Senin, 28 Januari 2019

Jejak Sejarah Awal Penyebaran Islam di Brebes


Jejak Sejarah Awal Penyebaran Islam di Brebes

Pondok Pesantren Yanbu’ul Ulum di Dusun Lumpur, Desa Limbangan, Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes merupakan salah satu jejak penting dalam lintasan sejarah penyebaran Islam di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Pesantren ini terletak sekitar 2 kilometer dari jalan utama pantai utara (Pantura) Losari.

NU Online berhasil menelusuri pesantren yang cukup banyak menyimpan jejak sejarah penyebaran Islam di wilayah pesisir pantai utara Losari ini pada Senin (18/6/2018). Menurut penjelasan Pengasuh Pondok Pesantren Yanbu’ul Ulum Lumpur KH Abdul Halim, pesantren yang saat ini dipimpinnya itu hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama melalui kajian kitab-kitab klasik selama enam generasi.

Tercatat, meskipun Pesantren Lumpur didirikan sekitar tiga abad setelah jejak penyebaran Islam masuk di wilayah Losari, tetapi perannya dalam menyebarkan ilmu agama di tengah masyarakat turut memperluas jaringan penyebaran Islam di Kabupaten Brebes.

Pesantren Lumpur mulai dirintis oleh KH Idris bin Ahmad Sholeh sekitar 1295 H atau 1874 M. Sedangkan jejak Islam masuk di wilayah Losari ditengarai sejak abad ke-15 ketika Losari telah ramai oleh kapal-kapal dagang dari berbagai negeri di Nusantara. Kiai Idris merupakan generasi awal yang merintis pesantren, sedangkan KH Abdul Halim merupakan generasi keempat.

Wilayah Losari secara keseluruhan tidak hanya terletak di Kabupaten Brebes, tetapi juga terbagi dua ke dalam wilayah Kabuaten Cirebon yang dipisahkan Sungai Cisanggarung yang sekaligus menjadi batas pemisah Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Menurut catatan sejarah dalam Babad Cirebon, nama Sungai Cisanggarung berasal dari nama salah seorang Raja Losari, Ki Ageng Sanggarung. Sungai besar ini juga menyimpan banyak legenda, salah satunya legenda siluman buaya karena sungai ini merupakan tempat berlindung siluman buaya.

Terkait jejak Islam di wilayah Losari ini juga dicatat oleh Tom Pires pada 1512-1515. Seseorang yang diutus Kerajaan Portugis ini ditugaskan oleh Raja Emanuel untuk menelusuri peluang ekonomi di wilayah-wilayah pesisir Asia Tenggara dan Asia Timur. Sebab saat itu basis ekonomi lintas benua dan negara menggunakan jalur-jalur pelabuhan. Pelabuhan Losari salah satu lokasi yang ramai disinggahi.

Tom Pires mencatatkan laporan perjalanannya dalam buku Suma Oriental (1513) dan diterbitkan dalam versi Bahasa Indonesia oleh Penerbit Ombak Yogyakarta pada 2015. Buku Suma Oriental pertama kali diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Armando Z. Cortesao pada 1944. Tentang Indonesia, Suma Oriental memuat informasi terutama tentang Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.

Saat itu, yang menjadi salah satu catatan penting Tom Pires ialah Pelabuhan Japura. Menurutnya, kemampuan Pelabuhan Japura sebanding dengan Muara Jati. Digambarkan Pires, Pelabuhan Japura yang terletak antara Cirebon dan Losari tersebut berpenduduk 2.000 orang yang tersebar di berbagai dusun. 

Jejak Panembahan Losari

Kini, wilayah Losari yang terletak di Jawa Barat dan Jawa Tengah menunjukkan bahwa pengaruh Islam dari Cirebon juga kental mewarnai dan mempengaruhi penyebaran Islam di Kabupaten Brebes. Hal ini terbukti lewat jejak sejarah Kompleks Makam Pulosaren di wilayah Losari Lor (utara). Gerbang kompleks makam ini menggunakan arsitektur khas Keraton Cirebon. Di dalam kompleks makam ini juga terdapat kuburan tokoh penyebar Islam di Losari, Pangeran Angka Wijaya atau Panembahan Losari. Masyarakat sekitar menyebutnya Mbah Pulosaren.

Pangeran Angka Wijaya merupakan salah seorang cucu Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati. Ia mendapatkan tugas untuk menyebarluaskan dakwah dan ajaran Islam di wilayah Cirebon bagian timur, yaitu Losari. Jejak dakwah yang dilakukan oleh Pangeran Angka Wijaya menurut catatan sejarah dilakukan pada abad ke-16. 

Karakter kuat yang dimiliki Pangeran Angka Wjiaya dalam upaya menyebarluaskan agama Islam diwarisi dari kakeknya sendiri, yaitu Sunan Gunung Djati. Sebelumnya, pola dakwah Islam yang sejuk dan ramah oleh Sunan Gunung Djati juga lahir dari seorang pamannya bernama Pengeran Cakrabuwana atau yang dikenal Mbah Kuwu Sangkan, makamnya ada daerah Cirebon Girang. Mbah Kuwu Sangkan merupakan tokoh utama babad alas Islam di Cirebon.

Setiap tahun, di Makam Pulosaren diselenggarakan kegiatan Haul Pangeran Angka Wijaya yang melibatkan Pemerintah Kabupaten Brebes, pihak Keraton Kasepuhan Cirebon, dan ribuan masyarakat dengan mendatangkan kereta kencana. Kendaraan khas yang dahulu digunakan oleh pihak kerajaan ini sengaja didatangkan langsung oleh Keraton Kasepuhan Cirebon untuk digunakan dalam acara Kirab Panembahan Losari.

Makam Pangeran Angka Wijaya juga selalu ramai peziarah terutama ketika penyelenggaraan haul terus diperkuat oleh para pemangku kebijakan dengan tujuan agar masyarakat tidak lupa dengan akar sejarahnya, terutama sejarah penyebaran Islam di Losari yang dinilai menjadi titik sentral meluasnya Islam di seluruh Kabupaten Brebes. Makam Pulosaren sendiri menunjukkan bahwa pengaruh Islam dan karakter Kerajaan Cirebon cukup kuat.

Perkembangan Penyebaran Islam

Selain situs sejarah makam Pangeran Angka Wijaya, masyarakat Brebes juga bisa menelusuri jejak penyebaran Islam melalui makam Syekh Junaidi di Desa Randusanga Wetan, makam Mbah Idris di Desa Limbangan, dan beberapa situs makam yang terletak di wilayah Losari. Ada juga situs makam Pangeran Arya Penangsang di Dukuh Kosambi, Desa Jipang, Kecamatan Bantarkawung (Brebes bagian selatan).

Selain menelusuri sejarah melalui sejumlah tokoh, masyarakat juga bisa melengkapi catatan sejarah tentang penyebaran Islam di Brebes melalui beberapa pesantren tua. Berdirinya beberapa pesantren tua di Brebes juga menunjukkan bahwa penyebaran Islam berkembang dari pesisir laut mengarah ke daerah pegunungan di wilayah selatan Brebes.

Selain Pesantren Lumpur di Losari, di antara pesantren yang berusia cukup tua di Brebes ialah Pesantren Karangmalang di Ketanggungan (Brebes bagian tengah), Pesantren As-Salafiyah Luwungragi di Bulakamba yang saat ini dipimpin KH Subhan Makmun (Rais Syuriyah PBNU), dan tentu Pesantren Al-Hikmah di Benda Sirampog (Brebes bagian selatan) pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Masuk ke daerah Brebes kota, Masjid Agung Brebes juga merupakan salah satu situs sejarah penting tentang penyebaran Islam. Masjid yang berdiri megah di sebelah barat Alun-alun Brebes ini didirikan pada masa Bupati Raden Tumenggung Aria Singasari Panatayuda II (1836-1850).

Dari beberapa situs sejarah di atas dapat dipahami bahwa penyebaran Islam di Brebes mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19 melalui beberapa tokoh dan kiai dengan mendirikan pesantren sebagai wadah menempa ilmu-ilmu agama kepada masyarakat yang bersumber dari kitab-kitab ulama klasik (kitab kuning).

Penyebaran Islam di wilayah pesisir Losari ini juga menunjukkan bahwa kajian sejarah tentang penyebaran Islam tidak melulu di pedalaman dan pegunungan seperti yang lebih banyak dilakukan oleh para peneliti. Karena justru Islam terlebih dahulu menyentuh masyarakat pesisir.

Kajian Islam Pesisir oleh Prof Nur Syam (LKiS, 2005) telah menjadi kritik mendasar bagi para peneliti Barat. Dalam pandangan para Indonesianis (peneliti Barat yang meneliti tentang Indonesia), kajian Islam Jawa cenderung hanya memotret latar masyarakat pedalaman dan pengunungan. Pandangan inilah yang membuat mereka melupakan masyarakat pesisir.

Resistensi Kolonial

Penyebaran agama Islam di Brebes ini bukan tanpa rintangan, sebab para tokoh dan kiai di pesantren harus menghadapi kekejaman kompeni Belanda kala itu. Bahkan, beberapa kiai mendapat ancaman di-bedil dari jarak dekat oleh Belanda karena dianggap mengancam eksistensi kolonial.

Para kiai pesantren di seluruh pelosok Nusantara paham betul, rakyat Indonesia sedang dalam kondisi kesengsaraan luar biasa karena penjajahan. Sebab itu, selain sebagai tempat menempa ilmu agama, pesantren juga dimanfaatkan oleh para kiai sebagai wadah pergerakan nasional secara kultural untuk melawan ketidakperikemanusiaan penjajah.

Walhasil, dari sejarah penyebaran Islam di Brebes tersebut, meskipun pengaruh Islam semakin besar, tetapi tidak serta merta memudarkan kearifan lokal (local wisdom). Banyak ditemui tradisi dan budaya masyarakat terdahulu yang masih bertahan hingga kini. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam di Brebes tidak tercerabut dari akar sosial masyarakatnya sebagai wujud keshalehan sosial selain memperkuat keshalehan spiritual.

Penyebaran Islam melalui wayang, sejumlah tradisi slametan bernuansa Islami, adanya pengajaran kitab kuning dengan tulisan Arab Pegon berbahasa Jawa, begitu juga dengan perpaduan gamelan dan shalawat merupakan akulturasi dan kolaborasi budaya yang bersinergi dengan ajaran Islam warisan dakwah Wali Songo. Wallahu ‘alam bisshowab.[]

Fathoni Ahmad, peminat sejarah, lahir di Losari, Kabupaten Brebes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar