filsuf Niccolo Machiavelli (1469-1527). Dalam karyanya, The Prince, Machiavelli
menggambarkan cara-cara suatu rezim memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
Mementingkan
diri sendiri, rezim atau kekuatan politik yang ingin berkuasa memanipulasi,
menipu, dan mengeksploitasi. Cara-cara yang digunakan sering tidak menggunakan
nalar sehat.
Sistem
politik demokrasi jelas tidak imun dari politik tanpa nalar atau politik
Machiavellian dalam kadar berbeda dari satu negara ke negara lain. Elite
kekuasaan, elite politik, elite ekonomi, elite agama, dan elite sosial-budaya
sering terlibat dalam persekutuan tidak suci (unholy alliances) dalam
menerapkan politik tanpa nalar.
Penyebaran
politics of unreason tampak sangat meningkat setidaknya dalam dua dasawarsa
terakhir. Setidaknya ada tiga perkembangan yang mendorong peningkatan politik
tanpa nalar; pertama, peningkatan penyebaran demokrasi dengan kian banyaknya
negara yang mengadopsi demokrasi; kedua, kebangkitan politik identitas terkait
krisis ekonomi dan sosial-budaya di beberapa negara maju; ketiga, peningkatan
teknologi informasi dengan media instan yang memungkinkan penyebaran konten
secara cepat dan masif.
Ketiga
faktor ini berkombinasi mendorong tumbuhnya politik tanpa nalar, yang juga bisa
disebut post truth politics. Dalam keadaan di mana fakta tidak lagi penting,
sebaliknya emosi dan kepercayaan personal yang sering dipengaruhi hoaks menjadi
lebih menentukan sikap politik warga. Pada tahap ini politik dengan nalar sehat
seolah tidak mampu lagi membentuk keadaban politik warga.
Membuat keadaan
kian memburuk, terdapat kalangan terpelajar dan kelas menengah yang terseret ke
dalam politics of unreason atau post-truth politics.
Kalangan
terpelajar tidak hanya mencoba membangun argumen dan justifikasi untuk
memperkuat politik tanpa nalar, juga aktif dalam penciptaan, penyebaran hoaks,
dan disinformasi. Mereka juga tak segan memanipulasi sentimen agama untuk
memperkuat posisi politik yang mereka dukung.
Semua
gejala politics of unreason atau post-truth politics bisa disaksikan sedang
menguat menjelang pemilu. Oleh karena itu, elite harus melakukan berbagai upaya
untuk mencegah terjerumusnya Indonesia ke dalam politik tanpa nalar.
Untuk
menjaga negara-bangsa yang bersatu dan maju, tak ada pilihan lain; politik yang
memegang supremasi seharusnya tetaplah politik nalar sehat.
Tak
kurang pentingnya adalah penegakan hukum. Polri seyogianya tetap bergerak cepat
menyelidiki dan memburu penyebar hoaks, pengadu domba, provokator, dan
dalangnya. []
KOMPAS,
10 Januari 2019
Azyumardi
Azra
| Profesor Fakultas Adab
dan Humaniora UIN Jakarta; Anggota AIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar