Jejak Sejarah Awal
Penyebaran Islam di Brebes
Pondok Pesantren
Yanbu’ul Ulum di Dusun Lumpur, Desa Limbangan, Kecamatan Losari, Kabupaten
Brebes merupakan salah satu jejak penting dalam lintasan sejarah penyebaran
Islam di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Pesantren ini terletak sekitar 2
kilometer dari jalan utama pantai utara (Pantura) Losari.
NU Online berhasil
menelusuri pesantren yang cukup banyak menyimpan jejak sejarah penyebaran Islam
di wilayah pesisir pantai utara Losari ini pada Senin (18/6/2018). Menurut
penjelasan Pengasuh Pondok Pesantren Yanbu’ul Ulum Lumpur KH Abdul Halim,
pesantren yang saat ini dipimpinnya itu hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama
melalui kajian kitab-kitab klasik selama enam generasi.
Tercatat, meskipun
Pesantren Lumpur didirikan sekitar tiga abad setelah jejak penyebaran Islam
masuk di wilayah Losari, tetapi perannya dalam menyebarkan ilmu agama di tengah
masyarakat turut memperluas jaringan penyebaran Islam di Kabupaten Brebes.
Pesantren Lumpur
mulai dirintis oleh KH Idris bin Ahmad Sholeh sekitar 1295 H atau 1874 M.
Sedangkan jejak Islam masuk di wilayah Losari ditengarai sejak abad ke-15
ketika Losari telah ramai oleh kapal-kapal dagang dari berbagai negeri di
Nusantara. Kiai Idris merupakan generasi awal yang merintis pesantren,
sedangkan KH Abdul Halim merupakan generasi keempat.
Wilayah Losari secara
keseluruhan tidak hanya terletak di Kabupaten Brebes, tetapi juga terbagi dua
ke dalam wilayah Kabuaten Cirebon yang dipisahkan Sungai Cisanggarung yang
sekaligus menjadi batas pemisah Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Menurut catatan
sejarah dalam Babad Cirebon, nama Sungai Cisanggarung berasal dari
nama salah seorang Raja Losari, Ki Ageng Sanggarung. Sungai besar ini juga
menyimpan banyak legenda, salah satunya legenda siluman buaya karena sungai ini
merupakan tempat berlindung siluman buaya.
Terkait jejak Islam
di wilayah Losari ini juga dicatat oleh Tom Pires pada 1512-1515. Seseorang
yang diutus Kerajaan Portugis ini ditugaskan oleh Raja Emanuel untuk menelusuri
peluang ekonomi di wilayah-wilayah pesisir Asia Tenggara dan Asia Timur. Sebab
saat itu basis ekonomi lintas benua dan negara menggunakan jalur-jalur
pelabuhan. Pelabuhan Losari salah satu lokasi yang ramai disinggahi.
Tom Pires mencatatkan
laporan perjalanannya dalam buku Suma Oriental (1513) dan
diterbitkan dalam versi Bahasa Indonesia oleh Penerbit Ombak Yogyakarta pada
2015. Buku Suma Oriental pertama kali diterjemahkan ke dalam
Bahasa Inggris oleh Armando Z. Cortesao pada 1944. Tentang Indonesia, Suma
Oriental memuat informasi terutama tentang Pulau Jawa dan Pulau
Sumatera.
Saat itu, yang
menjadi salah satu catatan penting Tom Pires ialah Pelabuhan Japura.
Menurutnya, kemampuan Pelabuhan Japura sebanding dengan Muara Jati. Digambarkan
Pires, Pelabuhan Japura yang terletak antara Cirebon dan Losari tersebut
berpenduduk 2.000 orang yang tersebar di berbagai dusun.
Jejak Panembahan
Losari
Kini, wilayah Losari
yang terletak di Jawa Barat dan Jawa Tengah menunjukkan bahwa pengaruh Islam
dari Cirebon juga kental mewarnai dan mempengaruhi penyebaran Islam di
Kabupaten Brebes. Hal ini terbukti lewat jejak sejarah Kompleks Makam Pulosaren
di wilayah Losari Lor (utara). Gerbang kompleks makam ini menggunakan
arsitektur khas Keraton Cirebon. Di dalam kompleks makam ini juga terdapat
kuburan tokoh penyebar Islam di Losari, Pangeran Angka Wijaya atau Panembahan
Losari. Masyarakat sekitar menyebutnya Mbah Pulosaren.
Pangeran Angka Wijaya
merupakan salah seorang cucu Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati.
Ia mendapatkan tugas untuk menyebarluaskan dakwah dan ajaran Islam di wilayah
Cirebon bagian timur, yaitu Losari. Jejak dakwah yang dilakukan oleh Pangeran
Angka Wijaya menurut catatan sejarah dilakukan pada abad ke-16.
Karakter kuat yang
dimiliki Pangeran Angka Wjiaya dalam upaya menyebarluaskan agama Islam diwarisi
dari kakeknya sendiri, yaitu Sunan Gunung Djati. Sebelumnya, pola dakwah Islam
yang sejuk dan ramah oleh Sunan Gunung Djati juga lahir dari seorang pamannya
bernama Pengeran Cakrabuwana atau yang dikenal Mbah Kuwu Sangkan, makamnya ada
daerah Cirebon Girang. Mbah Kuwu Sangkan merupakan tokoh utama babad alas Islam
di Cirebon.
Setiap tahun, di
Makam Pulosaren diselenggarakan kegiatan Haul Pangeran Angka Wijaya yang
melibatkan Pemerintah Kabupaten Brebes, pihak Keraton Kasepuhan Cirebon, dan
ribuan masyarakat dengan mendatangkan kereta kencana. Kendaraan khas yang
dahulu digunakan oleh pihak kerajaan ini sengaja didatangkan langsung oleh
Keraton Kasepuhan Cirebon untuk digunakan dalam acara Kirab Panembahan Losari.
Makam Pangeran Angka
Wijaya juga selalu ramai peziarah terutama ketika penyelenggaraan haul terus
diperkuat oleh para pemangku kebijakan dengan tujuan agar masyarakat tidak lupa
dengan akar sejarahnya, terutama sejarah penyebaran Islam di Losari yang
dinilai menjadi titik sentral meluasnya Islam di seluruh Kabupaten Brebes.
Makam Pulosaren sendiri menunjukkan bahwa pengaruh Islam dan karakter Kerajaan
Cirebon cukup kuat.
Perkembangan
Penyebaran Islam
Selain situs sejarah
makam Pangeran Angka Wijaya, masyarakat Brebes juga bisa menelusuri jejak
penyebaran Islam melalui makam Syekh Junaidi di Desa Randusanga Wetan, makam
Mbah Idris di Desa Limbangan, dan beberapa situs makam yang terletak di wilayah
Losari. Ada juga situs makam Pangeran Arya Penangsang di Dukuh Kosambi, Desa
Jipang, Kecamatan Bantarkawung (Brebes bagian selatan).
Selain menelusuri
sejarah melalui sejumlah tokoh, masyarakat juga bisa melengkapi catatan sejarah
tentang penyebaran Islam di Brebes melalui beberapa pesantren tua. Berdirinya
beberapa pesantren tua di Brebes juga menunjukkan bahwa penyebaran Islam
berkembang dari pesisir laut mengarah ke daerah pegunungan di wilayah selatan
Brebes.
Selain Pesantren
Lumpur di Losari, di antara pesantren yang berusia cukup tua di Brebes ialah
Pesantren Karangmalang di Ketanggungan (Brebes bagian tengah), Pesantren
As-Salafiyah Luwungragi di Bulakamba yang saat ini dipimpin KH Subhan Makmun
(Rais Syuriyah PBNU), dan tentu Pesantren Al-Hikmah di Benda Sirampog (Brebes
bagian selatan) pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Masuk ke daerah
Brebes kota, Masjid Agung Brebes juga merupakan salah satu situs sejarah
penting tentang penyebaran Islam. Masjid yang berdiri megah di sebelah barat
Alun-alun Brebes ini didirikan pada masa Bupati Raden Tumenggung Aria Singasari
Panatayuda II (1836-1850).
Dari beberapa situs
sejarah di atas dapat dipahami bahwa penyebaran Islam di Brebes mengalami perkembangan
pesat pada abad ke-19 melalui beberapa tokoh dan kiai dengan mendirikan
pesantren sebagai wadah menempa ilmu-ilmu agama kepada masyarakat yang
bersumber dari kitab-kitab ulama klasik (kitab kuning).
Penyebaran Islam di
wilayah pesisir Losari ini juga menunjukkan bahwa kajian sejarah tentang
penyebaran Islam tidak melulu di pedalaman dan pegunungan seperti yang lebih
banyak dilakukan oleh para peneliti. Karena justru Islam terlebih dahulu
menyentuh masyarakat pesisir.
Kajian Islam
Pesisir oleh Prof Nur Syam (LKiS, 2005) telah menjadi kritik mendasar
bagi para peneliti Barat. Dalam pandangan para Indonesianis (peneliti Barat
yang meneliti tentang Indonesia), kajian Islam Jawa cenderung hanya memotret
latar masyarakat pedalaman dan pengunungan. Pandangan inilah yang membuat
mereka melupakan masyarakat pesisir.
Resistensi Kolonial
Penyebaran agama
Islam di Brebes ini bukan tanpa rintangan, sebab para tokoh dan kiai di
pesantren harus menghadapi kekejaman kompeni Belanda kala itu. Bahkan, beberapa
kiai mendapat ancaman di-bedil dari jarak dekat oleh Belanda karena
dianggap mengancam eksistensi kolonial.
Para kiai pesantren
di seluruh pelosok Nusantara paham betul, rakyat Indonesia sedang dalam kondisi
kesengsaraan luar biasa karena penjajahan. Sebab itu, selain sebagai tempat
menempa ilmu agama, pesantren juga dimanfaatkan oleh para kiai sebagai wadah
pergerakan nasional secara kultural untuk melawan ketidakperikemanusiaan
penjajah.
Walhasil, dari sejarah
penyebaran Islam di Brebes tersebut, meskipun pengaruh Islam semakin besar,
tetapi tidak serta merta memudarkan kearifan lokal (local wisdom).
Banyak ditemui tradisi dan budaya masyarakat terdahulu yang masih bertahan
hingga kini. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam di Brebes tidak tercerabut
dari akar sosial masyarakatnya sebagai wujud keshalehan sosial selain
memperkuat keshalehan spiritual.
Penyebaran Islam
melalui wayang, sejumlah tradisi slametan bernuansa Islami, adanya
pengajaran kitab kuning dengan tulisan Arab Pegon berbahasa Jawa, begitu juga
dengan perpaduan gamelan dan shalawat merupakan akulturasi dan kolaborasi
budaya yang bersinergi dengan ajaran Islam warisan dakwah Wali Songo. Wallahu
‘alam bisshowab.[]
Fathoni Ahmad, peminat
sejarah, lahir di Losari, Kabupaten Brebes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar