Sejarah Berdirinya NU
Cabang Pekalongan
Pekalongan memiliki
sejarah penting dalam perkembangan Nahdlatul Ulama. Di kota ini banyak lahir
para tokoh dan kiai-kiai ternama yang memiliki kontribusi besar pada perjalanan
NU sendiri, maupun bangsa Indonesia pada umumnya. Baik di masa lampau maupun di
masa kini. Salah satu catatan yang cukup prestisius, Pekalongan sukses menjadi
tuan rumah Muktamar Ke-5 NU pada 1930.
Kiprah Nahdlatul
Ulama di Pekalongan sendiri dapat di telusuri hingga 1928. Pada tahun itulah,
secara resmi di Pekalongan didirikan kepengurusan Cabang NU untuk pertama
kalinya. Tepatnya pada Sabtu, 9 Rabiul Awal 1347 H/ 25 Agustus 1928 M. Hal ini
terungkap dalam pemberitaan di majalah bulanan Swara Nahdlatoel Oelama (SNO).
Pada pukul sembilan
malam, diadakan suatu pertemuan di kediaman Haji Nahrawi yang beralamat di
Kampung Pesindon, Pekalongan. Saat itu, para kiai, haji, tokoh masyarakat turut
hadir. KH Abdul Wahab, seorang pengurus Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO/
Kini PBNU) menjadi tokoh sentral dalam acara itu. Ia didampingi oleh KH Bisri
Syansuri yang saat itu masih menjadi Pengurus Cabang NU Jombang. Selain itu
juga turut Abdullah Ubaid, tokoh muda NU dari Surabaya. Adapula KH Faqih Maskumambang
dari Gresik dan seorang rekannya yang menjadi pengurus Nahdlatul Wathan Cabang
Gresik, KH Dlofier Muhammad Rofi'i.
Sebagai pembuka
pertemuan, Kiai Wahab didaulat menjadi pembicara pertama. Ia mengupas tentang
maksud dan tujuan dari dibentuknya Nahdlatul Ulama.
Sak sampune
keperluhane sholatu-l-irham, saha nepangaken nami-nami wah pendamelan, lajeng
kiai nerus nerangaken maksud-maksudipun jam'iyah Nahdlatul Ulama, demikian
tulis SNO.
Selain itu, Kiai
Wahab juga menjelaskan tentang hasil dari Komite Hijaz yang diutus untuk
menghadap Raja Saudi Arabia kala itu. Sebagaimana diketahui, komite tersebut
bertujuan untuk turut menyelesaikan konflik di tanah suci. Di mana saat itu,
mulai terjadi pembatasan terhadap ekspresi keberagamaan kalangan penganut madzab
yang dilakukan oleh Pemerintah Saudi Arabia yang berhaluan Wahabi. Ada pula
kabar tentang rencana penghancuran makam Nabi Muhammad.
Untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut, para kiai pesantren lantas membentuk komite untuk
melakukan misi diplomatik. Dari pembentukan komite itulah, juga disepakati
berdirinya jam'iyah Nahdlatul Ulama.
Setelah itu,
pembicara selanjutnya adalah Kiai Bisri Syansuri. Saudara ipar Kiai Wahab
tersebut, menjabarkan tentang manfaat ikut serta berorganisasi. Tidak semata di
NU, tapi juga di organisasi yang berada di bawah naungan NU. Seperti halnya
Nahdlatul Wathan, Nasihin dan Subbanul Wathan yang saat itu telah berdiri di
beberapa kota. Mulai dari Surabaya, Malang, Gresik, Jombang hingga
Sidoarjo.
Tentang kiprah dari
Nasihin sendiri, dipaparkan oleh Kiai Faqih, terutama kiprahnya di Gresik.
Nasihin sendiri merupakan lembaga pengkaderan di bawah naungan NU untuk
melahirkan para mubaligh yang siap untuk mendakwahkan serta membela ajaran
Islam Ahlussunnah wal Jama'ah dari pelbagai upaya distortif yang dilakukan oleh
kalangan modernis dan lainnya. Lembaga tersebut diresmikan pada Muktamar ketiga
NU melalui Majelis Khomis. (Baca: Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan
Nahdlatul Ulama).
Pembicara selanjutnya
adalah Abdullah Ubaid. Tokoh muda yang kelak menginisiasi berdirinya GP Ansor
itu, memberikan penjelasan tentang isu-isu negatif yang sedang menyerang
Nahdlatul Ulama dan underbow-nya. Berita hoaks tersebut, mendiskreditkan NU dan
Nahdlatul Wathan sebagai organisasi yang buruk. Lebih parahnya lagi, NU
dikabarkan telah bubar.
Hoaks tersebut, tak
hanya diperbincangkan saja, namun juga disebarluaskan melalui surat kabar.
Setidaknya ada dua surat kabar yang mengabarkan hoaks tersebut. Yakni surat
kabar de Locomotief yang diterbitkan di Semarang oleh beberapa tokoh
berkebangsaan Belanda dan surat kabar Bintang Islam yang diterbitkan oleh
Fakhrudin dari Yogyakarta.
Dalam setiap
pertemuan dan pengajian, tokoh-tokoh NU menyampaikan klarifikasi atas berita
hoaks tersebut. Lambat laun pun masyarakat semakin mengetahui kebenarannya seiring
dengan semakin berkibarnya aktivitas Nahdlatul Ulama.
Uraian panjang lebar
dari tokoh-tokoh NU tersebut, berhasil memikat para pemuka agama di Pekalongan.
Di wakili oleh Haji Ahmad, mereka menyampaikan rasa syukur atas kunjungan para
tokoh NU tersebut serta keinginan mereka untuk mendirikan NU Cabang
Pekalongan.
Keinginan tersebut
pun segera ditindaklanjuti. Malam itu pula dipilih pengurus Syuriyah dan
Tanfidziyah NU Pekalongan. Saat itu, Kiai Abbas dari Madelan (?) terpilih
sebagai Rais. Ia didampingi oleh Kiai Zuhdi dari Kampung Kergon, Pekalongan
sebagai wakilnya. Sedangkan posisi katib dipasrahkan kepada Kiai Ismail dari
Kampung Kergon.
Kiai Maksum Kergon
dan Kiai Dahlan Krapyak ditunjuk menjadi a'wan. Sedangkan mustasyar dijabat
oleh Kiai Amir dari Banyuurip.
Adapun ketua
tanfidziyah atau dulu istilahnya disebut presiden dipercayakan kepada Haji
Anbari Ismail. Wakilnya atau Vice Presiden dijabat oleh Haji Ahmad. Sedangkan
sekretarisnya bernama Abdullah. Haji Nahrawi yang menjadi tuan rumah pertemuan
ditunjuk sebagai kasir (bendahara).
Selain itu, adapula
beberapa orang yang menjadi komisaris atau lembaga jika meminjam terminologi
saat ini. Antara lain Masyhuri Pejagalan, Anbari Kurdi Pesindon, Fadloli
Kauman, Muhammad Hadi dan Abdul Latief dari Pesindon.
Tak hanya berhasil
menyusun kepengurusan cabang pertama, pada pertemuan itu juga disepakati
program kerja pertama yang akan dilaksanakan oleh NU Pekalongan. Programnya
adalah menggelar pendidikan keagamaan setiap hari Senin dan Kamis di Masjid
Jami Pekalongan.
Semenjak saat itu, NU
Pekalongan terus bergulir hingga saat ini. Tentu dengan segala dinamikanya
sendiri. Di setiap rentang zaman dan episode sejarah. []
Ayung Notonegoro,
penggiat sejarah pesantren dan NU. Kini aktif sebagai kerani di Komunitas
Pegon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar